Sidang MK Soal UU Pemilu, Pemohon Minta Sekretaris DKPP Tak Diangkat dan Diberhentikan Kemendagri
Para pemohon, yakni Caroline Gabriela Pakpahan, M Nurrobby Fatih, Abednego Paniroi Rafra Gurning, dan Muhammad Thoriq Classica Perdana.
Mereka memohonkan agar MK mengubah Pasal 163 ayat (3) UU Pemilu, yang menyatakan Sekretaris Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diangkat dan diberhentikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Menurut para pemohon, norma Pasal a quo mengakibatkan adanya perbedaan kedudukan lembaga penyelenggara pemilu antara DKPP dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Penyelenggara Pemilu seharusnya memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan lembaga penyelenggara pemilu lainnya,” kata kuasa hukum para Pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu, dalam sidang agenda perbaikan permohonan Perkara Nomor 167/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2024).
Sandy menilai, DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu harus menjalankan tugas dan fungsinya secara setara dan sederajat dengan lembaga penyelenggara pemilu lainnya.
Para pemohon juga mengatakan, kemandirian lembaga DKPP tidak terpisahkan dari status kesekretariatan DKPP yang tidak boleh diintervensi unsur kekuasaan apa pun.
Selain itu, katanya, perubahan nomenklatur struktur DKPP dari sekretariat menjadi sekretariat jenderal yang akan menjamin penegakan etika penyelenggara pemilu yang efektif dan tanpa intervensi serta akan mengukuhkan posisi DKPP sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen.
Karena itu, menurut mereka, keberadaan Sekretaris DKPP dalam UU Pemilu saat ini tidak mencerminkan kebutuhan struktur organisasi modern yang sejalan dengan kompleksitas tugas DKPP.
Padahal, para pemohon menjelaskan, dengan adanya kesetaraan dalam mekanisme pengangkatan Sekretaris Jenderal KPU, Bawaslu, dan DKPP akan tercipta keseimbangan peran dan tanggung jawab antarlembaga penyelenggara Pemilu yang saling mendukung satu sama lain dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Sebagai contoh, Sekretaris DKPP yang saat ini menjabat sebagai pejabat eselon II memiliki keterbatasan wewenang dalam aspek administrasi, anggaran, maupun koordinasi lintas sektor.
Menurut Sandy, apabila jabatan Sekretaris DKPP tetap berada pada posisi eselon II berpotensi menciptakan ketimpangan wewenang dan tidak mampu menjawab kebutuhan strategis DKPP dalam mendukung fungsi pengawasan etika penyelenggara pemilu.
Sandy mengatakan, ketentuan Pasal 163 ayat (3) secara jelas menandakan adanya intervensi unsur pemerintah penunjukkan struktural kelembagaan DKPP melalui Kementerian Dalam Negeri.
Menurutnya, hal ini berpotensi mengkurasi independensi DKPP dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Dalam petitum, para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 162 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang DKPP, dibentuk Sekretariat Jenderal DKPP.”
Kemudian, pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 163 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pemilu dimaknai kembali sesuai keinginan para pemohon.
Sedangkan untuk Pasal 163 ayat (3) para pemohon menginginkan sepanjang frasa “diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP"
Dengan demikian para pemohon meminta norma pasal a quo menjadi “Sekretaris DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP”.
Tag: #sidang #soal #pemilu #pemohon #minta #sekretaris #dkpp #diangkat #diberhentikan #kemendagri