



Usulan Pemakzulan Gibran, Suara di DPR, dan Hak Suara Rakyat
SEKELOMPOK purnawirawan TNI sudah mengirim surat kepada lembaga tinggi negara, DPR dan MPR. Sebelumnya, mereka mengirim tuntutan ke Istana Negara.
Salah satunya berisi desakan agar Gibran Rakabuming Raka dilengserkan dari posisi Wakil Presiden.
Namun, sebagaimana yang sudah disampaikan, Istana bergeming, karena secara konstitusi, itu bukan wilayah mereka. Bola panas terkait pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini bergser ke DPR.
Sebagaimana diatur dalam konstitusi, pemakzulan presiden dan wakil presiden adalah proses panjang. Untuk sampai pada putusan itu, DPR dan MPR harus membuktikan bahwa Gibran, sebagai wakil presiden telah melakukan tindakan yang menjadi syarat pemakzulan, yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
Meski nantinya DPR secara politis bisa mengidentifikasi itu, keputusan tersebut harus diuji kembali di Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, proses untuk sampai kepada putusan pemakzulan Gibran, tidak sesederhana yang dibayangkan.
Namun, dalam politik kerap berlaku adagium nothing is imposible. Segala sesuatu sangat dimungkinkan terjadi, bahkan lebih mungkin dari konsep kemungkinan itu sendiri.
Pangkal soalnya karena semua aktor politik bekerja dalam dan untuk kepentingan masing-masing (dirinya, kelompoknya, partainya).
Adagium tersebut adalah DNA dari politik praktis di belahan dunia manapun. Meski koalisi pendukung Probowo-Gibran mendominasi suara di DPR, bisa saja niatan untuk memakzulkan Gibran tetap diproses.
Realitas suara DPR
Keterpilihan Gibran sebagai wakil presiden adalah satu paket dengan presiden, Prabowo Subianto. Kedua pasangan ini diusung oleh gabungan partai yang terhimpun dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Lima partai kemudian lolos ke DPR dengan raihan 280 kursi. Secara matematika politik, Gibran (dan Prabowo) memiliki dukungan sebanyak 280 suara, pada mulanya.
Kemudian, sebagaimana yang sudah kita ketahui, dinamika politik pasca-Pilpres 2024 berubah. Koalisi mendapatkan tambahan dukungan dari tiga partai politik lain: PKB, Nasdem, dan PKS.
Implikasinya dukungan suara di DPR kini menjadi bertambah. Dari yang semula 280 kursi kini menjadi 470 kursi: PKB (68 kursi), Nasdem (69 kursi), dan PKS (53 kursi).
Koalisi Indonesia Maju atau KIM kini telah menjadi KIM Plus. Secara faktual, Gibran didukung oleh 470 suara di DPR.
Jika memakai aliran positivisme, tentu proses politik di DPR akan mengalami jalan buntu. Surat permohonan pemakzulan Gibran yang dilayangkan oleh sekelompok purnawirawan TNI tersebut di atas kertas hanya mungkin mendapatkan dukungan dari 110 suara yang dimiliki PDI Perjuangan.
Itu pun, jika melihat narasi Said Abdullah, Ketua DPP PDI Perjuangan, para pengusul sudah pasti akan mengalami kekecewaan.
Pasalnya, ia mengatakan bahwa pemakzulan Gibran butuh proses panjang. Semua pihak diharapkan taat konstitusi.
Urusan DPR tidak hanya terkait isu politik saja, masih banyak agenda lain yang menjadi tantangan ke depan.
Bersamaan dengan narasi dari PDI Perjuangan, narasi partai-partai lain di DPR, sampai sejauh ini juga masih normatif – bahkan terkesan meragukan dasar pemakzulan Gibran itu.
Meski demikian, membaca realitas politik tidak bisa hanya memakai lensa hitam putih. Seolah apa yang disampaikan itulah tindakan nyata yang akan mereka kerjakan.
Pada panggung depan, narasi aktor politik kerap kali sarat akan strategi “menyesuaikan arah hembusan angin” (baca: opini publik). Jika saat ini isu pemakzulan tidak terlalu kuat hembusannya, maka narasi di depan disesuaikan.
Masalahnya, isi hati, isi pikiran, serta keinginan politisi yang sebenarnya tersimpan di panggung belakang dan hanya akan ternarasikan dengan kencang ke luar, lagi-lagi mengikuti arah angin berhembus. Ketika itu, boleh jadi usulan pemakzulan ditindaklanjuti.
Di atas kertas, pemakzulan seolah merupakan wilayah yang menjadi domain hukum. Namun, kenyataannya justru politiklah yang paling sering menentukan.
Persyaratan pemakzulan sebagaimana diatur dalam Pasal 7a konstitusi kita, bisa saja dianggap terpenuhi tergantung kekuatan argumentasi politisi dalam melakukan penafsiran dan konseptualisasi terhadap persyaratan itu.
Apalagi, hembusan angin kencang memberikan tekanan politik kepada mereka, atau searah dengan pandangan dan keinginan terdalam mereka.
Dalam buku Impeachment: What Everyone Needs to Know, Michael J. Gerhardt (2018) mengungkapkan bahwa seringkali persepsi masyarakat dan bagaimana isu pemakzulan ini diterima oleh publik juga memainkan peran besar.
Opini publik dapat memberikan tekanan signifikan pada anggota legislatif untuk bertindak atau tidak bertindak atasnya.
Alasan pemakzulan
Apapun, niatan pemakzulan yang sekarang sedang didorong oleh segelintir pihak tertentu, adalah tidak tepat.
Dengan menjadikan demokrasi sebagai kuda troya, pandangan mereka terkait pemakzulan Gibran dipandang sebagai hak setiap warga negara.
Masalahnya, tidak ada kondisi-kondisi yang menjadi syarat pemakzulan tersebut, ada dan telah dilakukan oleh Gibran.
Empat argumentasi yang menjadi alasan permintaan pemakzulan tersebut, tidak memiliki basis aktualitas, apalagi aktualitas.
Kasus “fufufafa”, dugaan korupsi Gibran-Kaesang yang dilaporkan Ubaidillah ke KPK, putusan MK, dan asumsi bahwa Gibran tidak punya kapasitas, sesungguhnya tidak punya basis legitimasi faktual. Argumentasi demikian seharusnya sudah gugur karena beberapa alasan.
Pertama, belum ada putusan hukum tetap yang mengatakan bahwa pemilik akun “Fufufafa” adalah Gibran. Begitupun, terkait pelaporan Ubaidillah di KPK.
Apapun, putusan MK tentang batas usia pencalonan presiden dan wapres, sudah menjadi putusan hukum. Untuk menggugurkannya, tentu harus melalui putusan hukum yang lain.
Artinya, pencalonan Gibran sudah sah menurut hukum, terlepas dari kontroversi yang melingkupinya.
Kedua, isu “fufufafa”, dugaan korupsi Gibran, problem kapasitas kepemimpinan Gibran, dan juga “putusan MK terkait pencalonan Gibran” merupakan isu pada level kandidasi dan election. Fase itu sudah terlewati.
Suka tidak suka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan bahwa Gibran memenuhi persyaratan sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Untuk dugaan bahwa akun media sosial “fufufafa” adalah milik Gibran, serta kasus korupsi yang dilaporkan ke KPK, mestinya ada putusan hukum yang mengikat dulu, baru melompat ke tahap pemakzulan.
Ketiga, niatan memakzulkan pemimpin nasional yang telah dipilih dengan cara demokratis, hanya karena yang bersangkutan “diduga dan dipersepsikan” oleh mereka secara berbeda, adalah kekeliruan dalam bernegara.
Ini akan menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan nasional ke depannya. Negara akan berjalan di tempat, bahkan bisa berjalan mundur kalau pemimpinnya diganggu dengan dasar argumentasi yang tidak faktual.
Di sisi lain, pemakzulan Gibran tanpa pemakzulan Prabowo juga lucu. Bukankah mereka berdua adalah dwi-tunggal?
Keempat, para pihak yang getol dalam isu pemakzulan ini, sebagaimana yang terungkap dipublik, mereka notabene ada yang merupakan mantan pendukung calon presiden dan wakil presiden lain saat Pilpres 2024.
Menjadi lucu ketika pada tahap kandidasi dan election Gibran “diterima” (misalnya, tidak ada penolakan saat debat wakil presiden), tapi setelah Gibran sudah terpilih, mereka lalu tidak mau mengakuinya.
Tentang “Hak Suara”
Pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pertarungan dengan dukungan dari 96.214.691 suara nasional.
Artinya, dari total 204.807.222 masyarakat Indonesia yang ditetapkan oleh KPU sebagai daftar pemilih, sekitar 58,59 persen masyarakat Indonesia, dari keseluruhan pemilih sah, memberikan kepercayaan kepada Prabowo-Gibran untuk memimpin bangsa ini selama lima tahun hingga 2029.
Memang tidak ada angka yang pasti, seberapa besar kontribusi Gibran dalam 58,59 persen suara, yang akhirnya memenangkan dirinya dan Prabowo.
Namun, data yang dipaparkan oleh Litbang Kompas (tersaji dalam artikel di Kompas.Id dengan judul “Mengapa Prabowo Menang, Tetapi Gerindera Kalah?”, 20/2/2024), dapat memberikan gambaran tentang hal itu.
Modal suara awal Prabowo adalah 25,4 persen. Angka ini dikalkulasikan berdasarkan keterpilihan dirinya dan pasangannya (Sandiaga Salahudin Uno) pada pemilu 2019, sebesar 44,5 persen.
Dari persentasi suara itu, sekitar 57 persennya mengalir ke Prabowo, dan sisanya 35,8 persen mengalir kepada pasangan Anies-Muhaimin).
Dengan perhitungan yang sama, Litbang Kompas juga menyampaikan data bahwa dari jumlah perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2019, sekitar 53,5 persen mengalir ke pasangan Prabowo-Gibran. Hanya 23,2 persen yang mengalir ke pasangan Ganjar-Mahfud.
Dengan memperhitungkan jumlah aliran dukungan yang didapat, eks pemilih Jokowi (sukarelawan dan Jokower) menyumbangkan sebesar 29,7 persen pada pasangan Prabowo-Gibran.
Dari data tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa sekitar 50 persen lebih (hampir 50 juta suara) dari total suara yang memilih pasangan Prabowo-Gibran, dikontribusikan oleh Jokowi yang notabene ayah dari Gibran, yang sekarang hendak dimazulkan oleh suara yang mungkin tidak sampai 500 orang.
Pertanyaannya kemudian, haruskah suara-suara “secuil” itu menggembosi 50 juta lebih suara lain yang mendukung Gibran?
Kita tentu menghargai dan sudah tentu sangat mengakui bahwa sekelompok purnawirawan TNI tersebut telah mendedikasikan hidupnya bagi negara.
Lantas, apakah karena jasa mereka itu kita mengabaikan 50 jutaan suara lain yang mendukung Gibran?
Apakah kita juga harus mengorbankan mekanisme demokrasi yang telah kita sepakati bersama, untuk menyeleksi kepemimpinan nasional?
Barangkali, dengan yakin penulis ingin mengatakan juga bahwa 50 juta lebih rakyat Indonesia yang memberikan hak suaranya kepada Gibran (anaknya Jokowi) juga sudah pasti memiliki kontribusi bagi bangsa dan negara ini.
Mereka adalah pengusaha, pendidik, budayawan, seniman, aktor, petani, nelayan, buruh, dan sebagainya.
Siapa yang bisa menyangsikan kontribusi dari anak-anak bangsa itu, bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia tercinta ini?
Dalam demokrasi elektoral, satu suara dari seorang petani sama berharganya dengan suara dari seorang purnawirawan TNI. Suka atau tidak suka, inilah demokrasi yang kita sepakati bersama. Semua dari kita, punya “hak suara” yang sama.