Bukan Cuma Buruk, Ada Hal Baik di KUHAP Baru, tetapi Risiko Tetap Nyata
Semua bisa kena. Begitulah diskursus yang ramai diperbincangkan netizen di sosial media. Revisi KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang baru disahkan pada 18 November 2025 menuai banyak pro dan kontra.
Penyadapan, penyalahgunaan wewenang, koruptor diuntungkan, dan banyak hal lainnya, membuat masyarakat semakin merasa berada posisi yang tidak diuntungkan.
Namun apakah revisi KUHAP semengerikan itu? Atau ada sisi positifnya?
Ketika KUHAP bicara soal kelompok rentan: Harapan baru?
Nyatanya, KUHAP terbaru justru menyoroti hak kelompok rentan yang acapkali terabaikan dalam implementasi hukum di Indonesia.
Mulai dari pasal 143 hingga 148 secara rinci menjabarkan hak-hak bagi saksi, korban, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti Albert Aries menekankan bahwa pelaku penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendampingan dan bahkan keringanan hukuman.
“Pelaku penyandang disabilitas mental dan intelektual, pidananya bisa dikurangi atau, dalam keadaan tertentu, dikirim ke pusat rehabilitasi. Mereka yang memiliki kebutuhan khusus juga akan difasilitasi pendamping,”
Perlindungan itu ada, tetapi di mana letak kuatnya?
Tidak berhenti sampai di situ, revisi KUHAP juga memperkuat fungsi advokat selama jalannya pemeriksaan.
“Yang positif dari KUHAP itu penguatan advokatnya. Kenapa ini jadi penting? Karena dalam sistem peradilan pidana terpadu, advokat menjadi satu-satunya profesi hukum yang ada di tiap tingkatan pemeriksaan perkara, mulai dari penyidikan hingga pelaksanaan keputusan,” kata dia.
Albert menambahkan pada akses advokat terhadap kamera pengawas untuk melindungi klien.
“Advokat diberikan akses sebebas-bebasnya. Mereka dapat menyatakan keberatannya dalam proses penyidikan dan untuk kepentingan pembelaan, kamera pengawas dapat diakses oleh mereka untuk melihat apakah ada perlakuan negatif, misalnya paksaan atau ancaman,” kata dia.
Regulasi oke, bagaimana dengan sistemnya?
Layaknya kutipan, “easier said than done,”, apakah hal baik dalam KUHAP dapat dikatakan realistis? Apakah kita bisa optimis untuk melihat perubahan baiknya?
Bagi Albert, ini semua bergantung pada manusia-manusia yang melaksanakan KUHAP.
“Bicara optimis, ini semua balik lagi ke yang melaksanakan undang-undanganya. Segala upaya paksa dan kewenangan yang diberikan kepada aparat hukum harus bisa diuji keabsahannya di pra peradilan,” kata dia.
Pengujian dilakukan untuk menguji objektivitas dan keabsahan dari upaya paksa yang dilakukan.
“Kan, praperadilan itu diproyeksikan sebagai tempat mengadukan pelanggaran HAM dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu, segala kewenangan aparat harus bisa senantiasa diuji, untuk melihat obyektivitas dan keabsahan dari upaya paksa,” ujar Albert.
Sisi positifnya ada, tapi kenapa kita masih cemas?
Gen Z menjadi generasi yang cukup vokal dan berisik dalam menyuarakan isu sosial, apalagi jika dihadapkan dengan UU yang memberikan lebih banyak dampak negatif terhadap masyarakat.
Menurut Mimi (19 tahun), seorang mahasiswa hukum, KUHAP tidak sepenuhnya negatif, namun memang perlu adanya pengawasan yang ketat.
“KUHAP yang baru ini tidak sepenuhnya buruk, tapi juga tidak sepenuhnya memberikan rasa aman. Yang bikin masyarakat khawatir itu bukan cuma tentang penjelasan pasal dalam KUHAP, tapi histori penegakan hukum di Indonesia yang sering tidak transparan dan minim pengawasan,” kata dia.
Kekhawatiran ini ditambah dengan pasal yang multitafsir dan berpotensi membahayakan.
“Ada beberapa pasal yang rawan multitafsir dan itu jelas bikin masyarakat waspada. Beberapa pasal tersebut berpotensi membahayakan jika implementasinya tidak diimbangi dengan pengawasan," ujar Mimi.
Meskipun terdapat sisi baik, namun hal tersebut tidak cukup untuk membuat masyarakat merasa aman dan merasa diuntungkan dengan adanya revisi KUHAP.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.
Tag: #bukan #cuma #buruk #baik #kuhap #baru #tetapi #risiko #tetap #nyata