Menag Nasaruddin: Merusak Satu Bagian Bumi Berarti Mengguncang Ekosistem
- Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menekankan pentingnya pendekatan ekoteologi dalam membuat kebijakan lingkungan. Menurutnya, bumi dan alam semesta tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan.
Hal itu disampaikan Menag dalam seminar nasional bertajuk Taubat Ekologis: Refleksi Kebijakan Tata Kelola SDA di Aula Masjid Istiqlal Jakarta pada Rabu (17/12). Seminar ini digelar oleh Dewan Pengurus Nasional (DPN) Gerbang Tani.
“Alam bukan sekadar sumber daya, melainkan amanah ilahi yang wajib dijaga keberlanjutannya. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan konflik lahan bukanlah ‘biaya pembangunan’, tetapi tanda terganggunya relasi manusia dengan amanah Tuhan,” kata Nasaruddin.
Seruan taubat ekologi ini senada dengan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat sekaligus inisiator Gerbang Tani Muhaimin Iskandar (Cak Imin) beberapa waktu yang lalu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lingkungan dari tangan-tangan tak bertanggungjawab.
Meski begitu, Menag menilai, manusia memiliki keterbatasan dalam memahami realitas. Padahal energi semesta saling berkaitan.
“Merusak satu bagian bumi berarti mengguncang keseluruhan ekosistem, termasuk kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam,” imbuhnya.
Dalam elaborasi teologis, Menag mengutip pemikiran Ibnu Arabi tentang tajalli dan konsep acosmos, yang memandang alam sebagai manifestasi sifat-sifat Ilahi. Karena itu, alam tidak pantas diperlakukan sebagai benda mati yang bebas dieksploitasi.
Di tempat yang sama, Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad mengatakan, taubat ekologis lahir dari refleksi panjang atas dampak bencana ekologis yang tidak sesaat.
“Ada salah satu rekan saya yang terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami Aceh menyebutkan bahwa dampak bencana di Sumatera membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk pulih. Hulu dan hilirnya sama-sama terhantam. Situasi inilah yang mendorong kami mengangkat tema taubat ekologis,” ujar Idham.
Menurutnya, taubat ekologis tidak semata dimaknai sebagai simbol keagamaan, melainkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam.
“Dalam perspektif Islam dan agama-agama lain, relasi manusia dan alam seharusnya bersifat rahmatan lil ‘alamin, bukan eksploitatif. Krisis ekologi hari ini menuntut kerja sama lintas sektor—tokoh agama, akademisi, NGO, hingga pembuat kebijakan. Tugas ini berat dan tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri,” pungkasnya.
Tag: #menag #nasaruddin #merusak #satu #bagian #bumi #berarti #mengguncang #ekosistem