Revisi UU Pemilu: Penataan Menyeluruh, Bukan Parsial
Warga memotret data perolehan suara sah pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batanghari melawan kotak kosong di TPS 006 Rengas Condong, Batanghari, Jambi, Rabu (27/11/2024). Calon tunggal Bupati Batanghari Muhammad Fadhil Arief menang di tempat pencomblosannya dengan perolehan 201 suara sah sementara untuk kotak kosong 99 suara. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)
15:14
17 November 2025

Revisi UU Pemilu: Penataan Menyeluruh, Bukan Parsial

RANCANGAN Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) menjadi salah satu agenda prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025 dan 2026.

Sebagai aturan yang akan menjadi fondasi penyelenggaraan pemilu, harapannya RUU ini mampu menghadirkan aturan main yang adil, transparan, dan demokratis.

Untuk menangkap dinamika aspirasi publik, saya mengajak netizen berdiskusi melalui akun Instagram (@tanggraini) dan X (titianggraini). Di luar perkiraan, ratusan respons masuk ke dua akun tersebut.

Ketika dirangkum, masukan dan usulan netizen tersebut menunjukkan satu pesan besar: sistem pemilu memerlukan penataan menyeluruh, bukan sekadar perbaikan parsial apalagi sporadik.

Aspirasi itu terutama bertumpu pada tiga pilar: integritas penyelenggara pemilu, transparansi sistem dan data, serta desain kelembagaan yang mampu menekan biaya politik dan memperkuat akuntabilitas.

Enam kelompok masukan

Masukan publik yang terhimpun dapat dipetakan dalam enam kelompok. Pertama, keluhan publik paling banyak tertuju pada proses rekrutmen penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP).

Netizen menyoroti dugaan titipan politik, minimnya transparansi penilaian, dominannya kepentingan komisioner, hingga lemahnya tim seleksi.

Karena itu, muncul dorongan agar rekrutmen dilakukan secara objektif, terbuka, serentak, menggunakan sistem merit yang ketat, disertai publikasi nilai setiap tahap.

Ada pula usulan agar hasil kerja tim seleksi untuk calon penyelenggara pemilu tingkat nasional bersifat final tanpa intervensi DPR.

Sebagian netizen juga mengusulkan penyelenggara daerah kembali bersifat ad hoc, mengingat minimnya beban kerja setelah pemilu dan tingginya biaya negara jika seluruh struktur dipertahankan permanen.

Kedua, publik menuntut penguatan sistem integritas pemilu, terutama kewenangan Bawaslu. Sorotan muncul pada lemahnya audit Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), terbatasnya akses terhadap Sistem Informasi Pencalonan (Silon), hingga tidak adanya kewenangan pro-justitia melalui PPNS pemilu.

Ada pula tuntutan perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi badan ad hoc, mengingat tragedi penyelenggara pada Pemilu 2019 dan 2024. Usulan teknis seperti penyediaan tenaga medis di TPS juga muncul disuarakan.

Ketiga, politik uang menjadi perhatian sangat serius. Publik melihatnya sebagai akar korupsi elektoral.

Muncul gagasan penegakan sanksi berat bagi pemberi politik uang, menjadikan parpol sebagai subjek pertanggungjawaban, serta pembebasan sanksi bagi penerima yang melapor.

Sejumlah ide lain menekankan pentingnya sistem merit dalam pencalonan caleg: syarat masa keanggotaan minimal, larangan “kutu loncat”, hingga tes kompetensi, tes kesehatan, dan peningkatan syarat pendidikan calon legislatif.

Keempat, tuntutan terhadap keterbukaan informasi pemilu sangat kuat. Publik menginginkan penerapan open data (data terbuka) secara penuh. Mulai dari publikasi C1 (hasil penghitungan suara di TPS), riwayat calon, sumber dana kampanye, hingga dokumen administrasi lain.

Rekapitulasi tunggal di tingkat kecamatan juga diusulkan untuk menutup ruang manipulasi di level kabupaten/kota dan provinsi.

Ide lain yang mengemuka ialah pemasangan Closed-Circuit Television (CCTV) di TPS; publikasi foto formulir C2 (pernyataan keberatan saksi atau catatan kejadian khusus) dan C7 (daftar hadir pemilih di TPS) secara real-time; serta digitalisasi menyeluruh dokumen pemilu.

Kelima, publik mengusulkan perbaikan sistem pemilu dan partai politik. Dorongan mencakup revisi menyeluruh UU Partai Politik, mekanisme constituent recall, serta perubahan model pencalonan dalam pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan pemilu legislatif.

Sebagian mengusulkan kembalinya sistem proporsional tertutup, di mana negara juga menanggung biaya kampanye kandidat yang lolos konvensi partai.

Untuk Pilkada, masyarakat meminta penyederhanaan syarat calon perseorangan dan evaluasi syarat “orang Aceh” dalam Pilkada Aceh.

Keenam, perhatian publik tertuju pada aspek aksesibilitas dan efisiensi pemilu. Kritik diarahkan pada penjadwalan pemilu di bulan-bulan rawan cuaca ekstrem, wacana pembatasan masa jabatan anggota DPR/DPRD, hingga usulan pelarangan ASN memberikan suara (meskipun ini problematis dari perspektif hak konstitusional).

Usulan teknis lain mencakup penataan logistik, penyortiran surat suara, e-voting, dan agenda pemilu ramah lingkungan (green election).

Jangan tunda penyusunan

Seluruh diskusi tersebut memperlihatkan besarnya kepedulian publik terhadap tata kelola pemilu. Dari hulu (rekrutmen), tengah (pengawasan, pencalonan, penghitungan), hingga hilir (penegakan hukum dan akuntabilitas politik).

Aspirasi yang beragam ini menunjukkan bahwa revisi UU Pemilu harus diperlakukan sebagai agenda strategis untuk memperkuat demokrasi elektoral, bukan sebagai proyek musiman atau arena transaksi politik kepentingan jangka pendek.

Karena itu, DPR sebagai pengusul RUU Pemilu dalam Prolegnas 2025 dan 2026 tidak boleh menunda proses penyusunan naskah akademik dan draf RUU.

Penyusunan oleh Baleg/Komisi II harus dikebut, mengingat setelah itu masih ada fase pembahasan bersama dengan pemerintah.

Dua proses politik besar menanti: pertama, pembahasan antarpartai di DPR untuk mencapai konsensus draf RUU Pemilu usulan DPR. Kedua, pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah menuju pengesahan RUU Pemilu.

Semakin lama proses ini dimulai, semakin terancam kualitas persiapan Pemilu Serentak Nasional 2029.

Jika RUU Pemilu selesai terlalu mepet dengan tahapan pemilu, risiko kegagalan teknis, administratif, dan manajerial akan sangat besar. Bahkan bisa mengancam kredibilitas Pemilu 2029.

Karena itu, pembentuk undang-undang harus menghindari pragmatisme politik yang berpotensi menggagalkan revisi UU Pemilu.

Pembahasan juga tidak boleh meninggalkan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan pemilu untuk terlibat memberikan masukan.

RUU Pemilu adalah fondasi krusilal bagi pemilu jurdil dan berintegritas. Bila fondasinya rapuh, mustahil kita membangun pemilu yang kokoh dan demokratis.

Tag:  #revisi #pemilu #penataan #menyeluruh #bukan #parsial

KOMENTAR