Kasus Kekerasan Polisi Naik, Usulan Angket hingga Muncul Isu Pergantian Kapolri, Siapa Inisiatornya?
Ilustrasi Polisi. 
05:02
13 Desember 2024

Kasus Kekerasan Polisi Naik, Usulan Angket hingga Muncul Isu Pergantian Kapolri, Siapa Inisiatornya?

- Jumlah kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Januari hingga November 2024 disebut mengalami kenaikan.

Tindakan Polisi yang menyalahi aturan terkait penggunaan senjata api ataupun kesewenangan kekuasaan jadi sorotan publik.

Amnesty International Indonesia bahkan merekomendasikan agar DPR menggunakan hak angket atau hak interpelasi guna menyelidiki hal tersebut.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, hal itu karena pihaknya ingin mengingatkan DPR memiliki hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.

Usman menangkap, DPR RI belakangan ini terkesan menjadi pihak yang membenarkan apa yang salah dari pihak kepolisian. 

Ia memandang DPR saat ini adalah bagian dari pengawasan kepolisian yang paling lemah.

"Jadi hak angket, hak interpelasi itu sangat penting untuk diingatkan saat ini karena yang paling lemah dalam pengawasan kepolisian adalah di DPR," ungkapnya saat diskusi di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta pada Senin (9/12/20204).

Ia menjelaskan, paling tidak ada lima pengawasan kepada kepolisian.

Pertama, lanjut dia, pengawasan internal di kepolisian baik melalui Divisi Propam, Irwasum, Paminal, Irwasda, atau Karo Wasidik.

Kedua, lanjutnya, pengawasan eksekutif di tingkat presiden termasuk pengawasan di bawah Kompolnas.

Ketiga, kata dia, pengawasan di DPR atau pengawasan legislatif.

Keempat, lanjutnya, adalah pengawasan oleh institusi yang independen seperti Komnas HAM bila pihak kepolisian mengakibatkan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. 

Dan kelima, pengawas dari lembaga-lembaga NGO independen.

"Kenapa rekomendasi kami dominan kepada DPR itu karena fungsi pengawasan legislatif, fungsi pengawasan politik dari Komisi XIII itu belum terlihat efektif dalam mengawasi kepolisian," ujarnya.

Akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti dalam kesempatan yang sama mengamini hal tersebut.

Menurutnya, hak angket dan hak interpelasi tersebut perlu diaktivasi karena suda sekian lama DPR "ditidurkan". 

"Karena memang DPR sudah terkooptasi, kita semua tahu, sekarang ini juga sudah ada koalisi yang luar biasa besar yang sebenarnya akan membuat politik kita mati, demokrasi itu bisa dibilang mati," ungkapnya.

"Kalau analis legalisme yang berkarakter otokratisme yang didukung oleh hukum, sebenarnya sudah sukses sekali. Karena justru DPR yang harusnya melakukan pengawasan supaya demokrasi tidak mati, sudah dimatikan duluan, makanya bukan demokrasi lagi tapi otokrasi," sambung dia.

Ia menyadari penggunaan hak angket di DPR memerlukan sejumlah syarat yang bersifat prosedural.

Untuk itu, ia mendorong setidaknya substansi dari penggunaan hak angket dan hak interpelasi tersebut bisa diangkat oleh para anggota DPR.

"Tapi, yang penting kan substansinya dulu diangkat sama politikus. Jangan cuma di konsumsi yang sifatnya di Podcast," kata Bivitri.

"Kenapa kita membutuhkan para wakil rakyat kita itu kan karena kalau kita tanya, kita ramaikan di media sosial mungkin dampaknya kecil. Paling-paling yang bisa mengangkat ya teman-teman jurnalis yang bisa bertanya secara tajam," sambung dia.

Temuan Amnesty

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid usai memaparkan temuan pihaknya di kantornya, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024). Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid usai memaparkan temuan pihaknya di kantornya, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024). (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Amnesty International Indonesia (Amnesty) mencatat sebanyak 116 kasus kekerasan hingga 29 pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang melibatkan anggota Polri di seluruh Indonesia dalam periode Januari sampai November 2024.

Hal tersebut merupakan bagian dari temuan Amnesty International Indonesia yang dipaparkan di kantor Amnesty, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024).

Amnesty mencatat 116 kasus kekerasan tersebut terdiri dari 29 kasus pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing), 26 kasus penyiksaan, 21 kasus penangkapan sewenang-wenang dalam aksi damai, 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 7 kasus penggunaan kekuatan gas air mata dan water canon, 3 kasus penahanan incommunicado, 1 kasus pembubaran diskusi, dan 1 kasus penghilangan sementara.

Amnesty juga mencatat 29 kasus pembunuhan di luar hukum tersebut menewaskan 31 orang.

Kasus tersebut tersebar di Papua, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten.

Amnesty juga mencatat temuan khusus terkait rangkaian aksi protes pada 22 sampai 29 Agustus 2024 atau Peringatan Darurat di 14 kota yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

Dalam aksi tersebut, ujar Usman, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.

Amnesty juga mewawancari sejumlah saksi di enam kota yang mengalami dan melihat peristiwa tersebut.

Amnesty juga menunjukkan sejumlah bukti video yang dikumpulkan dan diverifikasi.

Atas temuan tersebut, Amnesty mengemukakan empat poin kesimpulan.

Pertama, kekerasan polisi yang berulang ialah "lubang hitam" pelanggaran HAM. 

Penggunaan kekuatan yang tak perlu dan tak proporsional secara berulang dan tanpa adanya akuntabilitas, lanjutnya, adalah kebijakan kepolisian merepresi tiap protes atas kebijakan negara atau pejabat atau industri strategis, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri di lapangan atau melanggar perintah atasan.

Kedua, kekerasan polisi atas aksi Peringatan Darurat merupakan pilihan kebijakan mengamankan kepentingan pemerintah dan mengulangi kebijakan represif terhadap suara-suara kritis atas proyek strategis nasional di Rempang, Seruyan, Mandalika, dan lainnya.

Seluruhnya, menurut Amnesty menunjukkan polisi mengkhianati tugas melindungi HAM sesuai hukum nasional dan internasional.

Ketiga, jika ditambah deretan kekerasan polisi yang marak dibincangkan masyarakat, maka tahun 2024 tidak memperlihatkan adanya perbaikan sistem di kepolisian. 

Sebaliknya, menurut Amnesty hal itu malah memperlihatkan semakin darurat karena seluruh kasus kekerasan polisi berujung dengan pembenaran dan tanpa pertanggungjawaban.

Keempat, menurut Amnesty janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo bahwa era kepemimpinannya akan mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal.

Ditolak DPR

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, meminta Polri memperketat SOP (Standar Operasional Prosedur) pengawasan dan evaluasi penggunaan senjata api (senpi).

Hal itu disampaikannya merespons pernyataan Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, yang menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan untuk melucuti polisi dari senjata api (senpi). 

Itu sebagai respons dari maraknya penyalahgunaan senjata oleh oknum anggota Polri

"Kalau polisi sama sekali tidak mengantongi senpi, rasanya mustahil. Tingkat kriminal kita masih sangat tinggi dan sadis. Begal, pembunuhan, pencurian, masih marak di mana-mana. Maka Polisi, terutama satuan Reskrim, harus tetap memiliki senpi untuk memberikan efek psikologis kepada para pelaku kriminal di lapangan," kata dia saat dihubungi wartawan Senin (9/12/2024).

"Yang kita perlu perhatikan adalah penggunaannya. Harus diawasi ketat psikologis pemegangnya dan dilakukan screening ketat secara berkala," imbuhnya.

Dengan begitu, menurut Sahroni, nantinya polisi yang membawa senjata api merupakan mereka yang stabil secara mental dan profesional dalam bekerja.

“Cuma memang, tidak bisa kalau semua anggota bawa senpi. Kalau yang urusannya tidak berhadapan dengan potensi kriminal, pelayanan masyarakat misalnya, ya memang tidak usah. Tapi untuk yang berhadapan dengan pelaku kriminal, apalagi bandar-bandar narkoba yang kerap melawan kalau ditangkap, nah itu tetap mesti bawa senpi," ucapnya.

Lebih, Sahroni juga berharap kepada para aparat, untuk tidak bertindak gegabah dalam melihat suatu kejadian.

“Dan yang paling penting saya ingatkan kepada seluruh aparat, untuk tidak bertindak secara gegabah. Jangan buat keputusan ngasal, nyawa orang taruhannya,” pungkasnya.

Muncul desakan copot Kapolri

Sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) mendesak agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dicopot dari jabatannya, menyusul kekerasan polisi yang semakin marak dan dianggap darurat.

Beberapa aktivis HAM itu di antaranya adalah Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Daniel Siagian (LBH Pos Malang), Sukinah (tokoh Pegunungan Kendeng), serta beberapa aktivis yang tergabung dalam Social Movement Institute (SMI), Yogyakarta.

"Keberulangan kekerasan polisi telah menelan banyak korban fisik maupun jiwa, namun tidak ada investigasi yang memadai sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat," kata pendiri SMI, Eko Prasetyo, melalui pernyataan bersama pada Rabu (12/12/2024).

Mengutip data Amnesty International Indonesia, terdapat total 116 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia pada kurun Januari-November 2024, 29 di antaranya merupakan pembunuhan di luar hukum dan 26 lainnya penyiksaan serta tindakan kejam.

Dalam rangkaian unjuk rasa #peringatandarurat 22-29 Agustus lalu, menurut Amnesty, total ada 579 warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama rangkaian unjuk rasa.

Amnesty menyatakan, kekerasan-kekerasan itu bukan ditimbulkan oleh oknum polisi yang melakukan tindakan menyimpang di lapangan, tetapi memang produk kebijakan represif Korps Bhayangkara.

"Merespon situasi ini, kami menyatakan negara dalam keadaan darurat kekerasan polisi. Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan menelan korban secara luar biasa. Rendahnya transparansi hingga tidak ada penghukuman yang tegas untuk pelaku serta pemimpin komando dan petinggi-petinggi di kepolisian menjadi penyebab utama berulangnya kekerasan aparat ini," jelas Eko.

"Kekerasan aparat harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yaitu sebagai kebijakan yang diambil oleh petinggi Polri, bukan hanya merupakan kejadian terbatas yang dilakukan oleh aparat di lapangan," sambungnya.

Dirinya menambahkan, polisi kini menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung, apalagi pelayan masyarakat.

Menurut dia, kegagalan itu bisa disebabkan oleh kepemimpinan hingga budaya institusi.

"Saatnya polisi mulai mengubah diri dengan melakukan perombakan kepemimpinan, termasuk di pucuk pimpinan tertinggi, yaitu Kapolri, yang mesti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menjauh dari ciri polisi negara demokrasi dan hak asasi," kata Eko. 

Mereka juga meminta agar aparat kepolisian di semua level untuk memahami, mengerti, bahkan mampu untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, dan polisi yang terbukti melakukan kekerasan disanksi pidana dengan keras alih-alih hanya sanksi etik.

Disebut politis

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menilai munculnya isu pergantian Kapolri sangat politis.

Edi mengatakan isu pergantian Kapolri yang digulirkan sejumlah aktivis HAM dan Amnesti Internasional Indonesia secara tiba-tiba membingungkan masyarakat.

Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta diduga ada misi tertentu di balik digulirkannya isu pergantian Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatan Kapolri.

Menurut dia, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk pergantian Kapolri.

Mengingat saat ini tahapan Pilkada masih belum kelar dan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) masih tinggi.

"Untuk menjaga stabilitas keamanan, Kami melihat untuk tahun 2025, presiden masih membutuhkan sosok Jenderal Listyo Sigit Prabowo," kata Edi dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Kamis (12/12/2024).

Edi menilai, Jenderal Listyo Sigit saat ini telah berhasil melakukan berbagai pembenahan dan terobosan pelayanan di institusi Polri.

Secara umum, kata Edi, kinerja Polri semakin membaik.

Edi Hasibuan melihat selama menjabat Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri konsisten memberikan penghormatan terhadap HAM dan menghidupkan demokrasi di negeri ini.

Hal itu terlihat dari adanya lomba kritik yang pedas kepada Polri.

Kapolri, kata Edi, sempat mengatakan bahwa orang yang berani mengkritik Polri adalah sahabatnya.

"Kehadiran Kapolri yang kerap kita lihat dalam membantu masyarakat menyampaikan aspirasi selama ini banyak diapresiasi. Namun, ketika ada pihak lain memunculkan isu pergantian Kapolri, lalu banyak pihak mempertanyakannya," katanya.

Menurut dia, pergantian Kapolri sepenuhnya adalah hak presiden. Ketika presiden melihat sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit masih dibutuhkan tentu harus dihormati.

Edi Hasibuan sendiri melihat sosok mantan Kabareskrim Polri itu masih dibutuhkan presiden untuk menjaga kondusifitas dalam internal Polri sendiri.

Eks anggota Kompolnas ini menilai, mencuatnya isu pergantian Kapolri karena ada kasus penembakan tidak tepat.

"Jadi jika kasus penembakan dikait-kaitkan dengan pergantian Kapolri menurut saya tidak tepat," ucapnya

Edi Hasibuan menegaskan pelaku penembakan adalah oknum.

"Kinerja Kapolri dan seluruh jajarannya dalam pengamanan Pilpres dan Pilkada yang kondusif diapresiasi banyak pihak," kata ucapnya. (*)

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #kasus #kekerasan #polisi #naik #usulan #angket #hingga #muncul #pergantian #kapolri #siapa #inisiatornya

KOMENTAR