Pasangan Beda Agama Menuntut Hak Pencatatan Sipil Pada Negara
- Muhammad Anugerah Firmansyah duduk sendiri di ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/11/2025). Dia mengenakan setelan jas abu dengan kemeja berwarna hitam. Tasnya dijinjing saat baru saja keluar dari ruang sidang.
Kompas.com bersama awak media lainnya di Media Center MK kemudian mengajak sosok pemuda berusia 30 tahun asal Bandung, Jawa Barat ini untuk bercerita terkait latar belakangnya berani maju seorang diri melayangkan uji materi Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Tidak, (tidak menggunakan pengacara), sendiri saja," katanya.
Kenekatannya mengambil cuti untuk menggugat aturan yang dinilainya ambigu ini tak lain karena kekuatan cinta yang ia jalin selama dua tahun dengan kekasihnya.
Ada tembok penghalang yang tak kasat mata dalam hubungan asmara Anugerah dengan kekasihnya, yakni soal keyakinan agama yang berbeda.
Anugerah yang beragama Islam sedangkan kekasihnya seorang pemeluk Kristen. Hubungan mereka sudah ke tahap serius sampai tahap perkenalan antar keluarga.
Sebelum mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Anugerah memberanikan diri, mempelajari ragam putusan MK, menyusun gugatan di sela-sela kerjanya di bidang pemerintahan.
Ia khawatir, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan akan membuat cintanya yang sedang bersemi ini kandas sebelum berlayar. Pasal tersebut menyebutkan Pasal (1) "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Pasal (2) "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
"Ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum mengenai pencatatan perkawinan antaragama," sebut Anugrah.
Karena multitafsir pasal ini, pencatatan perkawinan oleh pengadilan tidak langsung otomatis diberikan. Ada yang menolak, ada juga yang mengabulkan.
Tembok penghalang Anugerah dan kekasihnya untuk menjalin rumah tanggal semakin nyata kala Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang berisi larangan bagi pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan insan yang beda agama.
Meski dalam ruangan sidang MK yang sunyi itu Anugerah duduk seorang diri, dia mengaku mendapat banyak dukungan dari keluarga besarnya.
Terutama kekasihnya yang turut memberikan dukungan dari jauh. Sebelum sidang, pesan dan ucapan agar perjuangan untuk menuntut hak warga negara dicatat pernikahannya oleh negara bisa dimenangkan dalam sidang MK.
"Ya intinya (dapat dukunga) dari teman, pasangan dan keluarga (memberikan ucapan, semoga lancar, sukses, seperti itu kurang lebih," ucapnya.
Gedung Mahkamah Konstitusi. MK tegaskan larangan wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan melalui putusan yang dibacakan dalam sidang perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (28/8/2025).
Telah digugat berulang kali
Gugatan soal perkawinan beda agama sudah berulang kali digugat ke MK, dan juga diputus berulang kali dengan amar putusan "menolak" atau ketetapan "tidak dapat diterima".
Data putusan MK menyebutkan, perkara serupa pernah diputuskan pada 18 Juni 2015 dengan nomor perkara 68/PUU-XII/2014 dengan amar putusan menolak untuk seluruhnya.
Saat itu MK yang diketuai Hamdan Zoelva menegaskan perkawinan bukan hanya soal aspek formal, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial.
Sebab itu, ketetapan agama juga menjadi bagian untuk menilai keabsahan perkawinan. Jika keabsahan tersebut tak selesai, maka administrasi juga tak bisa dilakukan.
Kemudian gugatan serupa diputuskan pada 29 September 2022 dengan nomor 71/PUU-XX/2022. Kali ini para penggugat menguji Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
MK yang saat itu dipimpin Anwar Usman memutuskan gugatan tidak dapat diterima karena alasan kerugian konstitusional yang penuh dengan emosional.
Tak ada bukti yang cukup meyakinkan dari pemohon yang mengaku sebagai pemerhati hukum keluarga dan juga menyebut keresahan terjadi karena pernikahan beda agama tak dapat dicatat dalam pencatatan sipil.
Menurut MK, yang dipaparkan pemohon hanya asumsi yang tak bisa dibuktikan kebenarannya.
Terakhir gugatan dengan nomor putusan 24/PUU-XX/2022 yang menggugat pasal yang sama dengan Anugerah. Gugatan ini diputuskan pada Januari 2023 dengan Anwar Usman masih menjadi Ketua MK.
Amar putusan ini adalah menolak permohonan dengan dua hakim kontitusi memberikan alasan penolakan yang berbeda atau concurring opinion yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic.
Berpotensi kandas lagi
Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Anick HT meyakini, jika tidak ada kebaruan dalam gugatan Anugerah, MK akan berpendirian tetap dengan keputusan-keputusan mereka sebelumnya.
"Kalau pasal yang sama dengan argumen yang sama, pasti akan ditolak MK," ucapnya kepada Kompas.com, Rabu.
Meskipun lembaga yang bergerak di bidang pluralisme ini meyakini, UU Perkawinan yang digugat berulang kali tersebut sangat bermasalah.
MA terbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama
Karena menurut Anick, adalah tugas negara memberikan pelayanan administrasi kepada setiap warga negara, tanpa memandang mereka penganut agama apa.
UU Perkawinan ini dinilai menutup hak untuk mendapatkan catatan sipil atas pernikahan dua insan warga negara.
UU Perkawinan ini, kata Anick juga menyebabkan adanya praktik manipulasi pindah agama secara singkat untuk memenuhi syarat formalitasnya saja.
Cara kedua adalah menikah di luar negeri dan pernikahan bisa dicatatkan dalam catatan kependudukan sipil secara sah.
"Dua jalan itu, manipulasi dan menikah di luar negeri," ucapnya.
Tren pasangan muda nikah beda agama
Tren pernikahan beda agama, menurut Anick, semakin hari semakin meningkat, karena laju modernitas dan pluralisme yang semakin akrab di tengah masyarakat.
Dia menyebut ada kurang lebih 2.000 pasangan beda agama yang telah menikah di Indonesia dan kemungkinan akan terus bertambah.
"Semakin modern menurut saya, yang bisa kita fasilitasi itu orang semakin tidak bisa dilarang menikah beda agama," kata Anick.
Namun munculnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 menambah beban bagi para pasangan beda agama ini juga dinilai tak sejalan dengan semangat kebhinekaan Indonesia.
Dalam keterangannya, Wakil Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Tigor Naipospos mengatakan, SEMA tersebut sebagai kemunduran karena menutup hak warga negara yang berlatar belakang beraneka ragam.
Dalam pandangan SETARA Institute, kewajiban negara dalam perkawinan antar warga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi, akan tapi menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara.
"Kewajiban negara hanyalah mencatat perkawinan warga negara tersebut dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi terkait," ucap Tigor.
Tag: #pasangan #beda #agama #menuntut #pencatatan #sipil #pada #negara