



Bola Panas Pemakzulan Gibran, Ujian Loyalitas Prabowo atau Sekadar Politik Sandera?
Usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dilayangkan Forum Purnawirawan TNI ke gerbang parlemen lebih dari sekadar manuver hukum; ia adalah sebuah bidak catur yang kini diletakkan di tengah papan permainan politik Istana.
Meski secara formal ditujukan kepada DPR dan MPR, nasib bola panas ini pada akhirnya tidak bergantung pada riuhnya sidang parlemen, melainkan pada keheningan strategis Presiden Prabowo Subianto.
Secarik surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 menjadi pemantik api. Di dalamnya, para purnawirawan merangkum setidaknya empat dalil utama untuk melengserkan Gibran: pelanggaran etika berat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskannya, minimnya pengalaman politik, keraguan atas riwayat pendidikan, hingga isu moral terkait jejak digital masa lalu dan dugaan korupsi keluarga Jokowi.
Pengamat Politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai bahwa secara teknis, pintu pemakzulan bisa saja terbuka. Hal itu ia paparkan dalam diskusi Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai ke mana DPR melangkah yang digelar di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Rabu (18/6/2025).
"Satu di antara yang empat, bisa," ujarnya, merujuk pada kemungkinan DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) hanya dengan salah satu dari dalil tersebut.
Namun, di sinilah lapisan analisis yang lebih dalam dimulai. Ray Rangkuti membaca wacana ini bukan sebagai upaya serius untuk menjatuhkan Gibran, melainkan sebagai sebuah alat tawar-menawar yang canggih yakni politik sandera.
Gibran sebagai "Sandera" Politik
Dalam skenario ini, Gibran diposisikan sebagai "sandera". Ancaman pemakzulan yang terus dibiarkan menggantung menjadi alat kendali efektif untuk memastikan loyalitas dan kepatuhan sang wakil presiden kepada konstelasi kekuasaan yang baru.
Isu ini menjadi semacam "kartu truf" yang bisa dimainkan kapan saja jika ritme politik Gibran dianggap tidak seirama dengan orkestra yang dipimpin Prabowo.
"Kalau sampai ke pemakjulan kayaknya belum nih," ucap Ray.
Hal itu, kata dia, mengisyaratkan bahwa tujuan akhirnya bukanlah pelengseran, melainkan pengendalian. Dengan adanya ancaman ini, ruang gerak politik Gibran dan faksi yang berada di belakangnya menjadi terbatas.
Setiap langkah akan selalu dibayangi oleh kemungkinan "bola panas" ini kembali dilempar ke tengah lapangan.
Sikap Diam Prabowo yang Penuh Makna
Selanjutnya, kunci dari permainan ini, menurut Ray Rangkuti, ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Sikap Prabowo yang terkesan "cuek" atau membiarkan isu ini bergulir liar bukanlah tanda kelemahan atau ketidakpedulian. Sebaliknya, itu adalah sebuah strategi.
"Semua tergantung pada Pak Prabowo," kata Ray.
"Kelihatan bagi Pak Prabowo, beliau juga tidak akan buru-buru memutuskan menolak misalnya," sambungnya.
Menurut Ray, logikanya sederhana, jika Prabowo ingin melindungi Gibran sepenuhnya, ia bisa dengan mudah memadamkan wacana ini sejak awal melalui instruksi kepada partai-partai koalisinya di parlemen. Namun, ia memilih untuk diam.
Keheningan Prabowo ini pun bisa ditafsirkan sebagai cara untuk pertama, mengukur loyalitas yakni membiarkan Gibran menghadapi tekanan politik untuk melihat sejauh mana ia akan bersandar dan patuh pada kepemimpinan Prabowo.
Kedua, menjaga keseimbangan kekuatan, hal ini mengingatkan semua pihak, termasuk faksi pendukung Gibran dari era pemerintahan sebelumnya, bahwa pusat kekuasaan kini telah bergeser sepenuhnya.
Ketiga menyimpan opsi, dengan membiarkan isu ini hidup sebagai opsi darurat jika di kemudian hari terjadi turbulensi politik yang tidak diinginkan.
"Ya itu tadi, politik sandera. Jadi mungkin nggak akan ada keputusan dari Pak Prabowo, didiamkan aja gitu," ucap Ray.
Tag: #bola #panas #pemakzulan #gibran #ujian #loyalitas #prabowo #atau #sekadar #politik #sandera