Teror dan Intimidasi Hantui Warga Bara-Baraya Makassar, Ronda Malam Dilakukan Antisipasi Eksekusi Paksa
Sejumlah Warga Bara-Baraya, Makassar, mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan fatwa penghentian eksekusi atas tanah yang mereka tempati sejak puluhan tahun lalu. (Suara.com/Kayla Nathaniel Bilbina)
16:40
11 Februari 2025

Teror dan Intimidasi Hantui Warga Bara-Baraya Makassar, Ronda Malam Dilakukan Antisipasi Eksekusi Paksa

Konflik sengketa tanah di Bara-Baraya, Makassar, yang telah berlangsung sejak 2016 diwarnai dugaan intervensi pihak-pihak yang memiliki relasi kekuasaan.

Diketahui, konflik ini berawal dari munculnya klaim kepemilikan tanah oleh ahli waris yang menggunakan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4 yang baru diterbitkan pada 2016.

Sebaliknya, warga Bara-Baraya menyatakan telah menempati dan membeli lahan tersebut secara sah sejak 1950-an berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) yang diterbitkan pemerintah setempat.

Saat ini, warga masih terancam menghadapi eksekusi paksa yang dapat menyebabkan sekitar 196 orang kehilangan tempat tinggal.

Salah satu warga Bara-Baraya, Fiki, mengungkapkan bahwa sejak awal polemik ini berlangsung, telah terjadi intervensi pihak-pihak yang memiliki relasi kekuasaan.

Kondisi tersebut membuat warga menghadapi berbagai kesulitan dalam memperjuangkan hak tanah yang telah ditempati selama puluhan tahun.

"Sejak awal memang ada intervensi dari pihak yang memiliki relasi kuasa, misalnya Pangdam Hasanuddin. Mereka meneror warga untuk mengklaim bahwa tanah yang ditempati warga adalah aset Kodam yang harus dikembalikan ke ahli waris yang bersengketa dengan kami," ujarnya saat ditemui Suara.com di depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2025).

Fiki menjelaskan bahwa warga memiliki bukti sah berupa Akta Jual Beli (AJB) yang dikeluarkan oleh pemerintah kecamatan dan kelurahan pada 1950-an hingga 1960-an.

Namun, pengadilan menyatakan AJB tersebut tidak sah dan justru mengesahkan sertifikat tanah yang baru terbit pada 2016.

"Putusan pengadilan mengatakan AJB kami tidak sah. Yang sah itu malah sertifikat yang baru terbit pada 2016. Kami tidak tahu bagaimana sertifikat itu bisa muncul sementara kami sudah tinggal dan memiliki bukti jual beli sejak puluhan tahun lalu," jelasnya.

Fiki bahkan menyebut sertifikat tersebut sebagai "sertifikat siluman" yang menjadi dasar kemenangan pihak ahli waris dalam persidangan.

Ancaman eksekusi lahan sendiri menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang besar bagi warga Bara-Baraya.

Selain itu Fiki mengungkapkan bahwa rasa teror dan intimidasi menghantui warga, termasuk anak-anak yang terganggu aktivitas pendidikannya.

"Kami merasa terancam, diteror, dan terintimidasi. Anak-anak yang bersekolah juga terganggu," katanya.

Selain itu ia menyebut perempuan dan ibu-ibu di daerah tersebut juga mengalami tekanan psikologis akibat situasi yang tidak menentu.

Bahkan, warga terpaksa hingga harus berjaga-jaga setiap malam guna mengantisipasi eksekusi mendadak.

"Setiap malam harus ronda, jangan sampai ada tiba tiba eksekusi. Di sisi lain kami harus bekerja, tapi kami juga harus berjaga jaga, jangan sampai tiba-tiba penggusur dan mafia tanah masuk menggusur tanah kami, rumah kami,” pungkasnya.

Sebelumnya warga Bara-Baraya mendesak Mahkamah Agung untuk segera mengeluarkan fatwa penghentian eksekusi.

Warga Bara-Baraya berharap keputusan tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan melindungi mereka dari ancaman kehilangan tempat tinggal yang telah dihuni selama puluhan tahun.

Reporter: Kayla Nathaniel Bilbina

Editor: Dwi Bowo Raharjo

Tag:  #teror #intimidasi #hantui #warga #bara #baraya #makassar #ronda #malam #dilakukan #antisipasi #eksekusi #paksa

KOMENTAR