Catatan HAM 100 Hari Pemerintahan Presiden Prabowo, Amnesty International : Melanjutkan Kemunduran
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya Jumat (24/1/2025).  
20:30
24 Januari 2025

Catatan HAM 100 Hari Pemerintahan Presiden Prabowo, Amnesty International : Melanjutkan Kemunduran

Amnesty International Indonesia mengungkapkan kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di 100 hari pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran tak mengalami kemajuan berarti dan melanjutkan kemunduran sebelumnya. 

Selama periode 20 Oktober 2024 hingga 20 Januari 2025 Amnesty International menilai seratus hari pertama diwarnai oleh berbagai pelanggaran HAM. Pelanggaran itu dibenarkan oleh kebijakan, keputusan, dan komentar pejabat publik. 

Kemunduran ini sebagian besar merupakan kelanjutan dari kemunduran pemerintahan Jokowi. Besar kemungkinan situasi HAM ini akan memburuk bila tak ada perbaikan. 

“Pemerintahan baru tampak masih tidak mau paham pentingnya HAM. Padahal pendiri bangsa-bangsa di dunia menjunjung tinggi hak asasi manusia baik kebebasan politik maupun keadilan sosial. Tanpa niat baik, ini bisa mengulangi kegagalan pemerintahan sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya Jumat (24/1/2025). 

Tidak heran, dikatakan Usman Hamid banyak dari pelanggaran HAM yang terjadi adalah kelanjutan era dahulu. Kegagalan menghentikannya adalah pelanggaran HAM tersendiri. Ibarat melangkah, mundur 100 hari dengan prediksi kemunduran yang terbaca ke depan. 

“Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer saat menjelaskan kemunduran Majapahit, ini adalah ‘arus balik’ yang menandai kemunduran HAM di 100 hari pemerintahan baru,” lanjut Usman. 

Penyangkalan Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu

Kemunduran HAM 100 hari pertama pemerintahan baru ini tidak sulit untuk dilacak. Hari pertama bertugas Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, membuat komentar keliru. Tidak pernah terjadi pelanggaran berat HAM di Indonesia bahkan menyatakan peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat. 

Meski kemudian meralat, ia berkelit dengan mengatakan pemerintah berfokus melihat ke depan, tidak ke masa lalu. 

“Itu mencerminkan ketiadaan pemahaman hukum yang benar, bahkan penyangkalan atas pelanggaran HAM masa lalu dengan dalih tak mau melihat ke belakang. Padahal jalan pemahaman sejarah masa lalu yang adil mutlak diperlukan untuk menatap masa depan yang benar,” tegas Usman. 

Tak heran jika pelanggaran HAM di masa kini, menurutnya tak mendapat perhatian serius negara. 

"Ini awal yang buruk bagi kondisi HAM di 100 hari pertama maupun 5 tahun ke depan. Berbagai kasus selama periode 100 hari pertama adalah ‘kartu kuning’ pemerintahan baru. Masalah ini sudah serius. Pemerintah harus menjadikan penegakan HAM sebagai prioritas demi memastikan Indonesia bergerak maju, bukan mundur,” kata Usman. 

Meski membentuk Kementerian HAM, Pemerintah dan DPR baru tak membuat langkah apa pun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan Pemerintah menyangkal terjadinya pelanggaran berat HAM.  

Padahal sederet pelanggaran berat HAM masa lalu seperti tragedi 1965, penculikan dan penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II 1998/1999, dan pembunuhan Munir 2004, masih tanpa kejelasan. Ketiadaan langkah negara memperkuat impunitas pelaku dan dapat menciptakan preseden terulangnya kasus serupa di masa depan.   

“Negara harus menunjukkan komitmen nyata untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ini termasuk menegakkan hukum dan keadilan bagi korban, menjamin pelanggaran serupa tak terulang di masa depan,” kata Usman. 

Kekerasan dan Pembunuhan di Luar Hukum

Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dominan terlihat selama 100 hari pertama pemerintahan baru adalah kekerasan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat. Tren ini adalah kelanjutan dari kasus-kasus yang terjadi di 2024, saat kekerasan aparat dan impunitasnya mencapai level endemik di institusi seperti Polri dan TNI. 

Amnesty International Indonesia mencatat dari 21 Oktober hingga 30 Desember 2024 terdapat setidaknya 17 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat Polri maupun TNI dengan jumlah korban 17 orang warga sipil. 

“Munculnya kasus-kasus pembunuhan di luar hukum menunjukkan pemerintahan baru tidak memiliki niat yang serius untuk memutus rantai kekerasan aparat dan enggan untuk memutus mata rantai impunitas di tubuh kepolisian dan TNI,” kata Usman. 

Data ini termasuk sekelompok personel TNI AD yang menyerang warga di sebuah desa di Deli Serdang, Sumatra Utara, yang menewaskan seorang warga sipil dan melukai beberapa orang lainnya pada November lalu. 

Di bulan yang sama di Kota Semarang, Jawa Tengah, seorang polisi menembak pelajar hingga tewas dan dua temannya luka-luka. Kepolisian di Semarang bahkan sempat membuat narasi palsu bahwa korban adalah anggota geng tawuran.    

Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi di tahun 2025. Awal Januari lalu, seorang pengusaha rental mobil di Tol Tangerang-Merak ditembak mati oleh anggota TNI. Sebanyak tiga anggota TNI diduga terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut.   

“Tahun 2025 diawali kombinasi mematikan kelalaian polisi melindungi warga dari aksi penyalahgunaan senjata api oleh aparat TNI yang berujung pembunuhan di luar hukum. Itu hanya satu dari rangkaian pembunuhan di luar hukum yang terjadi tiap tahun. Ini menegaskan awal buruk penegakan HAM bagi pemerintahan baru,” kata Usman. 

Insiden-insiden ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan warga , apalagi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai dari mekanisme hukum.  

“Pelaku harus diadili melalui proses hukum yang obyektif dan memenuhi rasa keadilan lewat mekanisme peradilan umum,” kata Usman. 

Institusi Polri dan TNI selalu memakai istilah “oknum” jika anggotanya terlibat kasus-kasus pidana atau pelanggaran HAM. Istilah ini cenderung dipakai untuk menghindari tanggung jawab institusi. 

Institusi dinilainya memiliki tanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan terlebih jika mereka menggunakan senjata api untuk melakukan tindak pidana pembunuhan atau pelanggaran HAM lainnya. 

Parahnya, dalam kasus penembakan bos rental, TNI terkesan membela anggotanya yang jelas melanggar HAM dengan mengatakan anggotanya terpaksa membela diri dengan menembak karena dikeroyok tanpa didukung bukti. Rekonstruksi perkara oleh kepolisian tidak menemukan ada pengeroyokan sebelum penembakan. 

“Jelas penembakan tersebut di luar tugas kedinasan anggota TNI AL. Upaya membela anggota yang terlibat adalah pelanggengan impunitas yang mengakar di institusi TNI. Pimpinan TNI juga menolak seruan agar anggotanya diadili di peradilan umum meski terlibat tindak pidana umum. Ini memperkuat budaya impunitas di TNI,” jelas Usman.

Editor: Eko Sutriyanto

Tag:  #catatan #hari #pemerintahan #presiden #prabowo #amnesty #international #melanjutkan #kemunduran

KOMENTAR