Etika Politik dan Pisah Jalan Jokowi dengan PDIP
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo menyapa kader PDI-P saat menghadiri acara puncak peringatan Bulan Bung Karno di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu (24/6/2023).(Dokumentasi/PDI-P)
06:48
13 Januari 2024

Etika Politik dan Pisah Jalan Jokowi dengan PDIP

TENTU menarik mengikuti dinamika relasi politik antara Presiden Joko Widodo dengan PDIP, partai pemenang pemilu yang mengusungnya hingga di karier politik tertinggi kekuasaan di negara-bangsa.

Menarik karena di ujung kekuasaannya pula, Jokowi, bukan makin dekat dan kuat relasinya dengan partai yang turut membesarkannya itu, justru sebaliknya merenggang, bahkan boleh jadi telah berpisah jalan.

Pisah jalan Jokowi - PDIP makin jelas dan kentara pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-51 PDIP, 10 Januari 2024, jelang pelaksanaan pemilu.

Jokowi yang setiap tahun hadiri HUT PDIP, kali ini tak nampak, tak kirim karangan bunga, pun tak berikan ucapan selamat melalui video atau media massa.

Sesuatu yang janggal, ibarat anak kandung yang tak hadiri perayaan ulang tahun pernikahan orangtuanya, padahal itu sudah menjadi agenda rutin tahunan.

PDIP melalui Chico Hakim, mengaku pihaknya sengaja tak mengundang Jokowi, karena sudah tahu Jokowi tak bakal hadir, sebab akan melawat sejumlah negara.

"Bahwa presiden ada kepentingan untuk pergi ke luar negeri sehingga kami tidak mengundang beliau," kata Chico (Kompas.com, Rabu,10 Januari 2024).

Sementara Jokowi tetap mengagendakan ke luar negeri, meski tentu sudah tahu kalau partai-nya itu akan anniversary. Bisa jadi adalah kesengajaan.

Hal ini menjadi satu realitas politik yang turut mengonfirmasi kian memburuknya hubungan Jokowi dengan PDIP, dan sudah menjadi rahasia publik.

Relasi Jokowi - PDIP benar-benar telah berada di titik nadir. Sudah tak ada titik temu, PDIP kecewa, marah, air susu dibalas tuba oleh Jokowi dan keluarganya.

Kecewa berat, bukan saja karena Jokowi memberi restu kepada putranya Gibran Rakabuming Raka hingga ikut dalam kandidasi pilpres melawan PDIP, tapi prosesnya sendiri melukai rasa keadilan publik.

Skandal di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan Anwar Usman, adik ipar Jokowi, atau paman Gibran, hingga diturunkan dari Ketua MK karena melanggar etik adalah biang kerok, akan tercatat dalam sejarah politik negeri ini.

Partai dengan diksi ‘demokrasi’ dalam namanya itu (PDIP), dan punya sejarah kuat dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi, tentu saja menolak, emoh atau ogah mendukung suatu proses yang notabene menabrak nilai demokrasi.

Frame relasi politik Jokowi - PDIP tentu saja semakin menarik untuk disimak, terutama bila mau dilihat atau dipahami dalam optik etika politik.

Etika politik adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik yang berlandaskan kepada etika. Etika sering pula disamakan dengan moral.

Etika politik tentu saja mensyaratkan pentingnya pertimbangan moral dalam suatu keputusan politik, untuk kemudian dapat dipertanggungjawabkan secara moral, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku umum, utamanya di dalam satu entitas masyarakat.

Aristoteles, melalui karyanya "Nikomakea Ethics", menekankan pentingnya karakter dan kebiasaan baik dalam mencapai kebahagiaan (tujuan) dan pentingnya menjaga keseimbangan dalam tindakan, termasuk dengan menghindari cara-cara yang ekstrem.

Atau oleh Oscar Diego Bautista yang dalam Ética Y Política: Valores Para Un Buen Gobierno (2007) juga menyatakan bahwa ketiadaan etika politik membawa seseorang (aktor politik) dalam egoisme politik.

Menandaskan bahwa memikirkan diri sendiri dan bukan orang lain adalah karakteristik individu tanpa sumber daya etis, akan menghasilkan transformasi dalam perilaku anggotanya ke sesuatu berdasarkan anti-nilai atau diametral dengan keadaban sosial.

Etika politik penting karena memberikan kerangka moral untuk perilaku politik. Sehingga membantu mendorong pemimpin, termasuk semua warga negara agar bertindak dengan penuh integritas, adil, dan bertanggung jawab dalam ranah politik.

Etika politik juga penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik (partai) dan mendukung pembentukan berbagai kebijakan publik yang adil serta berkelanjutan.

Itu sebabnya, etika politik menjadi penting untuk mencegah kontra-nilai atau anti-etik yang sering disebut sebagai perilaku politik Machiavelli.

Meminjam Niccolò Machiavelli, melalui karyanya "The Prince" anti-etik disebut sebagai cara mencapai dan mempertahankan kekuasaan, dengan cara apa saja, bahkan jika itu melibatkan tindakan yang dianggap tidak bermoral sekalipun menjadi sah dan wajar.

Lantas bagaimana etika politik digunakan untuk mencermati perangai politik dan sejumlah keputusan politik Jokowi, terutama dalam relasi politiknya dengan PDIP (Megawati) belakangan ini?

Bila mau jujur, sesungguhnya ada persoalan mendasar pada etika politik yang perlu menjadi titik tekan. Pentingnya kebiasaan baik dan juga karakter dalam kepemimpinan politik sebagai landasan etika politik telah diabaikan atau tak diindahkan.

Apa yang tersaji memperlihatkan Jokowi seakan tidak memperlakukan dan atau menempatkan PDIP sebagai entitas politik yang penting dan wajib dihormati sebagai penyokong utamanya dalam merengkuh kekuasaan.

Sikap politik itu ditunjukan dan justru terjadi ketika atau setelah Jokowi telah mendapat relasi serta kawan politik yang baru (partai-partai) di luar PDIP.

Seakan ada amnesia, dalam konteks karier politik elektoral Jokowi yang panjang selama lebih dari 22 tahun, tak terlepas dari kontribusi besar PDIP.

Fakta politik yang tak terbantahkan, Jokowi bisa 10 tahun menjadi Wali Kota Solo, 2 tahun lebih sebagai Gubernur DKI Jakarta dan hampir 10 tahun menjadi Presiden Indonesia adalah mahakarya politik PDIP.

Tentu saja, karena di negara demokrasi-konstitusi seperti Indonesia, akan sulit seseorang bisa punya karier politik yang panjang dan berjenjang, dari level bawah hingga atas, tanpa dukungan dari partai.

Itu artinya, seseorang sekalipun dengan modal elektabilitas yang tinggi, tidak akan bisa berkontestasi, hingga menang dalam kandidasi presiden dan wakil presiden tanpa diusung oleh partai.

Dalam kalkulasi ini, Jokowi mungkin saja akan tetap menjadi pengusaha mebel di Kota Solo, andai saja PDIP tak pernah mengusungnya menjadi wali kota, gubernur hingga presiden. Tanpa PDIP, Jokowi bukan siapa-siapa di perpolitikan Indonesia.

Betul, Jokowi juga memberikan kontribusi atau efek ekor jas atau coat-tail effect ke PDIP, terutama dalam pemilu terakhir (2019), tapi itu bukan sesuatu yang signifikan, karena sebelum era Jokowi pun PDIP sudah merupakan salah satu partai besar di Indonesia.

Pada pemilu 2014, PDIP adalah partai papan atas, meraih suara terbanyak dengan jumlah suara mencapai 18,95 persen, yang kemudian menjadi modal untuk mencalonkan Jokowi dalam Pilpres 2014.

Sehingga bila kemudian pada HUT PDIP di tahun terakhir kepemimpinan Jokowi sebagai presiden, lantas ia tak menyempatkan waktu hadir, tentu menjadi wajar kemudian dipertanyakan secara etika politik.

Apalagi pada hari-hari sebelumnya, lewat media massa maupun melalui media sosial, nampak Jokowi meluangkan waktu untuk makan dengan sejumlah pimpinan partai. Masa iya, dengan PDIP sebagai rumah politiknya, Jokowi malah justru menjauh.

Jokowi diketahui makan malam dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, di Menteng Jakarta, Jumat (5/1), sarapan dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto di Kebun Raya Bogor, Sabtu (6/1), serta makan siang dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di Medja Restoran di Kota Bogor, Minggu (7/1).

Sehingga absennya Jokowi dari sejumlah agenda penting PDIP, seperti deklarasi capres-cawapres PDIP, tidak pernah lagi bertemu Megawati secara formal pasca-Gibran resmi jadi cawapres, hingga tak hadiri HUT PDIP adalah titik kulminasi, pisah jalan.

Memang kerenggangan politik sejauh ini tidak tiba-tiba. Rumor politik menyebut alasan berubahnya fatsun politik Jokowi tidak terlepas dari faktor kekecewaannya terhadap Megawati yang kerap tidak memosisikan dirinya secara proporsional. Kurang begitu dihargai.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, di banyak kesempatan, terutama dalam forum-forum internal PDIP, Jokowi kerap disebut atau hanya dianggap petugas partai, kapasitasnya dikerdilkan.

Namun bukankah sebagai petugas partai itu bukan hal baru. Sejak maju dalam pilpres periode pertama (2014), petugas partai sudah disematkan, dan bukan menjadi satu persoalan.

Bahkan Jokowi dalam sejumlah kesempatan, kerap mengaku sebagai petugas partai. Lalu kenapa baru sekarang dipersoalkan atau jadi baper.

Atau mungkin saja ada persoalan politik lainnya yang lebih rumit, yang sejauh ini belum terungkap ke publik. Boleh jadi ada semacam hidden political problems.

Sikap Jokowi ini tak ubahnya dengan apa yang ditunjukan putranya Gibran dan menantunya Bobby Nasution yang merupakan Wali Kota Medan.

Mereka semua yang telah dibesarkan oleh PDIP, seolah “datang tampak muka, pulang tampak punggung”. Tak ada “kulo nuwun” atau pamit secara baik-baik, seraya berterima kasih kepada PDIP, terutama dengan Megawati.

Sungguh ini menampakan ketiadaan etika politik dan nir karakter. Menjadi contoh dan pelajaran kurang elok bagi generasi bangsa. Etika yang mestinya adalah pijakan tertinggi dalam berbangsa justru diabaikan.

Sayangnya, dalam realitas politik ini, PDIP tak kunjung mengambil langkah tegas. Seperti bagaimana PDIP memberi sanksi kepada Budiman Sudjatmiko setelah secara terang-terangan mendukung Prabowo.

Hal ini ditengarai karena PDIP sementara ini tak mau kehilangan kursi di kabinet jelang pelaksanaan pemilu, karena tetap mau mendapat manfaat politik jelang pemilu, dari kaki-kaki politiknya di kabinet.

Meski tahu dalam pilpres ini Jokowi lebih condong atau bahkan menjadi king maker bagi Prabowo dan putranya Gibran, PDIP terkesan membiarkan, mengalah, sembari sesekali menjadi semacam oposisi internal secara diam-diam terhadap pemerintah.

Tag:  #etika #politik #pisah #jalan #jokowi #dengan #pdip

KOMENTAR