Mengapa Revisi Tatib DPR Menuai Kritikan?
Ilustrasi Gedung DPR RI(KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)
07:02
7 Februari 2025

Mengapa Revisi Tatib DPR Menuai Kritikan?

- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kini memiliki ruang untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

Pejabat-pejabat yang bisa dievaluasi antara lain Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), hingga hakim Mahkamah Agung (MA).

Aturan apa yang mengatur hal itu?

Aturan yang memungkinkan DPR memiliki wewenang adalah dengan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Revisi kilat ini telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan, revisi ini memberi DPR ruang untuk meninjau kembali kinerja pejabat yang telah mereka tetapkan dalam rapat paripurna.

"Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian. Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR," ujar Bob Hasan, di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).

Bob menegaskan bahwa hasil evaluasi ini bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian bagi pejabat yang dianggap tidak menunjukkan kinerja optimal.

"Iya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR itu. Itu kan pejabat yang berwenang, mekanisme yang berlaku itu kan pejabat yang berwenang, ya kan," kata Bob.

Namun terbaru, Wakil Ketua Baleg DPR Martin Manurung membantah anggapan bahwa DPR bisa langsung mencopot pejabat negara lewat revisi tata tertib.

"Bukan DPR mencopot yang bersangkutan, enggak lah," ujar Martin saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).

Bagaimana prosedur mengusulkan pemberhentian?

Martin menjelaskan, usulan pemberhentian pejabat negara yang mengikuti uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) adalah melalui komisi terkait.

Nantinya, komisi terkait akan mengusulkan pejabat yang dievaluasi kepada pimpinan DPR terlebih dahulu. Setelah itu, pimpinan DPR mengajukan kepada pemerintah.

Dia menyebut DPR hanya bisa mengajukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali pejabat yang kinerjanya layak dievaluasi.

"Ya enggak bisa dong. Tapi DPR bisa menilai bahwa yang bersangkutan misalnya layak untuk ditinjau kembali gitu lho. Bukan berarti langsung kemudian DPR mencopot," imbuh Martin.

Sampai di mana batasan kewenangan tersebut?

Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, DPR tetap memiliki batasan dalam kewenangan. Sebab, rekomendasi pencopotan perlu diajukan ke pemerintah.

Meski diajukan, kata Dasco, keputusan untuk memberhentikan tetap di tangan pemerintah.

Dasco lantas memberi contoh kasus yang membuat DPR merekomendasikan pemberhentian pejabat. Misalnya ketika seorang pejabat sakit-sakitan sehingga tidak bekerja optimal.

"Misal nih, ada di satu lembaga yang dia sudah 25 tahun menjabat di situ, tetapi pensiunnya umur 70, tapi dia sakit-sakitan. Kemudian kinerjanya jadi kurang, sementara kalau hasil evaluasinya itu bisa digantikan yang lebih baru. Kan kenapa enggak?" ujar Dasco kepada Kompas.com, Kamis (6/2/2025).

Politikus Partai Gerindra ini mengamini bahwa pejabat negara tidak dipilih secara sepihak oleh DPR.

Maka dari itu, Dasco menekankan bahwa DPR tidak bisa mencopot seorang pejabat negara yang mengikuti proses fit and proper test di DPR.

Dasco pun menganggap hal itu sebagai tuduhan yang berlebihan.

Dengan demikian, Dasco berpendapat bahwa terlalu berlebihan jika ada anggapan DPR ingin menyamai kekuasaan presiden.

"Kalau di undang-undang mungkin kita boleh dicurigai mau ini mau itu, ini kan cuma peraturan tata tertib," tandasnya.

Bagaimana reaksi lembaga dan publik?

Revisi tata tertib menuai reaksi negatif di publik. Kritik dilontarkan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna.

Palguna menilai DPR tidak ingin Indonesia tegak di atas hukum Undang-Undang Dasar 1945 jika membuat aturan tata tertib yang bisa mengikat keluar.

Dia mengatakan, DPR seharusnya bisa mengerti hierarki dan beragam kekuatan yang mengikat dalam norma hukum.

"Jika mereka mengerti tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945) tetapi di atas hukum yang mereka suka dan mau, dan mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini, bos," kata Palguna, saat dihubungi melalui pesan singkat, Rabu (5/2/2025).

Palguna juga mempertanyakan pengetahuan hukum para anggota Dewan yang seharusnya mengerti tata tertib berlaku untuk internal DPR, bukan mengikat keluar institusi pemilik tata tertib.

"Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab. Cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tata tertib bisa mengikat keluar? Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances?" imbuh dia.

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, tata tertib yang direvisi DPR ini menyalahi kewenangannya sebagai lembaga pengawas.

Sebab, penunjukan Kapolri merupakan hak prerogatif presiden.

"Mencopot atau mengganti Kapolri atau Panglima TNI tetap hak prerogatif Presiden," ujar Bambang, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (6/2/2025).

Bambang mengatakan, DPR hanya berwenang untuk mengawasi kinerja Polri dan TNI.

Jika Polri atau TNI melakukan kesalahan atau ada kinerjanya yang dipertanyakan, DPR bisa meminta penjelasan ini kepada institusi terkait.

Namun, pencopotan dan penunjukan pimpinan baru tetap menjadi kewenangan presiden.

"Tidak mungkin DPR bisa mencopot Kapolri atau Panglima TNI. Kewenangan DPR hanya sebatas melakukan pengawasan pada kebijakan yang diambil Kapolri atau Panglima TNI," imbuh dia.

Editor: Fika Nurul Ulya

Tag:  #mengapa #revisi #tatib #menuai #kritikan

KOMENTAR