



Ancaman Lebih Besar di Balik Kerusuhan Demonstrasi Agustus 2025, Mulai Marak Tindakan Represi Digital
Gambaran suram akibat kerusuhan tampak familiar di kota-kota Indonesia pada Agustus kemarin. Mahasiswa ditelanjangi hingga kepala berlumuran darah bahkan barisan polisi tampak maju lengkap dengan perisai. Puncaknya, seorang pengemudi ojek online tewas tertabrak rantis yang mengubah unjuk rasa menjadi kobaran api.
Sebagian pihak menyebutnya sebuah 'kerusuhan' dan pihak lainnya menyebut 'terorisme'. Hanya saja, kebrutalan ini memiliki risiko menyamarkan pergeseran yang lebih besar, tetapi tenang.
Seperti dilansir dari Medium karya Michael Buehler, selama dekade terakhir, Indonesia telah membangun negara dengan pengawasan berlapis. Awalnya, ini merupakan program ujicoba, tetapi kini mengeras menjadi infrastruktur.
Hal ini tampak dari jaringan CCTV 'Safe City' yang terdapat di seluruh kota, algoritma pengenalan wajah DNA pelat nomor, sistem penyadapan yang sah di perusahaan telekomunikasi, penangkap IMSI (International Mobile Subscriber Identity) yang membajak ponsel, serta spyware komersial yang mampu menyusup melalui panggilan telepon, pesan, foto, dan suara sekitar.
Jadi, bisa dibilang pengendalian kerusuhan ini hanyalah sisi yang terlihat dari sistem represi digital yang sebenarnya jauh lebih dalam. Negara mendapat kesempatan mengintip dan melacak aktivitas warga pada kesehariannya.
Tren ini ditandai dengan ancaman pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) pada awal Oktober untuk melarang TikTok, kecuali platform milik Tiongkok tersebut menyerahkan data pengguna yang terkait dengan siaran langsung kerusuhan pada Agustus. Rekaman video tersebut telah tersebar luas di media sosial dan mempermalukan pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.
Para pejabat membingkai tuntutan ini sebagai investigasi atas monetisasi dan eskalasi lalu lintas internet selama kerusuhan. Namun, kelompok-kelompok ahli digital melihat sesuatu yang berbeda, yakni sebuah peringatan bagi semua platform bahwa negara kini mengharapkan akses ke data pengguna sebagai syarat untuk berbisnis.
Dari Joko Widodo, Diteruskan Prabowo Subianto
Sebagian besar perluasan pengawasan digital Indonesia ini terjadi di bawah mantan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang pemerintahannya memadukan polesan teknokratis dengan penyimpangan yang tidak liberal. Represi digital, yang mencakup pengawasan, penutupan internet, dan lawfare, mempersempit ruang sipil sekaligus memberi elit alat baru untuk mengawasi perbedaan pendapat.
Arah tersebut kemungkinan besar tidak akan berubah di bawah Presiden Prabowo Subianto. Sebab, Prabowo yang pernah menikah dengan putri sang tokoh Orde Baru, Soeharto, mengasah kemampuan politiknya dalam sistem otoriter Orde Baru.
Neosoft AG dan Densus 88
Sebagian besar perangkat pengawasan Indonesia diimpor. Catatan perdagangan, pemindaian teknis, dan pelaporan sumber terbuka selama 20 tahun terakhir menunjukkan akuisisi berulang CCTV berteknologi AI, gateway intersepsi yang sah, kit penangkap IMSI, dan serangkaian keluarga spyware komersial, mulai dari Pegasus milik NSO dan Predator milik Intellexa hingga Candiru, Wintego, dan FinFisher. Transaksi-transaksi ini seringkali disalurkan melalui jaringan broker yang tidak jelas di negara ketiga seperti Singapura.
Terdapat pula suatu dokumen yang bocor menunjukkan bahwa perusahaan Swiss NeoSoft AG sedang memposisikan diri untuk mengajukan penawaran kontrak untuk memasok Densus 88.
Dokumen yang bocor juga menjelaskan bagaimana ekspor semacam itu dapat diatur. Berkas-berkas tersebut pertama kali muncul pada November 2022 melalui kanal Pengungkapan EmBEARassment di X dan Telegram, dan sejak itu telah dikutip oleh para peneliti forensik digital dan kolektif investigasi yang melacak jaringan perdagangan spyware internasional.
Secara konkret, dokumen-dokumen tersebut tampaknya menunjukkan pada awal 2022, NeoSoft AG mengeluarkan surat dukungan yang memberi wewenang kepada perusahaan yang berbasis di Singapura, SDR Enterprise Pte. Ltd., untuk bertindak atas nama NeoSoft dalam tender pengadaan Densus 88 berjudul Pengadaan Peralatan Densus Sumber Pembiayaan Pinjaman Luar Negeri T.A. 2021 (Pengadaan Peralatan Densus yang Didanai oleh Pinjaman Luar Negeri, Tahun Anggaran 2021). Surat tertanggal 21 April 2022 dengan nomor referensi INT Ref: 20220421-SP tersebut mencantumkan produk-produk tertentu, termasuk Sistem Pemantauan Ransel Multiband dan DF NeoSoft serta Unit Dekripsi dan Unit Stasiun Klon NeoSoft.
Perangkat-perangkat ini merupakan perangkat intersepsi frekuensi radio portabel dan pencari arah yang dirancang untuk mendeteksi, menemukan, dan memantau komunikasi nirkabel seperti transmisi telepon seluler atau radio. Sistem semacam ini sering digunakan oleh penegak hukum atau badan intelijen untuk melacak tersangka, mengidentifikasi perangkat aktif di area tertentu, atau memetakan sumber sinyal selama operasi lapangan.
NeoSoft AG sendiri sempat diberi kesempatan untuk memberikan komentar atas dokumen-dokumen tersebut. Hanya saja, NeoSoft AG menyatakan bahwa dokumen yang dirujuk sebagai INT Ref: 20220421-SP tidak dikenal oleh perusahaan dan tidak dapat ditemukan dalam arsipnya.
NeoSoft AG menjelaskan pertanyaan mengenai tender dan kemungkinan pengiriman sebagai "tidak relevan" sehubungan dengan pernyataan tersebut dan menambahkan bahwa mereka tidak dapat memberikan komentar mengenai hubungan apa pun dengan pengecer atau pengguna akhir karena adanya perjanjian kerahasiaan. NeoSoft AG juga menyatakan bahwa mereka beroperasi di bawah "peraturan yang sangat ketat" dan melakukan penilaian risiko komprehensif bersama dengan Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi (SECO) untuk mencegah penyalahgunaan produk-produknya.
Di sisi lain, tender ini muncul dalam ringkasan komersial, diklasifikasikan sebagai tender terbuka internasional dengan prakualifikasi dalam kategori "Peralatan Kepolisian & Militer", dan diperkirakan bernilai USD 100 juta. Hanya perusahaan yang memenuhi persyaratan finansial dan teknis yang dapat bersaing.
Paket pengadaan Densus lainnya tercantum dalam basis data yang berbeda, yakni Pengadaan Kendaraan Khusus Operasional Densus 88AT Beserta Perlengkapan Pendukung PDN T.A. 2021 (Pengadaan Kendaraan Operasional Khusus Densus 88AT dan Peralatan Pendukung, Pendanaan Dalam Negeri Tahun Anggaran 2021), dengan pagu anggaran Rp 60 miliar.
Pemberitahuan terkait lainnya pada jalur pendanaan PLN-2021 yang sama mencakup sistem proteksi jaringan TI dan mobil pengintai yang dilengkapi dengan perangkat pelacakan dan pemantauan portabel, dengan PDF resmi masih dapat dilihat di situs web Polri. Beberapa paket ditandai sebagai "tender sudah selesai" di mirror LPSE, tetapi penerima tender tidak diungkapkan. Singkatnya, tender-tender tersebut resmi, berskala besar, dan beberapa jelas terkait dengan Densus 88, tetapi hasilnya tetap tidak transparan.
Densus 88 sendiri, sebuah unit antiterorisme elit Indonesia, telah lama menghadapi tuduhan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan pembunuhan di luar hukum.
Singapura sebagai Pusat
Mitra yang diduga dimiliki Neosoft AG, SDR Enterprise Pte. Ltd., sendiri adalah perusahaan kecil yang terdaftar di Singapura, didirikan pada 2019 dan secara resmi terdaftar sebagai konsultan TI dengan grosir sekunder peralatan profesional dan ilmiah. Alamatnya di 36 Robinson Road, City House, tercantum dalam dokumen NeoSoft AG. SDR Enterprise Pte. Ltd. dimiliki oleh Suryadi Jakin, seorang warga negara Indonesia yang mengendalikan jaringan luas perusahaan yang memfasilitasi impor peralatan kepolisian Indonesia.
Sebuah uji coba sumber terbuka menunjukkan bahwa SDR Enterprise Pte. Ltd. adalah perantara aktif dalam rantai pasokan peralatan pengawasan yang menghubungkan Singapura dengan unit-unit kepolisian Indonesia.
Pemasokan Alat Pengawasan NeoSoft AG kepada Densus 88 Potensi Timbulkan Pertanyaan Hukum
Seandainya NeoSoft AG memposisikan diri untuk memasok alat pengawasan kepada Densus 88, langkah tersebut tidak hanya akan menimbulkan pertanyaan moral tetapi juga potensi pertanyaan hukum berdasarkan peraturan pengendalian ekspor.
Berdasarkan hukum Swiss, ekspor material perang dan barang-barang penggunaan ganda yang dikontrol dan memerlukan izin pemerintah, dapat ditolak jika terdapat risiko represi internal atau pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi (SECO) memperingatkan bahwa pelanggaran Undang-Undang Pengendalian Barang (GCA) dan Undang-Undang Federal tentang Material Perang (WMA) dapat memicu pertanggungjawaban pidana.
Uni Eropa telah melangkah lebih jauh. Peraturan Penggunaan Ganda (2021/821) yang direvisi memperkenalkan klausul "catch-all" berbasis hak asasi manusia untuk ekspor pengawasan siber, yang dirancang untuk memblokir penjualan yang dapat disalahgunakan untuk represi domestik.
Pada saat yang sama, pengawasan yang lemah di luar negeri memungkinkan para penguasa Indonesia memperoleh alat pengawasan yang semakin canggih di dalam negeri. Protes keras yang meletus di seluruh Indonesia pada bulan Agustus atas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan mungkin dapat diredam dengan meriam air dan gas air mata, tetapi perluasan represi digital yang diam-diam inilah yang mengancam untuk membungkam perbedaan pendapat dalam jangka panjang.
Tag: #ancaman #lebih #besar #balik #kerusuhan #demonstrasi #agustus #2025 #mulai #marak #tindakan #represi #digital