Peradi Usul Bukti Petunjuk dan Keterangan Ahli Dihapus dari RKUHAP
Suasana rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III bersama LPSK dan Peradi membahas RKUHAP, Selasa (17/6/2025) di Kompleks Parlemen Senayan.(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
15:08
17 Juni 2025

Peradi Usul Bukti Petunjuk dan Keterangan Ahli Dihapus dari RKUHAP

- Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan agar bukti petunjuk dan keterangan ahli tidak lagi dimasukkan sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).

“Terkait alat bukti, kami hanya mengajukan empat alat bukti, yakni keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa,” kata Sapriyanto dalam RDPU.

Bukti petunjuk sebagaimana Pasal 184 KUHAP adalah alat bukti sah. Definisi “petunjuk” sebagaimana Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Menurutnya, bukti petunjuk sebaiknya dihapus karena dianggap berbahaya dan rawan disalahgunakan.

Dia menjelaskan, bukti petunjuk kerap dijadikan sebagai pelengkap keyakinan hakim ketika alat bukti lain tidak mampu secara eksplisit menunjukkan siapa pelaku tindak pidana.

“Bukti petunjuk ini sangat berbahaya karena akan digunakan dalam rangka menambah keyakinan hakim, ketika alat bukti yang lain tidak menunjukkan siapa pelakunya,” ujarnya.


Sapriyanto menilai, penyidik harus tetap mencari alat bukti utama yang kuat dan tidak menggantungkan pada bukti petunjuk yang ruang interpretasinya terlalu luas.

“Jangan berdasarkan bukti petunjuk, karena bisa disalahgunakan ketika hakim menjadikannya sebagai satu-satunya dasar untuk menghukum orang,” tegasnya.

Selain bukti petunjuk, Peradi juga mengusulkan agar keterangan ahli tidak lagi dimasukkan dalam kategori alat bukti.

Menurut Sapriyanto, selama ini posisi ahli dalam proses peradilan pidana dinilai tidak netral dan justru kerap menguntungkan salah satu pihak.

Keterangan ahli ini tidak ada kejelasan. Ketika kita menangani suatu perkara pidana, kalau ahli itu diajukan oleh penyidik, oleh penuntut umum, itu pasti diterima oleh hakim. Tapi ketika ahli diajukan oleh penasihat hukum, pasti tidak diterima. Kalaupun diterima, itu biasanya ada kepentingan ketika dia ingin membenarkan, baru diambil, tapi ketika dia tidak membenarkan, itu tidak diambil," jelasnya.

Sapriyanto menilai, ketidaksetaraan perlakuan terhadap ahli dari dua belah pihak menunjukkan adanya potensi ketidakadilan dalam proses pembuktian perkara.

“Karena itu, kalau kemudian dalam penanganan sebuah perkara pidana memerlukan ahli, cukup dia memberikan keterangan tertulis yang akhirnya menjadi bukti surat. Tidak perlu dihadirkan di persidangan," tambahnya.

Ia menegaskan bahwa ke depan, sistem pembuktian dalam KUHAP baru sebaiknya lebih mengedepankan alat bukti objektif yang tidak multitafsir dan rentan penyalahgunaan.

Usulan ini menjadi bagian dari masukan Peradi terhadap RKUHAP yang saat ini tengah dibahas intensif oleh Komisi III DPR bersama para pemangku kepentingan, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan pakar hukum pidana.

Tag:  #peradi #usul #bukti #petunjuk #keterangan #ahli #dihapus #dari #rkuhap

KOMENTAR