



BMKG Analisa Penyebab Hujan di Musim Kemarau, Lima Fenomena Atmosfer Mempengaruhi
- Prediksi awal BMKG memperkirakan sebagian wilayah Indonesia memasuki musim hujan pada April Hingga Juni. Namun, hingga 9 Juni 2025 masih banyak daerah yang justru mengalami banjir akibat hujan lebat. Terdapat lima fenomena atmosfer yang mempengaruhi pembentukan awan hujan di musim kemarau. Kini BMKG memprediksi durasi musim kemarau akan lebih pendek di sejumlah wilayah, puncak musim kemarau tetap diperkirakan Juli hingga Agustus 2025.
Sesuai data BMKG, dalam sepekan terakhir, hujan dengan intensitas lebat (50-100 mm per hari) hingga sangat lebat (100-150 mm per hari) masih terjadi di Indonesia. Tercatat hujan sangat lebat di sejumlah daerah yakni, pada tanggal 2 Juni 2025 di Ambon (138.1 mm per hari), tanggal 3 Juni 2025 di Kab. Kepulauan Tanimbar (123.5 mm per hari) dan Kab. Sintang, Kalimantan Barat (106.4 mm per hari), tanggal 4 Juni 2025 di Kab. Maluku Tengah, Maluku (123.6 mm per hari).
Lalu pada tanggal 6 Juni 2025 di Kab. Ketapang (125.9 mm per hari), tanggal 7 Juni 2025 di Kab. Maluku Tengah (111.1 mm per hari), dan di Kota Ambon, Maluku (138.0 mm per hari), serta tanggal 8 Juni 2025 di Kab. Sidoarjo (114.0 mm per hari) dan di Kab. Nganjuk (101.0 mm/hari).
Direktur Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani menuturkan bahwa durasi musim kemarau diperkirakan lebih pendek di sebagian besar wilayah, meskipun sebagian kecil wilayah mengalami durasi lebih panjang dari normal. "Sejumlah fenomena atmosfer mempengaruhi terjadinya hujan sepekan terakhir sekaligus diprediksi akan mempengaruhi cuaca di wilayah Indonesia dalam sepekan kedepan," paparnya.
Hal itu dikarenakan aktifnya gelombang ekuator akibat dari lima fenomena atmosfer, yakni gelombang Kelvin, Low Frequency, dan Equatorial Rossby, adanya bibit siklon tropis 92W, serta sirkulasi siklonik yang meningkatkan peluang terbentuknya awan-awan konvektif di beberapa wilayah.
"Di sisi lain, labilitas atmosfer skala lokal, baik dari interaksi angin darat dan laut maupun dari faktor geografis lainnya, turut memperkuat proses konvektif di wilayah selatan Indonesia," ujarnya.
Faktor-faktor tersebut, lanjutnya, diperkuat dengan kondisi atmosfer yang relatif basah, dinamika tropis dan topografi di masing-masing wilayah, dapat menyebabkan hujan lokal dengan intensitas sedang hingga lebat pada siang hingga sore hari yang disertai kilat atau petir yang tidak merata dengan waktu singkat.
"Mengingat atmosfer bersifat sangat dinamis, masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem seperti hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi, meskipun beberapa wilayah telah memasuki musim kemarau," paparnya.
Menurutnya, untuk sepekan kedepan Indeks Monsun Australia diprediksi menguat. Hal itu yang mengindikasikan aliran udara kering dari Australia memasuki wilayah Indonesia dan dapat menyebabkan pengurangan hujan khususnya di wilayah Indonesia bagian Selatan. "Hal ini juga mengindikasikan terjadinya perluasan wilayah yang memasuki musim kemarau pada pekan kedua bulan Juni," paparnya.
Bibit Siklon Tropis 92W diprakirakan berada di Perairan sebelah barat Filipina, dengan tekanan udara minimum 1001 hPa dan kecepatan angin maksimum 15 knot. Bibit siklon tropis ini memberikan dampak tidak langsung terhadap kondisi cuaca di wilayah Kalimantan Utara. "Selain itu, sirkulasi siklonik terpantau di Samudra Hindia Barat daya Sumatra, dan di Samudra Pasifik Timur Laut Papua, yang membentuk daerah konvergensi memanjang di Samudra Hindia Barat daya Banten hingga Barat Daya Sumatra Barat, dan di sekitar sirkulasi siklonik," jelasnya.
Daerah konvergensi lainnya juga terpantau memanjang dari Perairan barat Aceh hingga Aceh, dari Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Tengah, dari Laut Cina Selatan hingga Laut Filipina, dari Sulawesi Selatan hingga Sulawesi tengah, di Laut Banda, dan di Papua Pegunungan. Daerah pertemuan angin (konfluensi) terpantau di Laut Arafura, di Laut Banda, di Laut Andaman, di Laut China Selatan, dan di Laut Filipina. "Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar bibit siklon tropis atau sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi atau konfluensi tersebut," urainya.
Menurutnya, untuk periode 10 Juni hingga 12 Juni 2025, BMKG memprediksi cuaca di Indonesia umumnya didominasi oleh kondisi berawan hingga hujan ringan. "Perlu diwaspadai adanya peningkatan hujan dengan intensitas sedang yang terjadi di sejumlah daerah," paparnya.
Sementara Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim, Pusat Riset Iklim, dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengatakan beberapa hari lalu dikontak petani garam dari Gresik dan sekitarnya. "Mereka menanyakan kok masih hujan. Katanya Mei sudah kemarau," kata Erma kemarin (9/6).
Erma mengatakan urusan cuaca sangat sensitif untuk petani garam. Karena setiap persiapan membuka usaha, butuh biaya yang besar. Jika tidak memperhatikan iklim, bisa berujung kerugian.
Soal masih adanya hujan lebat di Jawa Timur, dia mengatakan masih akan berlanjut dua sampai tiga hari ke depan. Diantara pemicunya adalah adanya pertemuan gelombang Kelvin dan Rossby. "Menariknya pertemuan dua gelombang ini ada di langit Jawa Timur," tuturnya.
Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab masih terjadinya hujan di Jawa Timur. Begitupun di sebagian Jawa Tengah bagian utara. Ditambah lagi dengan tekanan udara yang rendah di laut bagian utara pulau Jawa.
Erma juga menjelaskan tahun ini musim kemarau masuk kategori kemarau basah. Sehingga cuaca yang benar-benar kering hanya sebentar. Dia mengatakan paruh kedua Juli nanti, sudah kembali hujan. Jadi musim kemarau cukup singkat.
Dia menegaskan kondisi tersebut bisa disebut anomali. Namun bukan dipicu adanya gelombang elnino ataupun elnina. Menurut dia kondisi cuaca seperti itu juga bakal berpengaruh pada nelayan yang berlayar harian atau dalam tempo singkat.
Tag: #bmkg #analisa #penyebab #hujan #musim #kemarau #lima #fenomena #atmosfer #mempengaruhi