Konflik Agraria Berkepanjangan dan Tuntutan Keadilan
Sejumlah masyarakat suku batak membawa poster saat berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan, Senin (10/11/2025). Dalam aksi tersebut mereka menuntut agar Gubernur Sumatera Utara menutup PT. Toba Pulp Lestari (TPL) karena dianggap sudah merusak tanah suku batak di Kabupaten Toba.(ANTARA FOTO/Yudi Manar)
08:04
16 November 2025

Konflik Agraria Berkepanjangan dan Tuntutan Keadilan

"There comes a time when the cup of endurance runs over, and men are no longer willing to be plunged into the abyss of despair."

KALIMAT tersebut merupakan ungkapan Martin Luther King Jr di dalam Letter form Birmingham Jail (16 April 1963).

King mengatakan hal tersebut saat ditahan karena memimpin demonstrasi damai untuk menentang segregasi rasial di Alabama.

Di dalam penjara, King membaca pernyataan A Call for Unity yang ditulis oleh delapan tokoh agama kulit putih. Mereka menilai bahwa tindakan King 'terlalu dini' dan 'tidak bijaksana'.

Orang kulit hitam disarankan untuk menunggu dan berharap ada perubahan di pengadilan.

King akhirnya memberikan penjelasan bagaimana "cawan kesabaran" akan meluap pada waktunya. Orang kulit hitam yang ditindas di tanah mereka sendiri oleh orang-orang kulit putih akan melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi.

King menggunakan metafora tersebut untuk menunjukkan bahwa ketidakadilan telah terlalu lama mengganggu kehidupan orang kulit hitam.

Rakyat harus bangkit dengan keberanian moral menolak untuk tidak mau taat pada hukum yang menyengsarakan.

Masyarakat yang sudah lama menghadapi konflik agraria telah sampai pada ambang batas kesabaran. Mereka ingin mengkritisi sikap acuh pemerintah.

Letupan konflik

Awal November 2025, dua letupan konflik agraria terjadi di Sumatera Utara dan cukup menyita perhatian nasional dan internasional.

Pada 10 November 2025, ribuan warga Tapanuli menggelar aksi damai di depan kantor Gubernur Sumatera Utara untuk menuntut pencabutan izin konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dari Tanah Batak.

Mereka menolak konsesi perusahaan bubur kertas yang tumpang tindih dengan tanah adat komunitas lokal.

Gelombang aksi damai ini cukup unik karena didukung oleh berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, petani, dan pemuka agama Protestan-Katolik-Islam.

Mereka turut hadir di lapangan untuk menyuarakan suara yang sama dengan masyarakat adat.

Para tokoh lintas agama dengan keras mengutuk perampasan lahan dan kriminalisasi oleh PT TPL dan juga mengkritik pemerintah yang absen dalam menangani konflik berkepanjangan tersebut.

Lebih dari empat puluh tahun berlalu seruan untuk ’mengusir PT TPL' berlangsung. PT TPL telah memonopoli lahan seluas 291.263 hektar selama berkonflik dengan masyarakat, dengan 33.422 hektar di antaranya adalah tanah adat milik 23 komunitas di 12 kabupaten, menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Pada saat sama, sekurang-kurangnya 470 masyarakat menjadi korban: 2 orang meninggal, 208 orang dianiaya, dan 260 orang dikriminalisasi. Data ini menunjukkan betapa mahalnya menyelesaikan konflik agraria dengan segera.

Pada 12 November 2025, ratusan warga Desa Parbuluan VI, Dairi berunjuk rasa di depan Mapolres Dairi untuk menuntut pembebasan Pangihutan Sijabat, ketua PETABAL (Pejuang Tani Bersama Alam) yang telah ditangkap.

Pangihutan dituduh terlibat dalam perusakan aset perusahaan PT Gunung Raya Utama Timber Industries (GRUTI). Padahal, pada dasarnya, Pangihutan menolak menyerahkan hutan adat kepada perusahaan tersebut.

PT GRUTI telah merampas hutan seluas 600-700 hektar tanpa izin yang jelas. Masyarakat benar-benar merasakan dampak dari perambahan. Sumber air mengering dan mereka khawatir akan banjir bandang karena banyak pohon telah dihancurkan.

Sorbatua Siallagan pernah ditangkap dengan cara serupa. Sorbatua berusaha keras untuk mengusir PT TPL dari tanah adat mereka. Oleh karena itu, ratusan orang dari Dolok Parmonangan berbondong-bondong ke Mapolda Sumatera Utara.

Kedua tokoh adat ini dianggap tidak bersalah oleh banyak orang. Mereka dengan gigih menjaga tanah adat dan hutan sebagai tempat tinggal. Mereka telah lama bersatu dengan alam, bebas dari mesin dan limbah pabrik.

Dua kasus ini terjadi di lokasi berbeda, tetapi memiliki pola sama.

Pertama, lahan adat sebagai ruang hidup dipersempit oleh konsesi perusahaan besar. Kedua, pemimpin lokal yang vokal kerap ditangkap dan dikriminalisasi. Ketiga, penindasan justru menyatukan rakyat dan memperluas solidaritas.

Ketika negara absen, masyarakat akhirnya mengadu dan bergantung pada kekuatan sipil, yaitu gereja, lembaga advokasi, mahasiswa, dan sesama masyarakat biasa.

Di mana letak masalahnya?

Akar masalah terletak pada lambannya pengakuan hukum atas tanah adat oleh pemerintah. RUU Masyarakat Adat telah 15 tahun mangkrak di parlemen. Pemerintah berganti, prolegnas berganti, tapi pengesahan selalu tertunda.

Tanpa dasar hukum yang kuat, masyarakat adat tetap berada dalam ketidakpastian dan mudah sekali digeser oleh kepentingan bisnis.

Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2013, hutan adat bukan hutan negara. Namun, pengakuan resmi sangat lamban.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di bawah 2 persen atau sekitar 23 juta hektar wilayah adat yang dipetakan komunitas telah memperoleh pengakuan legal. Selebihnya masih tumpang tindih dengan izin perkebunan, kayu, tambang, atau proyek infrastruktur.

Padahal, banyak studi menunjukkan bahwa ketika hak tanah adat diakui, hutan tentu terjaga lebih baik dan konflik sosial menurun.

Sebaliknya, investasi yang masuk tanpa persetujuan masyarakat adat justru melahirkan instabilitas, protes, dan degradasi lingkungan.

Resistensi masyarakat bukan karena anti-pembangunan. Akarnya terletak pada pendekatan pembangunan yang sering sekali menyingkirkan mereka dari tanah sendiri.

Desakan COP30 dan SDGs

Persoalan ini tampaknya menjadi agenda global. Pada COP30 (Conference of the Parties)–COP Kebenaran–yang berlangsung di Bélem, Brasil, pada 10-21 November 2025, perlindungan hak masyarakat adat disebut sebagai kunci keberhasilan aksi iklim dunia.

Brasil dan negara-negara hutan tropis mendorong pembentukan Tropical Forest Forever Facility (TFFF), yakni dana global untuk mendukung negara maupun komunitas lokal yang menjaga hutannya tetap lestari.

Realitasnya, tanpa masyarakat adat, upaya menahan laju deforestasi tidak mungkin dapat berhasil.

Indonesia tentu mendapat sorotan internasional. Pemerintah mengumumkan rencana untuk mengakui 1,4 juta hektar hutan adat hingga 2029 mendatang. Namun, banyak pihak yang skeptis.

Apabila RUU Masyarakat Adat tidak segera disahkan dan prosedur pengakuan lahan tidak dibenahi, komitmen itu dikhawatirkan hanya akan menyentuh wilayah yang tidak berkonflik.

Sementara itu, konsesi yang tumpang tindih akan tetap dibiarkan menggantung.

Di sisi lain, pemenuhan hak tanah adat berkaitan langsung dengan sejumah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yaitu: perlindungan ekosistem–life on land (poin 15), aksi iklim–climate action (poin 13), kedamaian-perdamaian –peace, justice, and strong institutions (poin 16), pengurangan kemiskinan–no poverty (poin 1), dan minimalisir ketimpangan–reduced inequalities (poin 10).

Semua ini tidak dapat dicapai apabila masyarakat adat dibiarkan kehilangan tanah, budaya, dan ruang hidup mereka.

Akhirnya, kita kembali pada ucapan Martin Luther King Jr. Masyarakat terlalu lama diminta bersabar: menunggu verifikasi lahan, sidang, dan reforma agraria yang tak kunjung selesai.

Ketika sumber kehidupan hilang dan pemimpin mereka ditangkap, wajar bila ’cawan kesabaran’ itu tumpah.

Jika negara sungguh ingin melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, bertindaklah tegas: hentikan kriminalisasi, tuntaskan konflik agraria, dan akui hak masyarakat adat atas tanah leluhur mereka.

Sebelum batas kesabaran rakyat benar-benar habis.

Tag:  #konflik #agraria #berkepanjangan #tuntutan #keadilan

KOMENTAR