Kejaksaan Belum Eksekusi Silfester Matutina: Keroposnya Negara Hukum
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Silfester Matutina di Bandung, Jawa Barat, Jumat (9/2/2024).(KOMPAS.com/Rahel)
06:54
13 Oktober 2025

Kejaksaan Belum Eksekusi Silfester Matutina: Keroposnya Negara Hukum

SIKAP yang sangat memalukan dan salah terus ditunjukkan Kejaksaan yang belum juga mengeksekusi Silfester Matutina.

Sudah lebih dari enam tahun sejak Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap Silfester Matutina dalam perkara pencemaran nama baik Jusuf Kalla (Putusan MA Nomor 287 K/Pid/2019).

Namun hingga kini, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan belum juga melakukan eksekusi.

Putusan itu seolah hanya menjadi teks hukum tanpa daya paksa, sementara terpidana tetap hidup normal, bahkan pernah menjabat komisaris di salah satu BUMN.

Ironisnya, alasan yang beredar ke publik terdengar tidak masuk akal. Beberapa pejabat Kejaksaan menyebut adanya “kendala administratif” atau “penelusuran keberadaan terpidana”.

Padahal, Silfester Matutina bukan sosok yang bersembunyi. Ia tetap aktif di media sosial, kerap tampil sebagai buzzer pendukung pemerintah, dan secara terbuka hadir di berbagai acara publik.

Fenomena ini bukan sekadar anomali prosedural. Ia adalah pukulan keras terhadap kredibilitas institusi penegak hukum, sekaligus tamparan bagi konsep negara hukum (rechtstaat) yang menempatkan hukum di atas kekuasaan.

Keadilan yang tertunda

Dalam teori klasik hukum, Lon L. Fuller menegaskan bahwa hukum hanya memiliki moralitas internal jika dijalankan secara konsisten, terbuka, dan dapat diprediksi.

Bila putusan pengadilan tidak dieksekusi tanpa alasan hukum yang sah, maka hukum kehilangan moralitasnya. (Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven, 1964).

Penundaan eksekusi seperti ini menghancurkan prinsip kepastian hukum (legal certainty) dan kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).

Bila seseorang yang telah divonis bersalah bisa bebas hanya karena kedekatan politik atau posisi sosialnya, maka hukum berubah menjadi alat kekuasaan.

Hal ini sejalan dengan peringatan Joseph Raz dalam The Authority of Law (Clarendon Press, Oxford, 1979), bahwa legitimasi hukum bergantung pada kepatuhan aparat terhadap norma hukum itu sendiri.

Ketika Kejaksaan menunda eksekusi tanpa dasar yang jelas, ia bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak otoritasnya sendiri sebagai pelaksana kekuasaan negara.

Dalam konteks penegakan hukum modern, jaksa memang memiliki ruang diskresi tertentu dalam menentukan prioritas penanganan perkara.

Namun, diskresi bukanlah imunitas dari kewajiban hukum. Diskresi yang menunda pelaksanaan putusan inkracht justru merupakan bentuk penyimpangan.

Bila kita membaca laporan berbagai media, kasus Silfester Matutina menjadi preseden buruk. Kejaksaan Agung disebut menunda eksekusi tanpa kejelasan, sementara publik menyoroti dugaan adanya perlakuan istimewa karena kedekatan politik dengan lingkar kekuasaan.

Sejatinya “tak ada alasan hukum menunda eksekusi Silvester Matutina”. Alasan tidak menemukan yang bersangkutan adalah alasan mengada-ada. Semestinya penasehat hukumnya dimasukkan sebagai menghalang-halangi penegakan hukum.

Kecurigaan publik semakin kuat ketika Silfester Matutina tetap mendapat posisi strategis sebagai komisaris di BUMN, padahal status hukumnya sudah berkekuatan tetap alias terpidana.

Hal ini mempertegas bahwa relasi politik bisa menjadi “tameng hukum”, praktik yang menodai prinsip penegakan hukum yang bebas dari intervensi.

Hukum alat kekuasaan

Dalam paradigma “law as integrity” dari Ronald Dworkin, hukum harus diinterpretasikan dan diterapkan secara koheren dengan prinsip moral dan keadilan publik (Law’s Empire, Harvard University Press, Cambridge, 1986).

Ketika Kejaksaan gagal menegakkan putusan Mahkamah Agung karena faktor non-yuridis, ia mengkhianati integritas hukum itu sendiri.

Apalagi, dalam kerangka hukum Indonesia, eksekusi putusan pidana yang telah inkracht adalah kewajiban absolut Kejaksaan, bukan kewenangan yang bisa dinegosiasikan.

Tidak ada alasan politik, administratif, ataupun personal yang dapat menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan yang sah.

Sementara itu, teori Máximo Langer dan David Alan Sklansky dalam Prosecutors and Democracy: A Cross-National Study (Cambridge University Press, 2017) menunjukkan bahwa penegakan hukum hanya dapat dipercaya dalam masyarakat demokratis jika jaksa menjalankan fungsinya secara independen dan transparan, bebas dari tekanan kekuasaan.

Secara faktual, berdasarkan salinan putusan Mahkamah Agung, Silfester Matutina dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP tentang fitnah.

Putusan ini sudah inkracht sejak 2019. Namun hingga 2025, belum ada tindakan eksekusi nyata dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Sejumlah lembaga pemantau hukum dan advokat bahkan telah melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap Kejaksaan karena dianggap lalai menjalankan kewajibannya.

Gugatan itu menegaskan bahwa kelambanan eksekusi bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum.

Dalam hukum acara pidana, Kejaksaan sebenarnya memiliki alat yang kuat untuk menegakkan eksekusi, termasuk pemanggilan paksa dan penerbitan DPO jika terpidana mangkir.

Ketika semua itu tidak digunakan, pertanyaan publik menjadi sederhana, apakah hukum sedang tunduk pada kekuasaan?

Kejaksaan Agung dan Kejari Jakarta Selatan mesti membuka secara publik alasan penundaan eksekusi ini.

Transparansi adalah bagian dari akuntabilitas, dan akuntabilitas adalah syarat mutlak bagi legitimasi hukum. Bila tidak, maka Kejaksaan akan terus dicurigai menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan.

Publikasi resmi kronologi eksekusi dan dasar hukum setiap penundaan. Audit internal terhadap proses penanganan eksekusi Silfester Matutina untuk memastikan tidak ada campur tangan politik.

Revisi regulasi internal Kejaksaan agar setiap penundaan eksekusi putusan inkracht wajib disertai dasar hukum tertulis dan batas waktu yang jelas.

Negara hukum hanya dapat berdiri jika hukum dijalankan tanpa pandang bulu. Ketika Kejaksaan menunda eksekusi dengan alasan politis, ia bukan hanya mencederai konstitusi, tetapi juga mempermainkan keadilan publik.

Seperti dikatakan Fuller, hukum yang tidak dijalankan dengan konsisten adalah hukum yang kehilangan moralitasnya.

Bila putusan Mahkamah Agung dapat dinegosiasikan oleh kekuasaan politik, maka bangsa ini sedang berjalan menuju “krisis legitimasi hukum”, di mana hukum hanya bekerja untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan.

Hukum harus tegak meskipun langit runtuh.

Tag:  #kejaksaan #belum #eksekusi #silfester #matutina #keroposnya #negara #hukum

KOMENTAR