

Ilustrasi Lahan Kekeringan./ Feyza Daştan/Pexels.com


Krisis Air Mengancam Dunia, Simak Rencana Penting dari World Water Forum ke-10 di Bali Mei 2024
Krisis air kini menjadi ancaman serius dan perhatian seluruh negara. Hal ini disebabkan adanya perubahan iklim, sehingga siklus hidrologi menjadi terganggu dan memicu terjadinya krisis air. Krisis air terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Artinya, masalah tersebut telah menjadi krisis global yang harus diantisipasi setiap negara, baik negara maju maupun berkembang. Masalah krisis air di seluruh dunia rencananya bakal dibahas pada pertemuan internasional terbesar di bidang air atau World Water Forum (WWF) ke-10 mendatang. Tepatnya, 18-24 Mei 2024 di Bali. Isu air akan dibahas oleh delegasi dari 172 negara dunia dalam WWF ke-10 mendatang. Tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan air secara setara di seluruh negara dunia. WWF ke-10 juga memiliki tema yaitu "Water for Shared Prosperity", yang diterjemahkan ke dalam enam sub-tema yang dibahas. Di antaranya, water for human and nature, water security and prosperity, disaster risk reduction and management, governance cooperation and hydro diplomacy, sustainable water finance, serta knowledge and innovation. Berdasarkan laporan World Meteorological Organization (WMO), krisis air di dunia nyata sudah terjadi di masyarakat. Saat ini ada peningkatan evapotranspirasi, yaitu proses penguapan air dari permukaan tanah ke atmosfer. Selain itu, dikutip dari laman indonesia.go.id juga terjadi penurunan kelembaban tanah selama musim panas yang disebabkan oleh kekeringan. Belum lagi soal cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air yang menyebabkan 11.778 bencana dilaporkan antara tahun 1970 sampai 2021. Tentunya hal itu berdampak pada negara maju yang mengalami lebih dari 60 persen kerugian ekonomi akibat cuaca. Namun, sebagian besar di bawah kerugian tersebut nilainya 0,1 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Sebaliknya, negara berkembang (belum maju) mengalami 7 persen bencana yang menyebabkan kerugian lebih dari 5 persen PDB dan mencapai hingga 30 persen. Sementara untuk negara kepulauan kecil yaitu sekitar 20 persen bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5 persen PDB, tetapi ada pula yang melebihi 100 persen. Sekadar informasi, dinamika siklus air dan interaksinya dengan masyarakat manusia dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, bervariasinya pola spatio-temporal (ketersediaan sumber daya air). Kedua yaitu dampak kejadian ekstrem yang berhubungan dengan sumber daya air dapat memengaruhi kehidupan, pembangunan dan keberlanjutan ekosistem, masyarakat, serta individu. Buktinya, proyeksi Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2050 mencatat, krisis air akibat perubahan iklim akan meningkatkan kerentanan pada kawasan penyedia pangan. Akibatnya, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang menghasilkan 80 persen sumber pangan dunia menjadi kelompok yang paling rentan. Kemudian, demi mencegah terjadinya krisis air diperlukan mitigasi dan adaptasi secara sistematis terhadap isu-isu terkait air, melalui observasi, monitoring, dan pengumpulan data. Data tersebut dapat dijadikan baseline bagi stakeholder untuk merumuskan kebijakan terkait air. Lalu, dapat dijadikan acuan dalam melakukan mitigasi sebelum bencana akan datang. Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, saat ini kesenjangan hak atas air semakin parah dengan adanya dampak perubahan iklim. Hal ini mengakibatkan air merupakan sesuatu yang seharusnya membuat kita sejahtera ternyata dapat menjadi bencana seperti kekeringan dan banjir. Dwikorita igin momen WWF ke-10 mendatang seluruh pihak dapat berkolaborasi bersama membangun kolaborasi multi-helix. "Kolaborasi ini bertujuan untuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana di mana kerja sama dan koordinasi dilakukan melalui lintas sektor dan lintas batas," terangnya. Ia berharap, dengan adanya kolaborasi, segala tantangan justru dapat menyatukan modalitas dan meningkatkan kapasitas. Dan, salah satu platform untuk menghimpun sinergi adalah melalui forum dialog internasional WWF ke-10 mendatang. "Spirit WWF di Bali adalah kolaborasi multisektor, multi-helix, multi-pihak, multi-nation, multi-bangsa-bangsa dalam rangka menghadapi dan mengatasi bersama persoalan global (krisis air dan krisis iklim)," tutur Dwikorita. Pihaknya juga meminta keterlibatan pimpinan negara, parlemen, menteri, pemimpin daerah, dan otoritas pengelola air di cekungan-cekungan (basin authorities). Tujuannya yakni untuk menentukan arah demi menyelesaikan masalah yang terjadi berdasarkan data dan kasus di lapangan. Sehingga, keterlibatan atau kekuatan politik ini diharapkan dapat mengikat seluruh pihak untuk kerja kolektif menyelesaikan masalah air di dunia. "Tentu kami berharap ada opsi lanjutan, yakni deklarasi para menteri untuk mewujudkan kesejahteraan air untuk bersama dan ditargetkan adanya centre of excellence on water and climate resilience," tambahnya. ***
Editor: Novia Tri Astuti
Tag: #krisis #mengancam #dunia #simak #rencana #penting #dari #world #water #forum #bali #2024