Ketika Dirjen Bimas Islam, Buddha, Katolik Bicara soal Moderasi Agama, Tidak Sebatas Teori
- Kementerian Agama (Kemenag) menilai moderasi beragama menjadi senjata ampuh untuk menjaga keharmonisan sosial di Indonesia. Untuk itu, moderasi beragama jangan sebatas teori, tetapi harus dalam bentuk praktik yang bisa diterapkan.
Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin memberi poin penting yang menyatakan bahwa moderasi beragama bukan sekadar konsep teoritis, tetapi harus diwujudkan dalam praktik sehari-hari.
"Moderasi beragama mengedepankan aspek sosiologis, yaitu bagaimana kita berinteraksi dan membangun hubungan yang baik dengan berbagai pihak," ujar Kamaruddin dalam Konferensi Internasional Moderasi Beragama (ICROM) 2024 di Jakarta pada Rabu (6/11). Konferensi itu dihadiri oleh ratusan akademisi, peneliti dan tokoh agama. Mereka tersebut berbicara dan berdiskusi mengenai pentingnya moderasi beragama, khususnya dalam menjaga keharmonisan sosial di Indonesia.
Kamaruddin Amin mencontohkan praktik moderasi beragama yang diterapkan di kampus, seperti di Universitas Islam Negeri (UIN). Di sana setiap memperingati hari jadi selalu dengan menghadirkan tokoh-tokoh Islam. Tujuannya untuk mencari titik temu antara ajaran agama dan kemaslahatan umat.
Sementara itu, Dirjen Bimas Buddha Kemenag Supriyadi menyoroti pentingnya moderasi beragama dalam menjaga keragaman Indonesia. Dia mengatakan Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk. "Salah satu pencapaian penting kita adalah mampu menjaga stabilitas sosial-politik di tengah keberagaman ini. Peran moderasi beragama dalam proses tersebut sangat luar biasa," ujarnya.
Dia menegaskan bahwa peran agama dalam kehidupan sosial-politik Indonesia sangat fundamental. Peran tersebut harus dijaga bersama untuk memastikan perdamaian dan stabilitas.
Di bagian lain, Dirjen Bimas Katolik Kemenag Suparman menambahkan bahwa kepemimpinan tokoh agama sangat berpengaruh dalam menumbuhkan kesadaran moderasi di kalangan umat. Ia mencontohkan momen hadirnya Paus Fransiskus saat bertemu dengan Imam Besar Indonesia di Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar.
Menurut dia, ini mencerminkan pentingnya teladan pemimpin agama dalam meredam intoleransi dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan ekologi. "Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani oleh Paus dan Imam Besar bukan sekadar simbol namun harus diterapkan dalam kehidupan nyata," ungkap Suparman.
Direktur Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag Adib Abdusshomad menegaskan pentingnya ruang dialog antar-komunitas agama untuk menciptakan kedamaian. Ia menggarisbawahi tantangan dalam menyampaikan pesan moderasi beragama kepada generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial. Kelompok remaja ini, sangat terhubung dengan internet dan media sosial.
"Untuk itu, kita perlu melibatkan para artis dan influencer dalam menyebarkan bahasa moderasi beragama yang relevan dengan mereka," ujarnya. Dengan pendekatan ini moderasi beragama dapat diterima lebih luas termasuk di kalangan anak muda yang memiliki pengaruh besar di dunia digital.
Adib juga mengungkapkan pentingnya memperluas strategi moderasi beragama hingga ke komunitas-komunitas yang berada di daerah-daerah yang lebih sulit dijangkau. Misalnya, di desa-desa seperti di Klaten dan Kudus, yang telah sukses mengimplementasikan nilai-nilai kerukunan antaragama.
"Melalui program-program seperti Desa Sadar Kerukunan, kami berupaya mengedukasi masyarakat untuk memahami nilai-nilai agama masing-masing dan pentingnya menjaga hubungan antaragama yang harmonis," tandasnya.
Tag: #ketika #dirjen #bimas #islam #buddha #katolik #bicara #soal #moderasi #agama #tidak #sebatas #teori