



Greenpeace Beda Pandangan dengan PBNU Soal Tambang: Evil vs Not Evil
- Greenpeace Indonesia dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beda pandangan soal aktivitas pertambangan yang terjadi di sejumlah wilayah.
Greenpeace memandang bahwa seluruh aktivitas pertambangan merupakan kejahatan (evil). Sementara PBNU menganggap bahwa aktivitas tambang juga ada yang membawa kebaikan (maslahat).
Hal ini bermula ketika Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa aktivitas pertambangan maupun menjaga lingkungan punya dua sisi yang berbeda, yaitu maslahat dan kerugian (mafsadat). Keduanya, punya kepentingan berbeda untuk masyarakat.
"Ada kesan di publik, di sebagian kalangan ya, seolah-olah penambangan itu in it self itu adalah kejahatan, itu adalah evil. Bagi saya, persepsi seperti ini kurang tepat," kata pria yang karib disapa Gus Ulil di program ROSI Kompas TV, dikutip Jumat (13/6/2025).
"Penambangan sendiri itu menurut saya baik, yang tidak baik adalah bad mining. Penambangan itu baik, it's not an evil," imbuh dia.
Sebagai informasi, PBNU dan organisasi masyarakat keagamaan lainnya, sebelumnya diberi izin pemerintah untuk mengelola tambang, berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 96/2021. Lewat perubahan ini, badan usaha milik ormas keagamaan mendapatkan izin untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Namun, pernyataan Gus Ulil dibantah Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik, yang turut menjadi narasumber dalam program tersebut. Menurutnya, aktivitas pertambangan merupakan kejahatan (evil), sehingga perlu izin dari pemerintah karena dampak buruk yang ditimbulkannya.
"Ini evil, Gus. Kenapa dia dinamakan izin, karena dia buruk. Kenapa pemerintah memberikan izin, karena pemerintah tahu ada dampak buruk dari aktivitas pertambangan ini," ucap Iqbal.
Izin, menurutnya, menjadi alat pemerintah untuk mengontrol aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang izin. Pemerintah pun harus melakukan pengawasan ketat setelah memberikan izin.
Ia lantas mencontohkan dampak negatif tambang seperti yang terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Di sana, menurutnya, masyarakat harus berjibaku dengan lumpur saat hujan datang karena aktivitas tersebut.
"Sorry to take it personal, saya tinggal di Samarinda tempat ada tambang dari PBNU, di sana saya tidak tahu sudah aktif atau tidak. Bagaimana kehidupan orang-orang di sana hidup dengan lumpur ketika hujan datang dikit saja," beber Iqbal.
"Kami harus membeli air bersih lebih mahal daripada orang-orang di Jawa. Kami harus membayar listrik lebih mahal," imbuhnya.
Menurut Iqbal, potret serupa juga terjadi di Raja Ampat, tempat sejumlah tambang nikel beroperasi.
Tambang telah menciptakan masyarakat miskin premium, padahal daerahnya adalah penghasil komoditas utama yang dikeruk.
"Di Kalimantan Timur, listrik tidak masuk. Padahal mereka penghasil batubara. Ini kemiskinan yang premium, pemerintah menciptakan poverty premium. Lalu Gus bilang bahwa ada kemaslahatan," ungkap Iqbal.
Iqbal lantas bertanya-tanya bagaimana bisa hal itu disebut untuk kemaslahatan bersama jika warga di sekitar justru tidak mendapatkan apa-apa.
Ia justru menyebutnya sebagai "kutukan" sumber daya alam yang terdapat dalam salah satu teori ekonomi. Iqbal juga menilai, anggapan sumber daya alam harus selalu diekstraksi merupakan sifat kolonial.
"Bagaimana kita bisa mengorbankan orang-orang yang tinggal di lingkar tambang hanya atas nama bahwa ini ada keuntungan untuk bangsa. (Menurut saya) no mining dalam konteks ini. Karena tidak ada kemaslahatannya, sedikitpun," tandas Iqbal.
Tag: #greenpeace #beda #pandangan #dengan #pbnu #soal #tambang #evil #evil