![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Kasus Pagar Laut Tangerang, Pengamat Tegaskan Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta Bukan Asumsi](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/08/jawapos/kasus-pagar-laut-tangerang-pengamat-tegaskan-penegakan-hukum-harus-berbasis-fakta-bukan-asumsi-1161036.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Kasus Pagar Laut Tangerang, Pengamat Tegaskan Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta Bukan Asumsi
–Pengamat hukum dan politik Pieter Zulkifli berharap penegakan hukum terhadap kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten, harus berbasis fakta dan data. Jadi bukan sekadar asumsi atau tekanan politik semata.
Pasalnya, sambung dia, legalitas sertifikat tanah di wilayah perairan seharusnya ditangani dengan pendekatan regulasi yang jelas. Sebab, kasus tersebut bukan hanya persoalan administrasi pertanahan.
”Ketika lembaga penegak hukum bertindak atas dasar asumsi tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan semakin terkikis,” kata Pieter seperti dilansir dari Antara, Sabtu (8/2).
Mantan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut menuturkan, dalam perjalanan kasus itu, beredar surat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang meminta data penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Desa Kohod, Tangerang. Surat tersebut, diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan sertifikat yang ramai diperbincangkan setelah kasus pagar laut mencuat.
Pieter mengingatkan agar Kejagung tidak tergesa-gesa berasumsi adanya tindak korupsi dalam kasus itu tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam. Jika dugaan tersebut tidak berdasar, konsekuensinya bukan hanya hanya mencederai kredibilitas institusi hukum, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak luas.
Dia mengungkapkan berdasar Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960, hak atas tanah tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga mencakup wilayah perairan atau perbatasan pesisir.
Proses pengajuan hak itu, sambung dia, bahkan harus melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Selain itu, dalam pasal 1 angka (7) PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah, disebutkan bahwa perizinan terkait kegiatan yang memanfaatkan ruang laut merupakan legalitas yang diberikan kepada badan usaha atau masyarakat untuk menjalankan usahanya di wilayah perairan pesisir dan laut.
Dengan demikian, kata Pieter, secara yuridis tanah di bawah air memang dapat disertifikatkan. Sehingga, proses hukum dalam kasus pagar laut harus mengikuti kerangka regulasi tersebut, bukan didasarkan pada asumsi semata.
Untuk itu, dia berharap agar kejaksaan bekerja secara profesional dan transparan, tanpa intervensi politik atau kepentingan tertentu. Kejaksaan,
harus membuktikan pelanggaran hukum dengan bukti dan fakta, bukan dugaan yang dikhawatirkan merugikan banyak pihak.
Di sisi lain, dia berpendapat agar pemerintah mempertimbangkan dampak terhadap iklim investasi di Indonesia atas penanganan kasus tersebut. Program Investasi Nasional bisa terganggu jika para pejabat yang bertanggung jawab tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap regulasi yang berlaku.
”Transparansi dan profesionalisme dalam penyelidikan merupakan kunci utama untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa merugikan kepentingan nasional,” tandas Pieter Zulkifli.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (31/1), membenarkan bahwa penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengirimkan surat kepada Kepala Desa Kohod. Isinya permintaan bantuan agar bisa memberikan buku Letter C Desa Kohod terkait kepemilikan atas hak di area pemasangan pagar laut.
Di dalam surat tersebut, tertulis bahwa permintaan bantuan itu dalam rangka penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan kepemilikan hak atas tanah berupa SHGB dan SHM di wilayah perairan laut Tangerang, Banten, selama 2023-2024.
”Ya, surat yang beredar itu surat dari kami. Saya sudah konfirmasi ke teman-teman di Pidsus,” terang Harli Siregar.
Dia mengatakan, dalam proses penyelidikan, Kejagung hanya mengumpulkan data dan keterangan. Meskipun tengah melakukan penyelidikan, Kejaksaan tetap mendahulukan kementerian/lembaga dalam hal pemeriksaan pendahuluan.
Tag: #kasus #pagar #laut #tangerang #pengamat #tegaskan #penegakan #hukum #harus #berbasis #fakta #bukan #asumsi