Pamer Uang Korupsi, Judi Online dan Narkoba: Prestasi atau Kotak Pandora?
Polisi menjaga tumpukan uang yang merupakan barang rampasan negara saat acara penyerahan barang rampasan negara dari KPK kepada PT TASPEN di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/11/2025). PT TASPEN (Persero) menerima secara resmi pengembalian kerugian keuangan negara berupa Unit Penyertaan Reksa Dana Insight Tunas Bangsa Balanced Fund 2 (I-Next G2) dengan jumlah unit 996.694.959,5143 senilai Rp883.038.394.268 dari KPK, di mana dana restitusi tersebut merupakan hasil tindak lanj
06:00
25 November 2025

Pamer Uang Korupsi, Judi Online dan Narkoba: Prestasi atau Kotak Pandora?

BEBERAPA waktu lalu, saya menonton ‘sosial eksperimen’ yang dilakukan oleh para konten kreator di media sosial tentang sebuah pilihan.

Cerita singkatnya begini. Beberapa orang dengan kategori masyarakat rentan berdasarkan penghasilan (secara spesifik dalam video itu mereka yang tergolong sebagai tunawisma) diberikan kesempatan untuk memilih dua pilihan: lotre atau roti.

Hasilnya, banyak yang bikin para netizen shock, mereka lebih memilih lotre.

Mengapa? Daniel Kahneman sejak lama menunjukkan bahwa manusia dalam tekanan ekonomi cenderung membeli harapan, bukan probabilitas.

Ini diperkuat oleh Sendhil Mullainathan dan Eldar Shafir yang menyebutnya sebagai tunnel effect, ketika kelangkaan memaksa otak hanya fokus pada jalan pintas.

Jadi ketika kelompok rentan memilih lotre, itu bukan irasionalitas, tetapi respons terhadap kenyataan yang tidak memberi banyak alternatif.

Kalau kita tarik ke Judol alias judi online, polanya persis sama, apalagi risiko hukumnya rendah, aksesnya instan, dan stigma sosialnya hampir tidak ada—kombinasi yang membuat “biaya melanggar” terasa jauh lebih kecil daripada potensi hadiah.

Sekarang kita lihat contoh lainnya dari pencandu narkoba. Rasanya tidak perlu saya memaparkan gambaran secara umum tentang pecandu, peredaran dan kasus-kasus narkoba yang hari-hari ini masih terus menghantui masa depan generasi muda bangsa.

Cukup ajukan pertanyaan penting dan mendasar tentang mengapa para pecandu narkoba didominasi oleh mereka yang berasal dari kelompok masyarakat rentan juga?

Sosiolog Zygmunt Bauman menggambarkan masyarakat modern sebagai dunia yang cair—penuh kecemasan dan tak memberi ruang jeda. Dalam realitas itu, narkoba menawarkan pelarian atau “ruang sementara”.

Data statistik menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba didominasi kelompok rentan.

Mengapa? Karena ketika realitas terlalu keras, pelarian tampak lebih masuk akal daripada perlawanan.

Contoh lain lagi, bagaimana dengan korupsi? Secara lebih khusus korupsi di berbagai bidang seperti industri sawit, tambang, minyak bumi dan kebijakan di sektor publik.

Baru-baru ini, kita disuguhkan dengan pameran uang triliunan rupiah hasil penyitaan dari korupsi dari berbagai sektor tersebut.

Apakah itu prestasi atau justru membuka kotak pandora yang selama ini tertutup rapi? Apakah itu hasil kerja atau justru malah menunjukkan bahwa sistem sebenarnya tidak bekerja? Masalahnya di hulu atau di hilir?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu patut kita ajukan, karena sejatinya negara belum mampu mencegah, bukan?

Apakah ketiganya punya benang merah? Benang merahnya di mana? Ketiganya mengindikasikan bahwa judi online, narkoba dan korupsi memiliki garis persamaan.

Apa itu? Ketiganya adalah problem sosial dengan arsitektur dan alur yang serupa, meskipun tidak sama.

Pelakunya banyak, otoritas pengawas terbatas, dan ketiganya adalah ‘barang terlarang’. Kombinasi ini menciptakan ‘pasar gelap’ yang efisien.

Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar (ketiga kiri) bersama (dari kiri) Kasubdit TPK dan TPPU Direktorat Penuntutan Arif Budiman, Kabid Humedmas M. Irwan Datuiding, Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar Affandi, Direktur Penuntutan Jampidsus Sutikno, dan Kajari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra menyampaikan keterangan dalam konferensi pers perkembangan penanganan perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (8/5/2025). Kejaksaan Agung menyita uang senilai Rp479 miliar dari dua anak perusahaan PT Darmex Plantations dalam perkara dugaan TPPU terkait perkara korupsi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar (ketiga kiri) bersama (dari kiri) Kasubdit TPK dan TPPU Direktorat Penuntutan Arif Budiman, Kabid Humedmas M. Irwan Datuiding, Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar Affandi, Direktur Penuntutan Jampidsus Sutikno, dan Kajari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra menyampaikan keterangan dalam konferensi pers perkembangan penanganan perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (8/5/2025). Kejaksaan Agung menyita uang senilai Rp479 miliar dari dua anak perusahaan PT Darmex Plantations dalam perkara dugaan TPPU terkait perkara korupsi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group. James C. Scott menyebut bagaimana negara sering hanya membangun state optics—tampilan ketertiban, bukan ketertiban itu sendiri.

Akibatnya, larangan tanpa desain yang jelas kerap hanya merelokasi kejahatan dari ruang terbuka ke ruang gelap digital.

Pada akhirnya, aktivitasnya tetap menyebar, biayanya bisa jadi lebih murah, aksesnya bisa instan dan risiko bagi pelaku ‘inti’ kerap bisa dialihkan ke jejaring yang rendah.

Sekarang pertanyaan lanjutannya adalah, mengapa korupsi marak, pelaku judol meledak, pengguna narkoba merebak? Jawabannya tentu di dalamnya ada mesin insentif yang bekerja rapi.

Di sinilah tesis ekonom pemenang Nobel, Gary Becker bertemu dengan sosiolog Robert Merton.

Becker melihat kejahatan sebagai kalkulasi ekonomi rasional: jika keuntungan (benefit) melampaui risiko (cost), maka orang akan melanggar hukum.

Merton melengkapinya dengan konsep strain: ketika jalur mobilitas legal lambat dan sempit, penyimpangan menjadi pilihan paling “rasional”.

Pada titik ini terlihat jelas bahwa insentif bekerja di tiga tingkat sekaligus: individu mengikuti tekanan, pasar mengikuti peluang, dan institusi mengikuti kenyamanan politik.

Di satu sisi, tekanan ekonomi menciptakan demand untuk harapan dan keberuntungan. Judol menjual probabilitas, satu-satunya yang bisa dibayangkan oleh kelompok rentan.

Sementara itu, narkoba memberikan ‘dunia lain, realitas lain’. Adapun korupsi, menjanjikan percepatan, lompatan dan lonjakan status yang tak bisa lagi diraih dengan kerja keras.

Di sisi berbeda, tata kelola yang lambat memberi supply yang elastis. Seperti dicatat Daron Acemoglu dan James Robinson, institusi yang tidak menata insentif dengan benar justru menghasilkan ekosistem rente. Ada celah regulasi dan proses pengawasan yang terfragmentasi.

Pada kasus korupsi dunia industri, satu tanda tangan bisa mengubah peta rente. Di ruang digital, satu jaringan afiliasi bisa merekrut ribuan akun baru. Pasar gelap bergerak cepat, sementara regulasi kita berjalan lambat.

Seperti dikatakan Francis Fukuyama, ini adalah tanda political decay: kapasitas negara tertinggal dari laju perubahan ekonomi dan teknologi. Pada poin ini, sistem dan tata kelola pemerintah kita kalah cepat.

Membaca narasi penyelenggara negara yang ingin tampil kuat, hadir dan tegas justru yang terjadi sebaliknya, bisa membuka kotak pandora.

Ketika pendekatannya simbolik melalui pidato yang normatif, bombastis dan terkesan heroik, maka operasi dadakan dan pamer uang penyitaan dengan rilis angka yang fantastis, sebenarnya justru menciptakan ilusi pada level perbaikan.

Mengapa? Meminjam istilah filsuf Guy Debord, inilah The Society of the Spectacle—Masyarakat Tontonan.

Negara memproduksi citra visual (tumpukan uang, baju tahanan) sebagai kompensasi atas absennya realitas penegakan hukum yang fundamental.

Karena yang harus dilakukan bukan penindakan semata, melainkan operasi besar menyusutkan politik rente, menutup jalur pembayaran, serta menutup kran iklan judol.

Negara perlu hadir bukan diukur dari kerasnya suara kita di podium, melainkan seberapa banyak celah yang benar-benar bisa ditutup, sementara desain tidak berubah. Kalau pasar hanya beradaptasi, kita ganti pemain, tapi cela tetap ada.

Pada level psikologis dan etis, ada pergeseran yang sering tidak kita sadari. Misalnya begini, dulu atau kemarin, saya atau Anda hanya “dipanggil nama”, tapi hari ini, kita dipanggil “Yang Terhormat, Yang Mulia”.

Apakah pergeseran dan perubahan tersebut terjadi pada tataran substansial seperti kompetensi dan integritas? Atau hanya labelnya saja?

Philip Zimbardo menunjukkan bahwa struktur dan situasi sering lebih menentukan perilaku daripada karakter personal. Ditambah lagi, Jonathan Haidt menyebut hierarki sosial memengaruhi cara kita menjustifikasi tindakan moral.

Begitu melangkah dari yang sifatnya privat ke publik, tentu membawa konsekuensi pada standar moral yang naik.

Jadi, kalau kemarin saya error, apakah hari ini level error saya dengan serta-merta hilang karena berubahnya status panggilan? Apa yang berbeda dari diri saya?

Melihat perkembangan kasus demi kasus korupsi, saya bisa berasumsi seperti tidak ada yang berubah. Namun yang terjadi sering terbalik, ketika panggilan kehormatan menjadi perisai dari kritik dan audit, kita menukar substansi dengan seremoni.

Ini yang membuat institusi “terlihat kuat” di luar, tetapi keropos di dalam. Dan sebagaimana diingatkan Albert O. Hirschman, ketika kritik (voice) dilemahkan dan loyalitas simbolik menggantikan akuntabilitas, institusi mulai merawat tampilan kekuatan sambil membiarkan kerusakan internal berlangsung tanpa koreksi.

Kita sulit menolak gratifikasi kecil, melunak pada konflik kepentingan, kompromi pada transparansi.

Individu tentu bertanggung jawab, tetapi perilaku rasional mengikuti insentif. Selama ekosistem ini lebih profitable daripada patuh, angka “penyimpangan” akan tetap naik turun mengikuti musim, bukan kebijakan.

Masalahnya ada pada kompas moral pemerintah kerap tak tentu arah. Ukuran “benar–salah” direduksi menjadi pertunjukan penegakan, bukan pembenahan sebab-musabab.

Kita melihatnya telanjang pada rangkaian perkara dari kasus korupsi ekspor CPO, tambang, asuransi Taspen, emas antam dan misalnya, di mana narasi resmi menonjolkan ketegasan, sementara logika kebijakannya tetap menyisakan lorong rente.

Pemerintah lalu menegaskan ilusi kebenaran yang ditampilkan sebagai pahlawan yang “membersihkan” pasar. Padahal, di belakang panggung standar ganda dibiarkan beroperasi.

Hasilnya bukan tertib, melainkan adaptasi kejahatan, bukan keadilan, melainkan tukar bagi topeng belaka.

Lebih jauh, Negara sering mematahkan “kaki” ekonomi rakyat, lalu mengulurkan tongkat subsidi sembari meminta publik berterima kasih.

Di atas kertas, efisiensi anggaran dan realokasi ke program populer tampak mulia. Di lapangan, kebijakan yang tidak sinkron, misalnya, carut-marut ketersediaan LPG rumah tangga di satu sisi, dominasi aktor tunggal dalam energi di sisi lain telah menciptakan biaya transaksi yang justru ‘menghabisi’ ruang bertahan dari dapur masyarakat itu sendiri.

Subsidi menjadi analgesik, bukan terapi kausal. Kita memadamkan nyeri, bukan memulihkan sendi.

Kala desain pasar bisa ‘dikadalin’, konsumen kecil yang lebih dulu lumpuh, saat itu pula kebijakan kompensasi jadi alat meredam keluhan, bukan jembatan keluar dari kerentanan.

Inti dari kekeliruan ini adalah perubahan peran di mana pemerintah lebih sibuk mengelola persepsi tentang ketertiban daripada mengadministrasi keadilan sosial.

Padahal tugas Negara adalah menjadi juru tulis yang adil, mengarsip, menata, dan menegakkan aturan yang sama bagi semua, bukan koreografer yang memilih siapa yang menari di panggung.

Di sinilah benang merah pamer uang korupsi, judol, dan narkoba marak bukan karena bangsa ini kekurangan ceramah, tetapi karena arsitektur insentifnya dibiarkan membiakkan standar ganda.

Negara yang benar-benar hadir tidak menambah topeng pahlawan, melainkan melepas topeng dan menyamakan jarak antara label dan laku.

Saat pemerintah berhenti mematahkan kaki lalu menawarkan tongkat, dan mulai membangun lantai yang rata untuk semua, barulah kita bicara prestasi, bukan kotak pandora yang terus dibuka-tutup sesuai musim dan sorot kamera.

Karena dalam setiap desain sosial, perilaku hanyalah bayangan dari insentifnya; ketika insentif berubah, barulah perilaku benar-benar ikut berubah.

Tag:  #pamer #uang #korupsi #judi #online #narkoba #prestasi #atau #kotak #pandora

KOMENTAR