Tokoh Pengaju Amicus Curiae Praperadilan Nadiem Makarim Harapkan Penegakan Hukum Independen
Peneliti senior LeIP, Arsil, salah satu dari 12 tokoh pengajuan Amicus Curiae sidang praperadilan Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Ridwan/JawaPos.com)
07:08
9 Oktober 2025

Tokoh Pengaju Amicus Curiae Praperadilan Nadiem Makarim Harapkan Penegakan Hukum Independen



- Sebanyak 12 tokoh antikorupsi dari berbagai latar belakang telah mengajukan pendapat hukum dalam bentuk Amicus Curiae atau sahabat pengadilan dalam sidang praperadilan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.

Naskah amicus curiae itu dibacakan langsung oleh peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil bersama pegiat antikorupsi Natalia Soebagjo dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), pada Jumat (3/10).

Mereka menilai bahwa mekanisme praperadilan saat ini sering kali menyimpang dari tujuan awal dan gagal berfungsi sebagai pengawas efektif terhadap penggunaan diskresi penyidik. Amicus curiae sendiri berakar dari tradisi hukum Romawi dan berkembang luas dalam sistem common law di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, terutama pada abad ke-19. 

Hal itu membantu pengadilan dengan memberikan informasi, analisis hukum, atau sudut pandang tambahan yang dapat memperkaya pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Menurut Arsil, salah satu persoalan krusial adalah praktik penetapan tersangka dan tindakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan tanpa alasan yang cukup jelas. 

“Di sini kami melihat memang penegakan hukum itu penting. Kita pastinya menginginkan agar tindak pidana diberantas, pelaku kejahatan harus ditindak. Tetapi kami juga menginginkan penegakan hukum yang tetap akuntabel hanya terhadap orang-orang yang memang terdapat cukup bukti sajalah yang dapat dijadikan tersangka,” kata Arsil kepada wartawan, Rabu (8/10).

Ia menekankan, praperadilan seharusnya menjadi forum untuk menguji tindakan-tindakan penyidik yang berpotensi merugikan hak seseorang. Namun, dalam praktiknya pengadilan dinilai belum efektif melindungi hak-hak tersangka dan belum berfungsi sebagai pengawas terhadap kewenangan penyidik.

Bahkan, beban pembuktian dalam praperadilan sering kali justru dibebankan kepada pihak pemohon, bukan kepada penyidik yang melakukan tindakan hukum.

Para pengaju Amicus Curiae menegaskan tidak bermaksud memengaruhi putusan hakim dalam kasus Nadiem, mereka berharap masukan tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan yang serius. Sebab, selama ini hakim praperadilan jarang sekali menguji secara mendalam alasan subjektif penyidik ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Praperadilan merupakan forum yang paling tepat untuk menilai apakah penetapan tersangka itu benar-benar objektif atau tidak. Apakah bukti yang ada memang cukup untuk menduga seseorang patut sebagai pelaku. Dengan kata lain, apakah penilaian itu benar-benar reasonable,” urai Arsil.

Dalam permohonan praperadilan, tim kuasa hukum Nadiem Makarim menuding penetapan tersangka terhadap kliennya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook di lingkungan Kemendikbudristek tahun anggaran 2019-2022, tidak sesuai prosedur.

"Penetapan Tersangka terhadap Pemohon sebagaimana tertuang dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-63/F.2/Fd.2/09/2025 tertanggal 4 September 2025 a.n. Nadiem Anwar Makarim tidak sah dan tidak mengikat secara hukum," ujar tim kuasa hukum Nadiem yang dipimpin Hotman Paris di PN Jaksel, Jumat (3/10).

Kuasa hukum Nadiem menyebut, penetapan tersangka tidak didasari pada hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara yang bersifat nyata oleh BPKP.

"Padahal, Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang bersifat nyata (actual loss) tersebut merupakan syarat mutlak sebagai salah satu dari dua alat bukti yang dipersyaratkan dalam Pasal 184 KUHAP jo. Putusan MKRI 21/PUU-XII/2014 sehingga Penetapan Tersangka terhadap Pemohon harus dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum," tegasnya.

Tim hukum Nadiem juga mempersolkan sikap Kejaksaan Agung yang tidak menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas penetapan tersangka tersebut. Namun, Nadiem justru telah dilakukan upaya paksa penahanan.

"Tindakan Termohon tersebut merupakan pelanggaran atas hak Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum, menghilangkan fungsi pengawasan horizontal oleh Penuntut Umum, dan membuka peluang terjadinya penyidikan yang sewenang-wenang," cetusnya.

Karena itu, tim hukum Nadiem menuding penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sah dan cacat formil. "Dengan demikian, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Pemohon adalah cacat formil," pungkasnya.

Adapun, permohonan praperadilan ini dilayangkan setelah Nadiem Anwar Makarim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019–2022. Nadiem terjerat proyek pengadaan 1,2 juta unit laptop untuk sekolah di seluruh Indonesia, khususnya wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), dengan nilai anggaran mencapai Rp 9,3 triliun.

Kejagung menemukan bahwa pengadaan laptop tersebut menggunakan sistem operasi Chrome atau Chromebook. Meski demikian, kebijakan ini dinilai tidak efektif untuk menunjang pembelajaran di daerah 3T yang sebagian besar belum memiliki akses internet memadai.

Selain Nadiem, Kejagung juga menetapkan empat tersangka lainnya. Mereka adalah Mulyatsyah selaku Direktur SMP Kemendikbudristek 2020–2021, Sri Wahyuningsih selaku Direktur SD Kemendikbudristek 2020–2021, mantan staf khusus Mendikbudristek Jurist Tan, serta mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek Ibrahim Arief.

Menurut hasil perhitungan awal, akibat perbuatan para tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp 1,98 triliun. Kerugian itu terdiri dari dugaan penyimpangan pada pengadaan item software berupa Content Delivery Management (CDM) sebesar Rp 480 miliar dan praktik mark up harga laptop yang diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #tokoh #pengaju #amicus #curiae #praperadilan #nadiem #makarim #harapkan #penegakan #hukum #independen

KOMENTAR