Penayangan Kembali Film 'G30S/PKI' adalah Cara Ampuh Melupakan Sejarah Indonesia Sekaligus Merusak Demokrasi
Hari Kesaktian Pancasila adalah hari berkabung untuk mengenang peristiwa G30S PKI. (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kulon Progo)
07:48
30 September 2024

Penayangan Kembali Film 'G30S/PKI' adalah Cara Ampuh Melupakan Sejarah Indonesia Sekaligus Merusak Demokrasi

Film propaganda Orde Baru yakni film G30S/PKI dicabut penayangan wajibnya di televisi nasional pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie. Pencabutan penayangan film G30S/PKI dilakukan oleh Menteri Penerangan RI, Muhammad Yunus Yosfiah dengan alasan film tersebut bertolak belakang dengan semangat reformasi 1998, dikutip dari kontras.org, pada Minggu, (29/30).

Ironisnya, film propaganda kekerasan rezim Orde Baru itu ditayangkan kembali di sejumlah televisi nasional pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Alasan utama yang berserakan di media sosial dan mesin pencari digital mengenai penayangan ulang film G30S/PKI bertujuan untuk mendekatkan sejarah bangsa dengan masyarakat umum.

Alih-alih mendekatkan sejarah nasional kepada masyarakat umum, penayangan kembali film G30S/PKI adalah cara ampuh untuk melupakan sejarah bangsa Indonesia secara kompleks dan kritis. Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2018) mengatakan bahwa bangsa Indonesia mengalami amnesia sejarah yang serius.

Penyebab bangsa Indonesia mengalami amnesia secara kronis adalah dihapusnya aspek-aspek rumit dan tak menyenangkan dari penulisan sejarah Indonesia. Film G30S/PKI adalah salah satu bukti lenyapnya kerumitan sosial dan politik baik secara lokal maupun global. Melalui film ini, Orde Baru mereduksi kompleksitas sejarah genosida 1965 menjadi sebatas dikotomis moral.

Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2014) mengatakan bahwa sejak 1984-1997 Orde Baru mewajibkan penayangan film G30S/PKI sebagai ritual untuk mengingatkan rakyat atas tugas suci militer dan kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Motif dari pereduksian sejarah genosida 1965 adalah guna memperoleh legitimasi kekuasaan represif dan eksploitatif rezim Orde Baru.

Johan Galtung dalam Cultural Violence (1990) mengatakan kekerasan budaya adalah simbolisasi politik kekerasan lewat budaya guna mendapatkan legitimasi politik. Dengan demikian, film produksi PPFN adalah medium kekerasan budaya oleh rezim Orde Baru guna mendapatkan legitimasi politik dari publik dan menormalisasi kekerasan sebagai wujud dari kepahlawanan militer pasca genosida 1965.

Dampak dari politik kekerasan budaya lewat film G30S/PKI adalah berkembangnya sikap kepicikan historis dalam benak masyarakat sipil karena sulit memahami kompleksitas dalam historisitas maupun aktualitas. Alhasil, penayangan kembali film propaganda ini termasuk sebagai kontribusi dalam perusakan demokrasi di Indonesia karena berperan memberangus penalaran publik secara kompleks. Sebagai contoh, seringkali masyarakat memandang konflik antara Israel dan Palestina sebagai konflik agama, bukan masalah penjajahan.

Pandangan serupa juga diutarakan oleh Kontras bahwa penayangan kembali film produksi PPFN adalah tindakan kontraproduktif dengan semangat reformasi Indonesia yaitu mengakhiri rezim Orde Baru yang otoriter dan menggantinya dengan sistem demokrasi dan mengedepankan Ham. Selain itu, Kontras mengingatkan KPI bahwa penayangan kembali film G30S/PKI melanggar peraturan KPI No. 2/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.

Oleh sebab itu, Kontras mendesak KPI untuk menghimbau dan melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh stasiun televisi di Indonesia agar tidak menayangkan kembali film propaganda yang cacat secara hukum, sejarah dan Ham. Kontras juga mendesak stasiun televisi untuk tidak menayangkan kembali film tersebut.

Pada akhirnya, mempelajari sejarah melalui film, apalagi film propaganda adalah kekeliruan fatal, karena film sebagai produk budaya populer memotret peristiwa sejarah secara partikular, tidak bebas nilai politik, dan fiksi. Wijaya Herlambang mengutip Arifin C. Noer dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 bahwa film, khususnya film propaganda Orde Baru adalah fiksi belaka yang memanfaatkan sejarah sebagai latarnya dengan menekankan ekspresi artistik daripada data atau fakta sejarah secara kritis dan kompleks.

Editor: Banu Adikara

Tag:  #penayangan #kembali #film #g30spki #adalah #cara #ampuh #melupakan #sejarah #indonesia #sekaligus #merusak #demokrasi

KOMENTAR