Mengatasi Sindrom Nomofobia Gen Z
Masdar Hilmy
10:32
17 Mei 2024

Mengatasi Sindrom Nomofobia Gen Z

 

NURANI kemanusiaan mana yang tidak terkoyak membaca berita pilu nan viral ini: murid SD di Cirebon mengalami depresi berat gegara ponsel yang dia beli dari hasil menabung dijual ibunya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Buntutnya, anak tersebut sering uring-uringan. Bahkan, dia pernah pergi dari rumah tanpa arah hingga mengancam mogok sekolah. Si ibu tidak pernah menyangka bahwa tindakannya dapat menyebabkan dampak seburuk itu.

Fenomena di atas barangkali ibarat gunung es: sedikit di atas permukaan, tetapi banyak di bawah permukaan. Ada banyak keluarga miskin yang mengalami hal yang sama. Juga ada lebih banyak lagi anak-anak kita yang mengalami sindrom kecanduan gawai atau ponsel. Dalam terminologi ilmu psikologi, fenomena kecanduan ponsel sering disebut sebagai nomophobia.

Kependekan dari no mobile phone phobia (ketakutan tidak punya akses ke ponsel). Sindrom nomophobia (selanjutnya ditulis nomofobia) ditandai dengan gejala psikologis berupa perasaan takut, khawatir, galau, dan depresi berlebihan akibat kehilangan akses terhadap ponsel (Enock, Hofmann & McNally, 2014).

Ponsel bukan sekadar gawai atau perangkat keras (hardware). Ponsel telah menjelma menjadi kekuatan otonom yang dapat menciptakan kondisi ketergantungan, bahkan kecanduan, bagi pemakainya. Di era digital seperti sekarang ini, hidup seseorang terasa tidak lengkap tanpa kehadiran ponsel. Ia berfungsi sebagai katalis bagi jejaring sosial virtual, sumber informasi sekaligus sumber hiburan dan permainan yang menyenangkan. Namun juga sebagai sumber kriminalitas dan tindakan asusila seperti kekerasan, pornografi, dan judi daring yang marak akhir-akhir ini.

Kesejahteraan Anak

Banyak studi telah membuktikan bahwa sindrom nomofobia selalu terkait dengan depresi dan kekhawatiran. Kasus depresi berat anak Cirebon mengindikasikan gejala sindrom nomofobia. Sebuah studi menyimpulkan, 77 persen remaja (rerata usia 15 tahun) mengalami kekhawatiran dan ketakutan eksesif jika mereka terpisah dari ponselnya (Sharma, 2019). Perilaku negatif yang menyertai sindrom nomofobia adalah depresi, obsessive-compulsive disorder, instabilitas emosi, gejala antisosial, perilaku seksual menyimpang, ketagihan game dan judi daring, serta perilaku buruk lainnya.

Gejala psikologis nomofobia di atas berdampak secara negatif terhadap kebahagiaan atau kesejahteraan anak (Asberg, et. al., 2008). Keluhan kesehatan yang rendah sering dialami oleh mereka yang menggunakan ponsel secara berlebihan seperti kecapekan, kepala pusing, kekhawatiran, sulit berkonsentrasi, dan sulit tidur (insomnia). Sebaliknya, penggunaan ponsel yang dibatasi cenderung menciptakan kesehatan mental yang lebih baik dibanding penggunaan ponsel yang tak dibatasi (Srivastava dan Tiwari, 2013).

Mitigasi dan Deteksi

Munculnya sindrom nomofobia di kalangan generasi Z atau gen Z (digital natives) sungguh tidak bisa dianggap remeh mengingat mereka terlahir di tengah kepungan perangkat digital. Berdasar laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang bertajuk “Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024,” dari total 278,69 juta jiwa jumlah penduduk di negeri ini, sebanyak 221,5 juta jiwa (79,5 persen) terkoneksi dengan internet. Angka itu meningkat dari 77,01 persen pada 2022 dan 78,19 persen pada 2023.

Dari seluruh pengguna internet tersebut, porsi terbanyak ditempati oleh gen Z (kelahiran 1997–2012/berusia 12–27 tahun) sebanyak 34,4 persen. Setelah itu, berikutnya ditempati oleh generasi milenial kelahiran 1981–1996/berusia 28–43 tahun sebanyak 30,62 persen, dan gen X (kelahiran 1965–1980/berusia 44–59 tahun) sebanyak 18,98 persen. Sisanya ditempati oleh generasi pre boomer (kelahiran < 1945/berusia 79 tahun++), baby boomers (1946–1964/berusia 60–78 tahun), dan post gen Z ( > 2013/berusia kurang dari 12 tahun).

Di era digital, ponsel jelas menjadi kebutuhan ”elementer” bagi setiap individu, dewasa maupun anak-anak dan remaja. Hanya, mitigasi risiko dan deteksi dini terhadap penggunaan ponsel yang eksesif harus menjadi perhatian semua pihak, utamanya bagi orang tua, guru, dan pemerintah. Sehingga gejala yang mengarah pada ketergantungan dan kecanduan ponsel serta sindrom nomofobia dapat diidentifikasi, dicegah, atau dihindari sejak dini.

Dalam rangka memitigasi dan mendeteksi dampak buruk penggunaan ponsel secara eksesif, terutama di kalangan gen Z, ada baiknya diperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, mendisiplinkan anak dengan jadwal penggunaan ponsel secara ketat, akurat, tapi proporsional. Konsistensi anak dalam mendisiplinkan diri dengan jadwal penggunaan ponsel harus berbasis stick and carrot system (sistem hadiah dan hukuman). Ketaatan akan melahirkan hadiah dan setiap pelanggaran berkonsekuensi pada hukuman. Bentuk hadiah dan hukuman harus didiskusikan dan disepakati bersama antara anak dan orang tua.

Kedua, mengalokasikan waktu ”bebas ponsel” bersama di lingkungan keluarga. Setiap anggota keluarga, tak terkecuali orang tua, harus taat asas terhadap kesepakatan ini. Risikonya, orang tua harus menyediakan sublimasi atau pengalihan ke aktivitas lain yang tak kalah produktif dan menyenangkan bagi anak. Hal itu semata-mata agar ponsel tidak menjelma menjadi toksik untuk anak-anak.

Ketiga, mencarikan alternatif kegiatan bagi anak yang merangsang daya pikir dan kreativitas motorik anak melalui permainan dan simulasi peran. Lembaga pendidikan harus menyediakan lingkungan yang menyenangkan bagi tumbuh kembangnya segenap potensi anak. Guru dituntut menyediakan proses pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan agar anak tidak disergap kejenuhan dan kelelahan mental akut (burn-out). Sebab, anak sering kali mencari kompensasi melalui ponsel untuk mengatasi kejenuhannya.

Di atas itu semua, tidak ada formula mujarab mengatasi sindrom nomofobia di kalangan gen Z, kecuali kesabaran, ketelatenan, dan konsistensi tanpa batas. Semoga! (*)


*) MASDAR HILMY, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Editor: Dhimas Ginanjar

Tag:  #mengatasi #sindrom #nomofobia

KOMENTAR