Guru Honorer: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Tanpa Pengakuan Negara
Hari pahlawan 10 November sudah berlalu beberapa hari, tapi para pahlawan tanpa tanda jasa di seluruh pelosok negeri masih berjuang mendidik dan memberikan harapan kepada generasi penerus bangsa.
Bagi guru yang berstatus honorer, mereka tak hanya pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi juga tanpa pengakuan negara.
Setelah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 20 Tahun 2023 diberlakukan, honorer tak lagi diakui sebagai Aparatur Sipil Negara.
Target penghapusan honorer ini juga sudah ditetapkan, tak ada lagi sejak akhir tahun 2024.
Undang-undang ini menghilangkan tenaga honorer, dan meminta kepada seluruh lembaga eksekutif, dari pusat sampai daerah hanya mempekerjakan pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai dengan perjanjian kerja atau P3K.
Jadilah mereka pahlawan yang benar-benar ditinggalkan, tak diberi tanda jasa, tak juga diakui secara resmi oleh negara. Telantar, mengharap belas kasihan dari warga dan komunitas sekitar mereka.
Beberapa yang masih berbelas kasih itu adalah dua guru di SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi selatan, Abdul Muis dan Rasnal.
Mereka berinisiatif membuka ruang dialog dengan komite sekolah dan para orangtua siswa untuk memberikan sumbangan mereka kepada para guru honorer di sekolah tersebut.
Rasnal yang saat itu baru menjabat sebagai kepala sekolah SMAN 1 Luwu Utara akhirnya bisa memberikan gaji kepada 10 guru honorer yang sudah dihentikan sejak 2017.
Namun sumbangan itu tiba-tiba dipermasalahkan oleh LSM setempat yang menganggap sebagai upaya pungutan liar.
Rasnal dan Abdul Muis pun terseret dalam masalah hukum. Mereka menjalani pemeriksaan hingga persidangan sampai akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.
Dua guru tersebut kini dipecat, tapi tetap mengajar. Selama setahun lebih, Rasnal tetap datang ke sekolah mengenakan seragam PNS yang warnanya mulai pudar.
Ia menulis di papan tulis, membimbing siswa untuk lomba bahasa Inggris, dan melatih pengucapan dengan sabar.
“Kalau saya berhenti, siapa yang akan ajar mereka?” ucapnya.
Gaji Rp 12.000 per jam pelajaran
Kisah honorer yang digaji secara swadaya dari wali murid tak hanya terjadi di Sulawesi Selatan.
Kisah lainnya diceritakan oleh guru honorer Wahyu Kurniawan, pemuda lulusan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Pering Sewu, Lampung, pada 2022
Kampung tempat tinggal Wahyu, yaitu Desa Bukit Indah, Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, terletak di daerah yang sulit dijangkau dengan akses jalan yang masih buruk.
Gelar sarjana tak lantas membuat dia meninggalkan desa. Wahyu memilih mengabdi, menjadi honorer dengan bayaran Rp 12.000 per jam. Dengan bayaran itu, Wahyu hanya mendapat penghasilan bulanan sebesar Rp 576.000.
Gajinya tak dari pemerintah, tapi urunan dari para wali murid yang bersekolah di SMAN 12 Kaur.
Penghasilan yang jauh dari kata layak ini tak lantas membuat Wahyu dan beberapa guru honorer meminta pemerintah memprioritaskan kesejahteraan mereka.
Wahyu justru berharap agar pemerintah bisa memperhatikan bangunan sekolah tempat para siswa belajar.
Wahyu dan para guru lainnya berharap agar pemerintah segera membangun gedung sekolah permanen.
"Dua kelas kami pinjam sekarang bocor. Bila hujan kelas menjadi becek, kasihan anak-anak tidak fokus belajar," ujarnya.
Apa yang terjadi jika guru honorer tak diakomodir?
Potret guru honorer yang mengabdi dengan imbalan minim hampir ditemukan di seluruh daerah di Indonesia, termasuk Jakarta.
Pengamat pendidikan Ubaid Matraji mengatakan, mirisnya gaji guru honorer pernah terungkap di Duren Sawit, Jakarta Timur, saat seorang guru honorer hanya dibayar Rp 300.000 per bulan.
Para guru honorer ini telah memiliki kualifikasi sarjana pendidikan, namun bayarannya jauh dari kata layak. Sampai kapan mereka akan terus sabar bertahan dengan kondisi yang demikian?
Sebab itu, Ubaid menyebut pendidikan di Indonesia seperti sedang berada di ujung tanduk, menunggu luapan emosi para guru dan akan mempengaruhi masa depan sumber daya manusia (SDM) bangsa.
Dia memberikan simulasi bagaimana jika para guru honorer ini jengah kemudian melepas pekerjaan mereka dengan hal yang lebih menjanjikan di luar sana.
"Kualitas pendidikan kita pasti akan jeblok, korbannya pasti anak-anak, ini kalau guru honorer terus menerus tidak diakui oleh negara," katanya.
Kualitas pendidikan yang sudah buruk akan semakin buruk, kekurangan guru akan semakin membesar dan kebutuhan layanan pendidikan akan semakin memprihatinkan.
Cara paling sederhana yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah kembali memfokuskan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) kepada kesejahteraan guru, termasuk honorer, dan memperbaiki sarana di sekolah.
"Jadi kebutuhan mendasar layanan pendidikan kita itu masih sangat kurang Mestinya anggaran pendidikan itu yang 20 persen dialokasikan, diprioritaskan, diutamakan," tandasnya.
Tag: #guru #honorer #pahlawan #tanpa #tanda #jasa #tanpa #pengakuan #negara