Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kedua kiri), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri), Arief Hidayat (kedua kanan) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nom
12:02
17 November 2025

Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif

- Erga omnes, istilah yang kerap dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki arti berlaku terhadap semua. Erga omnes adalah bahasa latin yang memberikan pengertian bahwa putusan MK adalah putusan yang memberlakukan norma untuk semua warga negara di Indonesia atas sengketa undang-undang yang diuji.

Putusan MK juga bersifat final and binding, yang memiliki arti putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya.

Penjelasan terkait final and binding ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Namun seiring berjalannya waktu, putusan MK yang bersifat mengikat ini tak lantas dipatuhi, termasuk oleh para pejabat penyelenggara negara.

Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti saat ditemui di Harris Hotel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/11/2025).

Dia langsung memberikan contoh putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam proses pembentukannya.

"Itu kan (putusan) nggak dilaksanakan, yang dilaksanakan (pemerintah dan DPR) itu hanya mengubah undang-undang nomor 12 tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus," katanya.

Padahal sangat jelas, MK meminta agar ada pembahasan ulang. Pemerintah juga bermanuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Rangkap Jabatan Menteri

Susi juga menyebut, pembangkangan terhadap putusan MK juga terlihat dari putusan yang meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.

"Nah seperti itu kan wakil menteri sudah enggak boleh," katanya.

Untuk diketahui, MK menyatakan wakil menteri dilarang rangkap jabatan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025.

Namun dalam putusan itu, MK kembali menegaskan, aturan tersebut sebenarnya sudah lama diputuskan MK, yakni saat pembacaan putusan 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan 11 Agustus 2020.

Saksi ahli yang merupakan mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri), Pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah), dan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono (kanan) menyampaikan pandangannya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Sidang dengan pemohon lima orang mantan pimpinan KPK dan sembilan orang tokoh antikorupsi itu beragenda mendengarkan keterangan tiga saksi dari pemohon yakni pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso Saksi ahli yang merupakan mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri), Pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah), dan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono (kanan) menyampaikan pandangannya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Sidang dengan pemohon lima orang mantan pimpinan KPK dan sembilan orang tokoh antikorupsi itu beragenda mendengarkan keterangan tiga saksi dari pemohon yakni pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.

MK dalam pertimbangannya menyatakan:

"Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo yang mempersoalkan larangan rangkap jabatan wakil menteri, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri."

Secara yuridis, pertimbangan hukum putusan sebelumnya memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final.

Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

MK kemudian memberikan waktu 2 tahun kepada pemerintah untuk menarik para wakil menterinya dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada lebih banyak wakil menteri yang merangkap jabatan.

Salah satunya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo yang diangkat menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, dan Komisaris Utama PT Telkom.

Dalam penjelasannya, Angga Raka mengaku posisi yang dia rangkap adalah penugasan, dan tidak mendapat fasilitas tambahan atas rangkap jabatannya tersebut.

"Sesuai yang diketahui, saya ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin Badan Komunikasi Pemerintah. Saya jelaskan dulu bahwa seperti peraturan yang berlaku, ini sifatnya penugasan. Yang namanya penugasan tidak berarti pendapatan dan fasilitas juga double, tetap satu sesuai ketentuan, tanggung jawabnya yang bertambah. Ini praktik umum untuk penguatan fungsi tertentu dan sejalan dengan arahan Presiden agar kita efektif dan efisien," ujar Angga Raka kepada Kompas.com, Jumat (19/9/2025) lalu.

Presiden Prabowo Subianto melantik Angga Raka Prabowo menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (17/9/2025).KOMPAS.com/FIKA NURUL Presiden Prabowo Subianto melantik Angga Raka Prabowo menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (17/9/2025).

Angga Raka menyampaikan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan karena Presiden Prabowo melihat ada kesinambungan antara posisinya sebagai Wamen Komdigi, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, serta Komut PT Telkom. Menurutnya, substansi dan bidang dari semua tugasnya itu sama.

"Ini penting, karena kita ingin segera mewujudkan instruksi Presiden untuk mengakselerasi penguatan komunikasi pemerintah sesegera mungkin," tegasnya.

Maka dari itu, dengan penugasan ini, Angga Raka merasa fungsi kedua instansi pemerintah tersebut makin kuat. Dia pun jadi bisa membuat sisi regulasi dan eksekusi selaras, serta langsung melakukan aksi.

"Sehingga publik akan mendapatkan informasi yang jernih dan tidak tumpang tindih dari seluruh lembaga pemerintah," imbuh Angga Raka.

Pemisahan Pemilu dan Perlawanan Partai Politik

Pembangkangan terhadap putusan MK juga dilakukan oleh lembaga politik seperti Partai Politik saat diucapkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemilihan umum lokal dan nasional dipisah dengan jeda waktu dua tahun.

MK menetapkan, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.

Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Reaksi pembangkangan paling keras datang dari Partai Nasdem yang menyebut MK mencuri kedaulatan rakyat.

Gedung Mahkamah Konstitusi. MK tegaskan larangan wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan melalui putusan yang dibacakan dalam sidang perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (28/8/2025).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A Gedung Mahkamah Konstitusi. MK tegaskan larangan wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan melalui putusan yang dibacakan dalam sidang perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (28/8/2025).

"Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara," ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.

Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.

Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip open legal policy yang dimiliki lembaga legislatif.

"MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis," kata Lestari.

Sementara itu, Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menilai, putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.

Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.

Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.

“Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.

Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025). KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.

“Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.

Pemerintah juga saat itu menilai putusan MK justru berpotensi melanggar konstitusi.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali.

Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.

Dampak Pembangkangan Perintah Pengadilan

MK secara langsung pernah menjawab bentuk pembangkangan ini dalam putusan 98/PUU-XVI/2018.

Ketika itu, terbit putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) yang berkebalikan dengan putusan MK mengenai syarat pengunduran diri calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari partai politik.

Akibat hal itu, terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada dua putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.

Majelis hakim konstitusi tidak setuju jika situasi pada tahun 2018 itu disebut sebagai ketidakpastian hukum, karena putusan MK seharusnya final dan mengikat untuk semua (erga omnes).

"Sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945," bunyi putusan tersebut.

"Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi," tulis putusan tersebut.

Namun terlepas dari penegasan MK tersebut, Guru Besar FH Unpad Susi Dwi Harijanti menilai, fenomena pembangkangan ini sebagai bukti bahwa cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang yang paling lemah.

"Memang itu menunjukkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman itu adalah cabang kekuasaan yang paling lemah di antara legislatif dan eksekutif," ucapnya.

Dia mengutip pandangan alam buku The Federalist Papers karya Alexander Hamilton, John Jay, dan James Madison, bahwa kekuasaan kehakiman hanya punya palu untuk memutus.

Berbeda dengan kekuasaan eksekutif memiliki pedang untuk mengeksekusi, sedangkan legislatif punya kekuasaan untuk mengatur anggaran.

Sebab itu, Susi menilai sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan aturan yang lebih rigit untuk kekuasaan yudikatif sebagai upaya independensi dan akuntabilitas prinsip negara hukum.

Negara harus mengatur agar contempt of court atau penghinaan dan tindakan yang merendahkan pengadilan bisa juga mendapat hukuman yang jelas, termasuk membangkang dari perintah pengadilan.

"Sekarang persoalannya, ketika mereka tidak memenuhi apa yang diminta oleh Mahkamah, apa yang bisa dilakukan? Ini yang saya lagi berpikir, bisa nggak dia terkena contempt of court? Sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang contempt of court," tandasnya.

Tag:  #ketika #palu #kuasa #melawan #pedang #eksekutif #legislatif

KOMENTAR