“Political Recalling” DPR Gagasan Keblinger
DPR menambah kewenangan kelembagaannya sendiri. “Political recalling” diperkenalkan melalui Tata Tertib DPR.
Dalam Tatib itu, DPR memberi hak kepada dirinya sendiri untuk mengevaluasi pejabat yang diproses melalui uji kelayakan dan kepatutan DPR.
Evaluasi adalah bagian dari tugas DPR. Namun, evaluasi yang bisa berujung pada “political recalling” bisa menimbulkan masalah.
Gagasan DPR itu keblinger. Entah apa yang terjadi pada saat DPR menyusun perubahan Tatib DPR.
Anggota Baleg DPR, Firman Subagyo dari Fraksi Partai Golkar seperti dikutip Kompas, 7 Februari 2025, tidak sependapat dengan penambahan kewenangan DPR melalui Tatib.
“Dari tata urutan perundang-undangan Tatib DPR tidak termasuk urutan hierarki yang mengikat,” kata Firman.
Anggota Baleg lain yang dalam pembahasan menolak keras dimasukkannya pasal evaluasi pada tatib DPR, menolak berbicara untuk dikutip.
Resistensi internal dari dalam tubuh Baleg memang memunculkan tanya. Ada apa di balik penambahan pasal evaluasi yang bisa berujung rekomendasi mengikat dari Komisi DPR yang harus ditindaklanjuti?
Seorang komisioner ngobrol dengan saya pada Jumat pagi. Ia mengatakan, pasal evaluasi dan rekomendasi akan menjadi senjata baru untuk negosiasi.
“Menjadi alat ancam bahwa kami bisa mencopot kalian,” ujarnya.
Kalau dalam teori regresi demokrasi Nancy Bermeo menyebut pemusatan kekuasaan eksekutif (executive aggrandizement), revisi Tatib DPR itu mengarah pada “legislative aggrandizement” atau pemusatan kekuasaan pada parlemen.
Pemusatan itu ditambahkan bukan melalui undang-undang, melainkan pada Peraturan tata Tertib DPR. Tatib DPR itu sifatnya internal untuk DPR.
Namun, menurut seorang ahli lainnya, langkah penambahan kewenangan evaluasi-rekomendasi DPR, sebenarnya hanyalah ekstensi dari corak pemerintahan yang mengarah pada otoriteriarian. Publik bisa membaca DPR dan pemerintahan dalam satu kontrol yang sama.
Situasi itu direspons Ketua Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKM) Prof Dr Dewa Gede Palguna.
“Cukup mahasiswa semester tiga yang jawab pertanyaan ini. Dari mana ilmunya ada tatib bisa mengikat keluar. Masak DPR nggak ngerti teori hierarki dan kekuatan mengingat norma hukum,” kata Palguna sebagai dikutip sejumlah media.
Dalam Revisi Peraturan DPR No 1/2020 tentang Tata Tertib DPR disisipkan pasal 228A ayat (1).
“Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud pasal 222 ayat 2, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.”
Dan pada ayat 2, “Hasil evaluasi bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada Pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti dengan mekanisme yang berlaku.”
Gagasan Baleg DPR untuk menambahkan kewenangan DPR melakukan “recall” pejabat jelas keblinger. Usulan itu bisa merusak tatanan kenegaraan.
Dalam sistem demokrasi “dol-tinuku” dalam bahasa saya, “demokrasi for sale” menurut Aspinal dan Ward Berenchot (2019), demokrasi cukong dalam bahasa Syarif Hidayat (2022), menambahan hak “recall” itu berbahaya.
Hampir semua orang yang ingin menjadi elite di negeri ini, melalui uji kelayakan dan kepatutan DPR, kecuali menteri dan presiden yang bebas dari uji kelayakan dan kepatutan DPR. Proses “recalling” bisa menjadi sarana negosiasi.
Anggota DPR sendiri tidak pernah melalui uji kelayakan dan kepatutan dari rakyat yang memilihnya. Akan lebih berimbang jika rakyat di daerah pemilihan bisa me-recall jika anggota DPR yang tidak pernah mempertimbangkan aspirasi dari daerah pemilihannya.
Bahkan ketika anggota DPR itu tak pernah bersuara apa-apa terhadap nasib rakyat. Bahkan, anggota DPR yang tak pernah datang ke daerah pemilihannya.
Di harian Kompas ditulis judul besar: DPR bisa copot hakim MK hingga Pimpinan KPK.
Preseden DPR pernah terjadi saat Komisi III DPR mencopot hakim konstitusi Aswanto. Alasannya: hakim Aswanto yang diusulkan DPR, tidak “nurut” pada DPR ketika hakim Aswanto ikut membatalkan UU Cipta Kerja.
Konstruksi DPR waktu itu: sebagai pemegang saham DPR kecewa dengan CEO Perusahaan (hakim konstitusi Aswanto) yang tidak mengikuti keinginan pemegang saham. Komisi III kemudian mengganti Aswanto dengan Guntur Hamzah.
Logika yang dibangun DPR kuranglah tepat. Kehadiran tiga hakim konstitusi yang diusulkan DPR bukanlah kepanjangan tangan DPR atau proksi DPR di MK.
Kecelakan sejarah itu rasanya mau dilegitimasi melalui Peratutan Tata Tertib DPR dengan diksi “evaluasi”.
Sayangnya: tidak jelas ukuran dan indikator seorang pejabat untuk dievaluasi oleh anggota DPR.
Apa indikatornya? Apakah karena kebijakan yang diambil pejabat itu tak sesuai dengan keinginan DPR?
Atau pejabat tak menurut keinginan DPR untuk meningkatkan besarnya “dana relasi DPR” yang hampir ada di sejumlah lembaga.
Dalam kasus dugaan penyaluran CSR Bank Indonesia ke DPR, misalnya?
Gejala ini menarik karena pihak KPK “meralat” pengumuman tersangka. Pasal “evaluasi-rekomendasi” bisa saja digunakan sebagai senjata DPR untuk mengontrol penegakan hukum yang tengah dijalankan KPK.
Pasal evaluasi-rekomendasi bisa digunakan kepada Pimpinan KPK maupun Gubernur BI untuk mengarahkan penegakan hukum “terpimpin”.
Dengan revisi Peraturan Tata Tertib DPR: DPR bisa mengevaluasi Kapolri, mengevaluasi Panglima TNI, mengevaluasi hakim konstitusi, mengevaluasi hakim agung, dan komisioner KPK, dan pejabat lainnya.
Gagasan DPR untuk mengevaluasi hakim konstitusi sudah pernah terdengar. Namun, jalurnya melalui revisi UU MK.
Pada era tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD men-deadlock-an pembahasan revisi UU MK. Apakah karena dead-lock di UU MK, DPR menggunakan aturan internalnya sendiri untuk mengevaluasi pejabat lain?
Pertanyannya, apakah bisa aturan internal bisa menjerat pihak di luar? Itulah yang menjadi pertanyaan.
Namun, sebelum menambah kewenangan pada lembaganya, DPR perlu merefleksikan dirinya. DPR itu siapa? Pimpinan DPR kan? Badan Musyawarah DPR kah? Atau seluruh anggota DPR?
Sudahkah setiap keputusan DPR melibatkan seluruh anggota DPR? Melalui musyawarah mufakat atau voting?
Bukankah konsensus dan voting adalah mekanisme sah dalam pengambilan keputusan? Apakah DPR pernah merumuskan mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh anggota DPR?
Apakah pengambilan keputusan hanya berdasar pemandangan umum fraksi dan selesai dengan ketokan palu? Kalau revisi Tatib itu disetujui: berapa anggota DPR yang setuju, berapa yang tidak setuju?
Fenomena itu menunjukkan posisi negeri berada di simpang jalan. Di antara supremasi politik atau supremasi konstitusi?
Problem paling besar soal hak mengevaluasi-rekomendasi yang bisa berujung pada recalling, adalah jika menyentuh kekuasaan kehakiman. Prinsip dasar kekuasaan kehakiman adalah kemandirian, termasuk kemandirian terhadap kekuasaan eksekutif maupun politik.
Ada beberapa problem pada langkah DPR menambah kewenangannya untuk me-recall pejabat.
Pertama, Tatib DPR hanyalah untuk urusan internal DPR dan tidak mengikat pihak lain. Kedua, kewenangan DPR me-recall pejabat yang dipilih melalui DPR melalui fit and proper test, adalah melanggar undang-undang dan konstitusi.
Ketiga, hak mengevaluasi-rekomendasi bisa menjadi sarana negosiasi dan bertransaksi untuk mengeluarkan dan memasukkan orang.
Dan, keempat hak me-recall membuyarkan prinsip pembagian kekuasaan dan prinsip negara hukum.
Gagasan negara hukum (rule of law) punya akar sejarah panjang. Filsuf Aristoteles (384-322 SM) menulis, “hukum untuk memerintah”. “Punggawa hukum pun harus tunduk pada hukum”.
John Locke memperingatkan “di mana hukum berakhir di situ tirani bermula.” Hukumlah yang memerintah, bukan manusia.
Langkah DPR mengotak-atik hukum adalah ancaman terhadap eksistensi negara hukum
Selayaknya, Yang Terhormat anggota DPR mengesampingkan niatnya untuk menambahkan hak melakukan “political recalling” dan lebih mendengarkan suara rakyat dan suara tuntutan reformasi 1998.