Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa
PADA peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Indonesia menambah 10 nama baru dalam daftar Pahlawan Nasional. Sejak gelar itu dianugerahkan pertama kali pada 1959 hingga 2023, negeri sudah memiliki 206 orang pahlawan nasional.
Menariknya, dari daftar 10 nama baru itu, terselip dua nama yang jalan hidupnya berseberangan dalam panggung sejarah: Soeharto dan Marsinah.
Soeharto adalah pendiri sekaligus penguasa tertinggi rezim Orde Baru yang mengangkangi negeri ini selama 32 tahun. Sebaliknya, Marsinah adalah sosok rakyat jelata yang dibunuh secara keji oleh sistem Orde Baru.
Bayangkan, dalam beberapa tahun ke depan, ketika pelajaran sejarah akan dituturkan kepada generasi baru, bagaimana menceritakan Soeharto dan Marsinah?
Bisahkah kisah Marsinah, yang dibunuh secara keji pada awal Mei 1993, dituturkan tanpa menyebut Soeharto dan Orde Baru-nya?
Korban sistem Orde Baru
Marsinah, yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, lahir dari keluarga miskin. Ia kemudian diasuh oleh nenek dan bibinya. Marsinah muda merasakan pahit-getirnya terlempar dari bangku sekolah karena biaya pendidikan.
Marsinah adalah satu contoh dari mereka yang tersisih dari derap pembangunan era Orde Baru. Lahir dari keluarga miskin, bukan keluarga PNS atau ABRI, pilihan Marsinah untuk menaiki tangga sosial sangatlah terbatas. Pilihan yang terbuka hanya menjadi buruh pabrik.
Awalnya, ia bekerja di pabrik sepatu bata di Surabaya. Lalu, setahun berselang, ia pindah tempat bekerja: menjadi buruh PT Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Namun, ketika bekerja sebagai buruh, ia diperhadapkan dengan sistem perburuhan Orde Baru: politik upah murah, hubungan industrial Pancasila, dan pelibatan militer dalam konflik industrial (Dwi-Fungsi ABRI).
Saat itu, upah Marsinah hanya Rp 1.700 per hari. Di tahun yang sama, harga beras adalah Rp 700/kg. Artinya, 41,18 persen upah hari buruh habis hanya untuk satu kilogram beras.
Pada 1993, upah pekerja naik sebesar 20 persen berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Seharusnya upah Marsinah dan kawan-kawannya naik menjadi Rp 2.250 per hari. Namun, perusahan tempat Marsinah bekerja tak mengindahkan beleid itu.
Situasi itulah yang membuat Marsinah dan kawan-kawannya memakai cara yang diakui oleh hukum perburuhan negara beradab: mogok kerja.
Namun, politik perburuhan Orde Baru menekankan stabilitas di bawah panji-panji hubungan industrial Pancasila: buruh, bersama pengusaha dan pemerintah, dianggap ”satu keluarga besar” yang seharusnya hidup harmonis.
Dalam cara pandang itu, aksi mogok dianggap sebagai tindakan yang tidak pancasilais dan tidak indonesia (Vedi Hadiz, 1998).
Pada masa itu, untuk menegakkan politik stabilitas, termasuk menegakkan hubungan industrial Pancasila, penguasa Orde Baru melibatkan tentara. Dan itu dimungkinkan karena ada doktrin Dwifungsi ABRI.
Pada 1986, Menteri Tenaga Kerja Sudomo mengeluarkan Keputusan Menteri 342/1986 yang mengharuskan aparat keamanan (Kodim dan Korem) terlibat dalam penyelesaian penyelesaian industrial.
Bahkan, petugas Depnaker perlu berkoordinasi dengan Pemda, Polres dan Kodim ketika menanggulangi ancaman tindakan fisik dalam pemogokan (Rudiono, 1992: 80).
Tahun 1990-an, ketika aksi mogok buruh mulai berkembang karena kondisi kerja yang buruk dan politik upah murah, Bakorstanas melalui Surat Keputusan Nomor 02/Satnas/XII/1990 memberi wewenang kepada militer untuk mendeteksi, mencegah, dan menekan gejolak buruh.
Situasi itulah yang memberi pintu pada Koramil Porong dan Kodim Sidoarjo untuk bergerak mengintervensi aksi mogok yang digelar oleh Marsinah dan kawan-kawannya.
Pada 5 Mei 1993, hari ke-3 aksi mogok kerja, sebanyak 13 buruh ditangkap dan digelandang ke Kodim Sidoarjo.
Hari itu, Marsinah sempat mendatangi markas Kodim Sidoarjo untuk menanyakan nasib kawan-kawannya. Namun, setelah itu, keberadaan Marsinah tak diketahui lagi.
Hingga, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Sebelum meninggal, Marsinah mengalami penganiayaan dan penyiksaan super berat. Ia bahkan diperkosa sebelum dibunuh.
Di sini jelas sekali bahwa Marsinah adalah korban dari sistem politik perburuhan Orde Baru. Dan penanggung jawab tertinggi dari sistem itu adalah Soeharto.
Ingatan bangsa
Tentu saja, kita tak bisa hidup dalam situasi yang disebut oleh Paul Ricœur (2000) sebagai ”ingatan berlebihan”, yang membuat kita hanya berkutak dengan masa lalu dan tak berusaha mencari jalan keluar untuk menatap masa depan.
Namun, ingatan bangsa tak boleh mengabaikan ”luka sejarah” atau ”memoria passionis” tetap menjadi luka yang menganga dan tak tersembuhkan.
Di sini, Ricœur (2000) menawarkan dua jalan. Pertama, narasi sejarah yang benar, berpijak pada fakta-fakta yang bisa diuji secara ilmiah, sebagai jalan mengubur hantu-hantu masa lalu.
Pemahaman sejarah yang benar akan menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
Kedua, pemulihan keadilan dengan meruntuhkan tembok impunitas dan pengakuan bersalah dari pelaku. Tanpa keduanya, rekonsoliasi nasional hanya ”kosmetik politik” dan proyek politik yang rapuh.
Namun, keputusan mengangkat Marsinah bersanding dengan Soeharto justru berusaha menyusun ingatan bangsa dalam narasi sejarah yang bermasalah, mempertebal impunitas, dan memperlebar luka sejarah yang belum tersembuhkan.
Tanpa narasi sejarah yang benar, Marsinah adalah korban politik perburuhan dan doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru, bangsa ini tidak pernah belajar dari masa lalu.
Dan seperti dikatakan penulis Spanyol, George Santayana, ”mereka yang tak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
Selain itu, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, tokoh yang bertanggung-jawab terhadap banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya mempertebal tembok impunitias dan membuka luka sejarah semakin menganga.
Kasus pembunuhan Marsinah, yang terjadi pada 32 tahun yang lampau, sampai sekarang belum terang-benderang. Saat itu, ada sembilan orang ditangkap, yang sebagian besar petinggi PT CPS dan Satpam.
Pada tingkat kasasi, keputusan Mahkamah Agung mememutuskan para tersangka bebas murni karena tak terbukti membunuh Marsinah. Dalam kesaksiannya, para tersangka mengaku disiksa oleh aparat militer setempat untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
Padahal, dari kronologi hingga temuan forensik, ada peran aparat yang sangat besar dalam kasus tersebut.
Abdul Mun’im Idries, seorang saksi ahli yang menuliskan temuannya dalam Indonesian X-Files (2013), penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan dan menghancurkan tulang di sekelilingnya.
Padahal, Ricœur mengingatkan, ingatan kolektif bukan sekadar mengingat beberapa potongan kejadian di masa lalu, tetapi ingatan yang menagih agar kejahatan masa lalu diselesaikan secara adil.
”Setiap orang berhak atas keadilan, bahkan ketika ia sudah tiada,” kata Ricœur.
Tentu saja, keputusan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tak hanya melukai rasa keadilan bagi Marsinah, tapi juga membuat luka memoria passionis yang diderita oleh mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dari peristiwa 1965 hingga peristiwa Mei 1998, semakin mengangaga.
Sebagai bangsa, ia hanya mempertebal ingatan kelam kita pada kebijakan pembangunan yang sentralistik (bertumpu di Jawa), politik pembangunan top-down yang menggilas rakyat jelata atas nama pembangunan, kapitalisme kroni, praktik KKN yang dianggap lumrah, budaya asal bapak senang (ABS), dan pembungkaman kebebasan berserikat dan berpendapat.
Akhirnya, ingatan bangsa tak membuat kita melangkah maju, tetapi hanya berkutat dalam pertempuran masa lalu.
Sebab, ada tagihan masa lalu, dalam hal ini pengungkapan kebenaran dan tegaknya keadilan, yang belum dibayar tunai.