Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua
Satgas Operasi Damai Cartenz dan Polres Yahukimo mengevakuasi dua jenazah pendulang emas yang diduga dibunuh KKB di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, Jumat (26/9/2025).(KOMPAS.COM/DOK SATGAS DAMAI CARTENZ)
11:36
17 Oktober 2025

Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua

LEBIH dari enam dekade sudah berlalu sejak Papua Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia. Namun hingga kini, hati dan pikiran masyarakat Papua tetap terasa masih jauh dari Jakarta.

Ketegangan yang terus berulang antara aparat keamanan dan warga sipil, laporan kekerasan di daerah-daerah pegunungan, serta munculnya berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan yang semakin aktif di panggung internasional, menunjukkan bahwa persoalan Papua bukanlah semata masalah keamanan.

Lihat saja peristiwa bentrok antara aparat kepolisian dengan elemen pemuda pada
aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua di Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (15/10/2025).

Ratusan mahasiswa Papua tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) menggelar aksi demonstrasi menolak investasi dan militerisasi di Tanah Papua.

Aksi tersebut berakhir ricuh, dua mobil polisi dan satu mobil PDAM Jayapura dibakar massa hingga 3 orang luka terkena lemparan batu.

Peristiwa ini memperjelas fakta bahwa masalah Papua multidimensional, tak bisa disederhanakan hanya sebagai masalah keamanan.

Papua adalah cermin dari kegagalan negara memahami rakyatnya sendiri. Pendekatan militeristik yang terus dipertahankan telah memperdalam jurang ketidakpercayaan, memperkuat sentimen perlawanan, dan secara perlahan membuka jalan bagi legitimasi perjuangan referendum yang kini, menurut rencana para pejuang Papua merdeka, akan diupayakan pada tahun 2027 mendatang.

Buku “Papua: Geopolitics and the Quest for Nationhood” (2018) karya Bilveer Singh menggambarkan dengan tajam akar persoalan ini.

Singh, pakar politik dari Universitas Nasional Singapura, menegaskan bahwa Papua tidak dapat dipahami hanya dari kacamata integrasi nasional atau pemberantasan separatisme.

Di balik perlawanan politik yang sering dicap “gerakan pengacau keamanan”, terdapat sejarah panjang ketidakadilan dan marginalisasi.

Proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang dinilai cacat oleh banyak kalangan di dalam komunitas internasional menjadi luka awal yang tidak pernah sembuh.

Ketika ketidakadilan struktural seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial, dan eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung, maka gagasan tentang “merdeka” menjadi simbol harapan atas harga diri dan kebebasan masyarakat Papua.

Singh menilai bahwa pendekatan keamanan Indonesia justru memperkuat narasi separatisme itu, karena negara gagal menunjukkan empati dan pengakuan terhadap identitas Papua sebagai bagian sejajar dari bangsa Indonesia.

Ironisnya, pendekatan keamanan telah menjadi pola refleks dan repetitif negara dalam menghadapi setiap gejolak di Papua.

Peningkatan jumlah pasukan, operasi intelijen, serta kontrol ketat terhadap wilayah dan kontrol atas informasi dianggap sebagai satu-satunya cara menjaga “stabilitas nasional”. Padahal, stabilitas yang dibangun di atas rasa takut bukanlah stabilitas sejati.

Stephen Hill dalam bukunya “Merdeka: Hostages, Freedom and Flying Pigs in West Papua” (2014) menjelaskan bahwa kekerasan yang terus-menerus diulang hanya memperkuat siklus kebencian.

Bagi Hill, Papua adalah ruang di mana makna “merdeka” selalu dinegosiasikan antara kekuasaan dan kemanusiaan.

Ketika negara memaksa rakyatnya untuk patuh melalui kekuatan senjata, maka yang hilang bukan hanya rasa aman, melainkan juga rasa memiliki terhadap Indonesia.

Dalam konteks inilah, pendekatan keamanan justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita “merangkul Papua dalam satu keluarga bangsa.”

Kini, konsekuensi dari pendekatan yang keliru tersebut mulai tampak nyata. Organisasi-organisasi perjuangan Papua merdeka semakin gencar mencari dukungan di tingkat internasional.

Di dalam komunitas negara-negara Melanesia, Papua mendapat ruang yang kian luas melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) dan jejaring solidaritas Pasifik.

Dukungan moral dari negara-negara seperti Vanuatu, Solomon Islands, dan bahkan Fiji mulai menunjukkan bahwa isu Papua telah menjadi simbol solidaritas regional bagi bangsa-bangsa Melanesia.

Indonesia memang berusaha mengimbangi dengan diplomasi ekonomi dan politik. Namun luka identitas yang tak kunjung diakui membuat diplomasi tersebut sering tampak artifisial di mata publik Melanesia.

Setiap tindakan kekerasan di lapangan menjadi bahan bakar baru bagi kampanye Papua merdeka di dunia internasional, sekaligus mengikis citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia.

Lebih jauh lagi, dukungan dari negara-negara Barat mulai menunjukkan arah yang mengkhawatirkan.

Australia, yang selama ini berhati-hati dalam bersikap terhadap isu Papua, kini mulai mengambil posisi strategis.

Penempatan pasukan Australia di kawasan Papua Nugini yang berdekatan dengan Darwin bukan hanya langkah pertahanan semata, tetapi juga bentuk kesiapsiagaan terhadap potensi referendum di Papua Barat yang direncanakan pada 2027 itu.

Di beberapa forum keamanan Pasifik, pejabat Australia bahkan menyinggung pentingnya “stabilitas berbasis hak asasi manusia” di kawasan.

Kalimat yang tampak diplomatis ini sejatinya mengirim sinyal bahwa Barat ingin memastikan, jika referendum terjadi, Indonesia tidak melakukan intervensi yang dapat mencederai legitimasi proses tersebut.

Bila langkah ini berlanjut, Indonesia bisa terjebak dalam situasi serupa dengan Timor Timur dua dekade lalu, di mana tekanan internasional dan citra buruk akibat kekerasan negara justru mempercepat lepasnya wilayah itu dari republik.

Indonesia tentu memiliki alasan untuk mempertahankan Papua sebagai bagian integral dari negara. Papua adalah wilayah kaya sumber daya, strategis secara geografis, dan merupakan simbol keutuhan nasional.

Namun, cara mempertahankannya tidak bisa terus-menerus bergantung pada pendekatan kekuatan.

Seperti diingatkan Bilveer Singh, legitimasi negara di mata rakyatnya tidak dibangun dengan bayonet, tetapi dengan rasa keadilan dan keterlibatan sejati yang manusiawi.

Selama pemerintah Jakarta masih memandang Papua sebagai “daerah rawan”, alih-alih sebagai “daerah yang perlu didengarkan,” maka jarak emosional akan terus melebar.

Pendekatan keamanan memang bisa menekan gejolak sesaat, tetapi tidak pernah menyembuhkan sebab-musababnya.

Masalahnya, pendekatan pembangunan yang seharusnya menjadi jembatan menuju rekonsiliasi justru sering terkooptasi oleh logika keamanan.

Program infrastruktur masif seperti Trans Papua, pembangunan bandara, dan perluasan tambang sering dijadikan simbol kemajuan, tanpa memperhatikan ketimpangan yang terjadi di tingkat sosial dan budaya.

Masyarakat lokal kerap tersisih dari proyek-proyek tersebut, baik secara ekonomi maupun lingkungan.

Akibatnya, pembangunan yang dimaksudkan untuk “menyatukan” Papua justru dianggap sebagai bentuk eksploitasi baru.

Hal ini sesuai dengan kritik Singh bahwa kebijakan top-down dari Jakarta gagal memenangkan hati masyarakat karena tidak berangkat dari kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

Sementara itu, organisasi-organisasi Papua merdeka seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terus memperluas pengaruhnya di dunia internasional.

Dengan strategi diplomasi yang rapi dan dukungan diaspora Papua di Eropa serta Pasifik, mereka berhasil menggeser persepsi global terhadap konflik Papua dari isu separatisme menjadi isu hak menentukan nasib sendiri.

Kampanye mereka di forum PBB, gereja-gereja global, hingga parlemen-parlemen negara Barat semakin mengisolasi Indonesia secara moral.

Dalam konteks ini, setiap tindakan represif di lapangan menjadi “amunisi politik” yang memperkuat narasi bahwa Papua berada di bawah penjajahan modern.

Jika tren ini berlanjut, Indonesia akan menghadapi situasi diplomatik yang jauh lebih rumit menjelang tahun 2027.

Rencana referendum yang kini mulai dibicarakan di lingkaran aktivis Papua merdeka, dengan dukungan moral dari komunitas Melanesia dan sikap waspada Australia, plus dukungan jaringan gereja, bisa menjadi momentum politik yang akan sulit dihadang.

Dunia yang kini semakin sensitif terhadap isu hak asasi manusia dan dekolonisasi akan mudah bersimpati pada perjuangan Papua, terutama bila Indonesia gagal memperlihatkan perubahan nyata dalam pendekatan di lapangan.

Dalam skenario terburuk, tekanan internasional bisa memaksa Indonesia membuka ruang dialog yang diarahkan pada penentuan nasib sendiri, seperti yang pernah terjadi di Timor Timur pada 1999.

Namun, peluang tersebut tentu tidak harus menjadi kenyataan jika Indonesia berani mengubah pendekatannya sekarang.

Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang bertahan lama bukan karena ketakutan, tetapi karena kepercayaan.

Papua membutuhkan pengakuan, bukan pengawasan. Rakyat Papua ingin didengar, bukan diawasi.

Karena itu, pemerintah harus menata ulang paradigma keamanannya dengan menempatkan hak asasi manusia dan rekonsiliasi sebagai fondasi utama kebijakan.

Perlu ada mekanisme keadilan transisional yang mengakui kekerasan masa lalu, membuka ruang dialog sejajar antara Jakarta dan perwakilan masyarakat Papua, serta memastikan pembangunan dijalankan dengan menghormati hak-hak adat dan budaya.

Indonesia memang memiliki kesempatan untuk membalikkan arah sejarah, tetapi waktu semakin sempit. Setiap tindakan represif yang terjadi hari ini adalah satu langkah menuju hilangnya kepercayaan di esok harinya.

Papua tidak bisa terus didekati dengan bahasa perintah, tapi harus dirangkul dengan bahasa kemanusiaan.

Seperti yang disampaikan Stephen Hill, kemerdekaan sejati tidak selalu berarti pemisahan dari negara, tetapi kebebasan untuk diakui dan dihormati sebagai manusia yang setara.

Bila Indonesia gagal memahami pesan sederhana tersebut, maka upaya mempertahankan Papua justru akan menjadi proses yang perlahan-lahan menyiapkan jalan bagi kemerdekaan.

Pendek kata, persoalan Papua bukan hanya ujian bagi Papua dan masyarakatnya, tetapi juga ujian moral bagi Indonesia.

Apakah negara ini benar-benar siap menjadi rumah bagi seluruh bangsanya, termasuk mereka yang berbeda warna kulit, budaya, dan sejarah?

Ataukah Indonesia akan terus memaksa persatuan melalui ketakutan dan senjata, sampai akhirnya kehilangan yang paling berharga terjadi, kepercayaan rakyatnya sendiri?

Tag:  #senjata #akan #menyembuhkan #luka #papua

KOMENTAR