Pemerataan Tenaga Medis, Masalah Klasik yang Tak Kunjung Selesai...
- Meski Hari Kesehatan Nasional (HKN) telah diperingati 61 kali, Indonesia masih menghadapi masalah klasik pada sektor yang menyentuh hajat hidup orang banyak ini, yaitu ketimpangan distribusi tenaga medis, keterbatasan anggaran, hingga lemahnya orientasi layanan kesehatan.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto menyoroti rendahnya alokasi belanja negara untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang disepakati pemerintah dan DPR, hanya sekitar 5,2 hingga 5,4 persen yang benar-benar dialokasikan untuk sektor ini.
Itu pun, kata Slamet, pemerintah lebih fokus menggunakan anggaran yang ada untuk belanja alat kesehatan, alih-alih meningkatkan kualitas dan distribus sumber daya manusia (SDM) kesehatan.
Padahal idealnya, jika mengacu pada saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), semestinya alokasi anggaran yang dikucurkan melalui APBN mencapai 15 persen. Rendahnya alokasi anggaran tersebut menempatkan RI berada di level paling bawah di antara negara-negara tetangga.
Terlebih pada saat ini, mandat minimal alokasi anggaran kesehatan telah dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Situasi mampu membuat kondisi kesehatan Indonesia semakin memburuk.
“Yang saya khawatirkan nanti, pemerintah daerah bisa seenaknya menganggarkan karena tidak ada lagi mandatori 10 persen APBD untuk kesehatan. Ini bisa memperburuk layanan kesehatan masyarakat,” Slamet saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/11/2025).
Ilustrasi
Distribusi Tenaga Medis Tak Merata: Jakarta Kelewat Surplus
Rendahnya alokasi anggaran belanja kesehatan dan fokus yang tidak pada pengembangan SDM, dinilai turut menjadi penyebab distribusi tenaga kesehatan di RI tidak merata.
Slamet menuturkan, masih ada sekitar 400 puskesmas di Tanah Air ini yang kosong. Untuk dokter umum, dari sisi jumlah sebenarnya sudah cukup besar, tapi masih menumpuk di kota-kota besar.
"Di DKI Jakarta saja kelebihan sekitar 12 ribu dokter umum dengan rasio 1:400, padahal idealnya 1:2.000,” ungkap Slamet.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin turut mengamini soal jumlah dan distribusi tenaga medis yang kurang. Berdasarkan data Kemenkes, baru 61 persen puskesmas di Indonesia yang kini sudah dilengkapi tenaga kesehatan sesuai standar.
Sementara, baru 74 persen rumah sakit umum daerah (RSUD) yang telah dilengkapi tujuh dokter spesialis dasar. Kekurangan yang paling mencolok justru terdapat pada kedokteran gigi.
“Kekurangan terbesar masih terjadi untuk dokter gigi, dokter umum, dan dokter spesialis di berbagai fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menilai, pelayanan kesehatan berkualitas tidak akan mungkin terwujud bila ketersediaan tenaga medis, terutama dokter dan dokter spesialis, tidak merata di seluruh daerah.
Saat ini, banyak pemerintah daerah yang berlomba-lomba membangun rumah sakit baru. Namun pada saat yang sama, hal itu tidak disertai dengan kesiapan jumlah tenaga medis yang akan mengisinya kelak.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto saat ditemui wartawan di Hotel Azana Blora, Jawa Tengah, Sabtu (5/7/2025)
“Kan tidak mungkin pemerintah daerah mendirikan rumah sakit layanan kesehatan tanpa memiliki dokter spesialis yang cukup, dan itu menjadi kelemahan utama saat ini,” ujarnya.
Karena itu, Edy mendorong pemerintah untuk mempercepat program pendidikan dokter spesialis yang terintegrasi dengan kebijakan distribusi tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Ia menegaskan, upaya peningkatan jumlah dokter spesialis harus diiringi dengan pemerataan penempatan sesuai kebutuhan nasional.
“Undang-undang kesehatan sudah memberi amanah bahwa pemerintah daerah boleh mengirimkan anak-anak dari daerah, dokter yang ingin kuliah lalu dapat beasiswa, dan beasiswanya dibuka lebar melalui LPDP. Setelah mereka selesai pendidikan kemudian diminta untuk membantu daerahnya masing-masing,” katanya.
Sementara itu, menurut Slamet, persoalan ketimpangan distribusi tenaga medis ini dapat diselesaikan bila ada penganggaran khusus dari pemerintah untuk menempatkan mereka di daerah-daerah terpencil.
“Kalau pemerintah mau, menempatkan 1.000 dokter spesialis dan dokter umum di daerah terpencil hanya butuh sekitar Rp 1,5 sampai Rp 2 triliun per tahun. Bandingkan dengan pembelanjaan alat kesehatan yang nilainya puluhan triliun,” tegasnya.
Orientasi Pelayanan Kesehatan Harus Berubah
Di sisi lain, PB IDI turut menyoroti orientasi pelayanan yang diberikan pemerintah. Saat ini, menurut Slamet, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) cenderung memberikan pelayanan kuratif.
Padahal semestinya puskesmas berorientasi sebagai garda terdepan untuk melakukan pencegahan dan promosi kesehatan.
“Selama ini puskesmas sudah bergeser ke fungsi kuratif. Padahal semestinya fokus pada edukasi dan pencegahan di masyarakat,” ujarnya.
Terpisah, Guru Besar Fisipol UGM sekaligus Pengamat Kebijakan Publik, Wahyudi Kumorotomo memperkuat argumentasi IDI. Aspek preventif semestinya lebih dikedepankan di dalam pelayanan kesehatan, bukan sebaliknya.
“Kita menghadapi double burden penyakit. Di kalangan (masyarakat) miskin, penyakit menular masih tinggi karena layanan primer belum merata,” ujr Wahyudi.
“Di kota, penyakit degeneratif seperti jantung dan kanker meningkat akibat kurangnya promosi kesehatan,” lanjutnya.
Menurut Wahyudi, pembangunan pelayanan kesehatan seharusnya menitikberatkan pada aspek pencegahan, pemerataan imunisasi, dan edukasi gaya hidup sehat.
Penumpang bus selamat menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Siaga Medika Pemalang
“Fasilitas kesehatan terlalu fokus menyembuhkan, padahal semestinya mencegah,” tegasnya.
Adapun pelaksanaan cek kesehatan gratis (CKG) yang saat ini tengah dijalankan pemerintah, menurut Edy sudah menjadi langkah tepat untuk mempromosikan kesehatan menuju ke arah pencegahan.
Melalui program ini, bukan hanya aspek kesehatan yang akan menjadi kuat, aspek pelayanan di daerah pun bakal menjadi lebih memadai.
“Lalu Cek Kesehatan Gratis atau CKG sebagai bagian dari promosi kesehatan sudah berjalan dengan baik, tinggal bagaimana menyempurnakan ketercukupan SDM dan alat di berbagai daerah,” tuturnya.
Momentum Refleksi
Dengan memperkuat pembiayaan, distribusi SDM, dan orientasi layanan kesehatan pada pencegahan, Indonesia diharapkan dapat bergerak lebih cepat menuju cita-cita besar, Generasi Sehat untuk Indonesia Emas 2045.
Hari Kesehatan Nasional, menurut Slamet, harus menjadi momentum refleksi untuk memperbaiki segala aspek kesehatan yang masih kurang.
“Jadi, dalam Hari Kesehatan Nasional ini mohon pemerintah fokus pada indikator kesehatan. Ini dari semua yang tadi itu indikatornya umur harapan hidup,” tegas Slamet.
Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Rabu (12/11/2025).
Senada, Budi Gunadi menilai, Hari Kesehatan Nasional harus menjadi momentum untuk memperkuat komitmen, menumbuhkan optimisme, dan melanjutkan transformasi kesehatan Indonesia.
“Mari kita terus membangun kesehatan dimulai dari diri sendiri, dari keluarga kita, masyarakat sekitar kita, baik di tingkat desa, kabupaten kota, provinsi, sehingga di tingkat negara,” kata Menkes.
“Dari individu dan keluarga yang sehat raga dan jiwa akan lahir masyarakat yang kuat demi menyongsong tercapainya Indonesia Emas 2045,” tegas Menkes.
Tag: #pemerataan #tenaga #medis #masalah #klasik #yang #kunjung #selesai