Kasus Vina Cirebon, Pakar Hukum Pidana Tegaskan Mekanisme PK Jangan Dilihat Sebagai Hal yang Tidak Penting dan Harus Terus Didukung Demi Keadilan
Beredar foto sahabat Vina Cirebon, Linda sedang merangkul Egi. (Istimewa)
13:56
23 September 2024

Kasus Vina Cirebon, Pakar Hukum Pidana Tegaskan Mekanisme PK Jangan Dilihat Sebagai Hal yang Tidak Penting dan Harus Terus Didukung Demi Keadilan

 Sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Vina Cirebon tengah bergulir setelah peristiwa pembunuhan sadis tahun 2016 yang telah lama terlupakan itu kembali mencuat beberapa bulan belakangan ini.

Mengomentari proses yang tengah berjalan tersebut, pakar hukum pidana Boris Tampubolon dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa mekanisme PK tidak bisa dipandang sebagai hal yang tidak penting.

"Ini justru sangat penting, karena bisa memperbaiki bila ada yang keliru. Ini harus didukung," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima.

Menurut Boris, secara historis, mekanisme PK tidak bisa dilepaskan dari kasus Sengkon dan Karta, dua petani yang pernah dijebloskan ke penjara karena dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan di Desa Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat pada 1974.

Sejarah mencatat bahwa Sengkon dan Karta terus melakukan perlawanan terhadap tuduhan pada mereka akibat sistem peradilan yang tidak sempurna. Pada 1981, kebenaran akhirnya terungkap bahwa pelaku perampokan dan pembunuhan itu bukanlah Sengkon dan Karta.

Penyelidikan ulang pun akhirnya dilakukan setelah seorang narapidana mengakui bahwa dialah pelaku yang sebenarnya. Kasus salah tangkap ini kemudian menjadi pencetus dari kelahiran mekanisme PK.

"Mereka dua orang yang menjadi terpidana, padahal mereka korban salah tangkap. Tidak bersalah. Upaya hukum luar biasa ini (PK) bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran material," ujar Boris.

Dalam kasus Vina, lanjut Boris, ada dua alasan hukum yang kuat mengapa para terpidana tidak bersalah bisa dibebaskan dari penjara. "Pertama, alasan adanya keadaan atau fakta baru. Atau biasa disebut novum. Novum ini yang harus dipertimbangkan oleh Majelis PK Mahkamah Agung," katanya.

Kedua, lanjut Boris, adalah adanya kekhilafan atau kekeliruan Hakim. "Kekhilafan ini tekait 4 hal. Pertama, fakta. Kedua, hukumnya atau pasal-pasal yang dituduhkan. Ketiga adalah niat jahat dan keempat prosedur hukum acaranya, baik segi pembuktian, cara memperoleh alat bukti, pelanggaran hukum acara dan sebagainya," katanya.

Ia mencontohkan, misalnya kekeliruan dari segi prosedur hukum acara.

"Di KUHAP bilang keterangan saksi sebagai alat bukti itu adalah keterangan yang diberikan di depan sidang dan dibawah sumpah. Sementara ada saksi yang tidak dihadirkan tapi keterangannya cuma diambil dari BAP. Harusnya bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian. Jadi kalau orang dipersalahkan dengan dasar keterangan yang dari BAP itu maka itu tidak bisa. Dan bila itu terjadi, maka itu kekeliruan nyata," katanya.

"Atau di KUHAP menyatakan saksi-saksi itu harus memberikan keterangan secara bebas, ternyata faktanya keterangan itu tidak diberikan secara bebas, tapi diarahkan bahkan ada yang ditekan diancam, atau bahkan disiksa, maka itu semua tidak sah. Tidak bisa dijadikan sebagai dasar atau bukti menyatakan seseorang bersalah. Artinya bila keterangan yang diberikan tidak secara bebas tersebut dijadikan dasar, maka itu merupakan kekeliruan yang nyata," tutupnya.

Editor: Banu Adikara

Tag:  #kasus #vina #cirebon #pakar #hukum #pidana #tegaskan #mekanisme #jangan #dilihat #sebagai #yang #tidak #penting #harus #terus #didukung #demi #keadilan

KOMENTAR