Bantuan Asing dan Batas Kewenangan Daerah
Warga berjalan di dekat pemukiman yang rusak akibat banjir di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). Pemerintah Aceh memperpanjang masa tanggap darurat bencana hidrometeorologi hingga 25 Desember 2025 karena kondisi lapangan masih membutuhkan penanganan intensif, terpadu, dan terkoordinasi. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
06:02
17 Desember 2025

Bantuan Asing dan Batas Kewenangan Daerah

BANJIR yang kembali melanda Aceh bukan sekadar peristiwa alam. Ia selalu membawa pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana negara hadir, dan bagaimana kehadiran itu diatur.

Dalam situasi darurat, keselamatan warga menjadi prioritas utama. Bantuan—apa pun sumbernya—menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.

Namun, negara hukum tidak hanya bekerja dengan kecepatan, melainkan juga dengan ketertiban.

Dalam setiap bencana besar, solidaritas lintas negara hampir selalu menyertai. Negara sahabat, organisasi internasional, dan lembaga kemanusiaan menawarkan bantuan sebagai wujud empati global.

Pada titik ini, perdebatan sering muncul: apakah pemerintah daerah boleh menerima bantuan asing secara langsung demi mempercepat penanganan bencana?

Pertanyaan tersebut tampak sederhana, tetapi sesungguhnya menyentuh jantung tata kelola negara.

Bencana tidak pernah menghapus negara. Justru dalam keadaan darurat, prinsip negara hukum diuji: apakah kewenangan dijalankan sesuai rel konstitusi atau justru dilompati atas nama keadaan mendesak.

Empati yang tidak diiringi ketertiban kewenangan berisiko melahirkan kekacauan yang baru.

Negara hadir bukan hanya dengan logistik dan dana, tetapi juga dengan kepastian hukum. Kepastian itulah yang memastikan bahwa bantuan, secepat apa pun datangnya, tetap terkoordinasi, akuntabel, dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Kewenangan

Konstitusi memberi jawaban yang cukup jelas mengenai siapa berwenang melakukan apa. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menempatkan hubungan luar negeri di tangan Presiden.

Pasal 4 ayat (1) menegaskan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, sementara Pasal 11 ayat (1) memberi mandat kepada Presiden dalam hubungan dengan negara lain.

Di sisi lain, Pasal 18 dan Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui otonomi daerah dan bahkan kekhususan bagi daerah tertentu.

Namun pengakuan itu tidak pernah dimaksudkan sebagai pembagian kedaulatan ke luar. Otonomi adalah pengaturan ke dalam, bukan representasi negara ke luar.

Prinsip konstitusional tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa urusan pemerintahan absolut sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Rinciannya terdapat dalam Pasal 10 ayat (1), yang secara eksplisit memasukkan politik luar negeri sebagai urusan absolut.

Dalam teori kewenangan pemerintahan, urusan absolut bersifat atribusi langsung dari konstitusi dan tidak dapat didelegasikan.

Pemerintah daerah—baik provinsi, kabupaten, kota, maupun daerah otonomi khusus—tidak memiliki legal standing untuk bertindak sebagai subjek hubungan internasional.

Karena itu, penerimaan bantuan asing yang bermakna hubungan lintas negara tidak dapat dilakukan secara mandiri oleh daerah, betapapun mendesaknya keadaan.

Satu pintu hubungan internasional bukan simbol sentralisme berlebihan, melainkan kebutuhan dalam negara kesatuan. Fragmentasi kewenangan eksternal justru berpotensi melemahkan negara itu sendiri.

Kekhususan

Aceh memiliki kedudukan khusus dalam sejarah dan hukum tata negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan otonomi yang luas dan bersifat asimetris.

Kekhususan ini sering dipahami sebagai ruang gerak yang lebih besar dibanding daerah lain. Namun, pemahaman itu harus dibaca secara presisi.

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh secara tegas menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang bersifat nasional, termasuk politik luar negeri, tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Artinya, kekhususan Aceh tidak mencakup kewenangan hubungan luar negeri.

Pada saat yang sama, Pasal 9 ayat (1) membuka ruang bagi Pemerintah Aceh untuk mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, sepanjang bukan kewenangan Pemerintah.

Bahkan Pasal 9 ayat (3) menegaskan bahwa kerja sama tersebut harus dilakukan atas nama Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konstruksi ini menunjukkan batas yang jelas. Aceh diperbolehkan melakukan kerja sama teknis dan administratif, termasuk kerja sama sosial dan kemanusiaan.

Namun, kerja sama itu bukan hubungan antarnegara. Ia tidak melahirkan komitmen internasional yang mengikat negara.

Ketika kerja sama tersebut berubah menjadi penerimaan bantuan antarnegara atau melibatkan organisasi internasional dengan implikasi keimigrasian, kepabeanan, keamanan, dan komando, kewenangan harus kembali ke pemerintah pusat.

Membaca kekhususan Aceh secara berlebihan justru berisiko menempatkan Aceh pada posisi yang tidak dikehendaki undang-undang.

Kekhususan dimaksudkan untuk memperkuat integrasi nasional, bukan membuka ruang fragmentasi kewenangan eksternal.

Rezim hukum penanggulangan bencana memberikan penegasan akhir mengenai posisi negara.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penentuan kebijakan kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana merupakan kewenangan Pemerintah. Ketentuan ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d.

Artinya, bantuan internasional tidak dilarang. Negara justru membuka ruang bagi solidaritas global. Namun, pintu masuknya tetap negara.

Dalam praktik, koordinasi nasional dijalankan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sementara pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana utama di lapangan.

Peran pemerintah daerah sangat krusial. Daerah adalah pihak yang paling mengetahui kondisi riil warga, kebutuhan mendesak, dan medan distribusi bantuan.

Pemerintah daerah bertanggung jawab memastikan bantuan tepat sasaran, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Namun, pemerintah daerah bukan pintu masuk hubungan internasional.

Jika koordinasi pusat berjalan lambat, itu adalah persoalan tata kelola yang harus dibenahi. Solusinya bukan melompati kewenangan, melainkan memperbaiki dan mempercepat mekanisme negara.

Negara hukum tidak mengenal alasan darurat untuk mengabaikan kewenangan. Justru dalam keadaan darurat, disiplin kewenangan menjadi semakin penting.

Bantuan asing adalah wujud solidaritas global yang patut dihargai. Namun dalam negara hukum, solidaritas harus berjalan di jalur yang benar.

Aceh, dengan segala kekhususannya, tetap bagian dari negara kesatuan yang satu dan berdaulat.

Bencana tidak mengubah peta kewenangan. Ia hanya menuntut agar kewenangan itu dijalankan dengan lebih cepat, lebih empatik, dan lebih bertanggung jawab.

Tag:  #bantuan #asing #batas #kewenangan #daerah

KOMENTAR