Emisi Karbon dari Jet Pribadi Tinggi di Masa Kampanye Pilpres
Trend Asia mengungkapkan jejak emisi karbondioksida (CO2) yang dipakai oleh ketiga pasangan calon Presiden 2024 sangat tinggi semasa jadwal kampanye Pilpres ditetapkan. Hal itu berkaitan dengan penggunaan pesawat terbang saat melakukan kampanye di daerah.
Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry lewat keterangan tertulis yang diterima di Jakarta mengatakan, emisi CO2 yang dipakai oleh para capres berkontribusi memperparah pemanasan global.
Menurutnya, sepanjang masa kampanye, para paslon berlomba-lomba menyampaikan program untuk mengurangi emisi karbon. Hal itu dalam rangka memerangi krisis iklim, jika mereka terpilih. Namun di lain sisi, mereka yang keluarkan emisi karbon sepanjang masa kampanye.
"Berbanding terbalik dengan emisi yang mereka keluarkan sepanjang saat masa pemilu. Karena hanya dalam kurun waktu 92 persen hari kampanye, jejak emisi CO2 yang ditinggalkan oleh ketiga paslon mencapai 1.276.342 kg dari pemakaian penerbangan privat (private jet)," ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan oleh sekitar 37.539 orang di Indonesia.
Atau lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
"Yakni dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 kg. Pemakaian private jet jelas menunjukkan gaya hidup mahal dan mewah para paslon," ujarnya.
Padahal, lanjut Ahmad, rakyat sedang menghadapi kesusahan. Sehingga, seharusnya mereka bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain.
"Yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye. Hal itu sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan,” tegasnya.
Ahmad juga menambahkan, Trend Asia melakukan pemantauan terhadap ketiga paslon. Hal itu untuk melihat dampak aktivitas selama kampanye terhadap lingkungan.
"Fokusnya adalah pada emisi CO2 dari penerbangan yang mereka gunakan berupa private jet, helikopter dan pesawat komersial carter. Metode pemantauan data penerbangan ini dengan mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye Pilpres 2024 dari masing-masing paslon dengan bandara terdekat atau lapangan terdekat," ucapnya.
Hal itu untuk melihat kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut. Pemantauan dilakukan sejak kampanye dimulai pada 28 November 2023 sampai 4 Februari 2024.
"Yaitu selama 69 hari kampanye atau 92 persen hari kampanye). Jumlah perjalanan udara yang kami analisa sebanyak 235 kali, dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 Kilometer (Km)," paparnya.
Ditambahkan, semuanya penerbangan domestik. Namun dia mengakui, tidak semua perjalanan dapat dianalisis.
"Hal itu karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik. Kami menduga, data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik," imbuhnya.
"Kita ketahui, perjalanan semua paslon ini menghasilkan CO2 setara dengan emisi penerbangan domestik warga satu kabupaten di Papua. Ini sebuah ironi," ujar Manager Riset Trend Asia Zakki Amali.
Hal itu membuat mereka berjarak dari penderitaan rakyat. Sebab, masa depan Indonesia dibicarakan di atas kemewahan yang jauh dari situasi sehari-hari rakyat.
"Temuan tersebut sangat jelas menunjukkan ketimpangan emisi. World Inequality Database (WID) mengungkapkan, pada 2019 terdapat 10 persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 11,1 ton karbondioksida ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor," jelasnya.
Pada tahun sama, 1 persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2e.
"Data ini menunjukkan bahwa emisi dari 10 persen orang terkaya Indonesia 3 kali lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1 persen orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum," tambahnya.
Jejak karbon dua kelompok ini juga menunjukkan ketimpangan emisi. Data itu menyoroti ketimpangan yang signifikan dalam emisi GRK antara kelompok terkaya dan populasi umum di Indonesia.
"Kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Emisi yang dihasilkan oleh kelompok terkaya harus diatasi," terangnya.
Misalnya dengan redistribusi kekayaan atau dengan menaikan pajak untuk orang kaya. Selain itu, tidak mengulangi kebijakan semacam Tax Amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya.
Tag: #emisi #karbon #dari #pribadi #tinggi #masa #kampanye #pilpres