Kontroversi Fufufafa dan Gibran Rakabuming: Pertanda bahwa Politik dan Demokrasi Indonesia berbasis Sentimentalitas, makanya Rasis dan Misoginis
Ilustrasi: Akun Kaskus Fufufafa yang diduga punya Gibran Rakabuming kedapatan menghapus banyak posting-annya. (Platform X).
17:08
12 September 2024

Kontroversi Fufufafa dan Gibran Rakabuming: Pertanda bahwa Politik dan Demokrasi Indonesia berbasis Sentimentalitas, makanya Rasis dan Misoginis

Selama sepekan ini, netizen media sosial mulai dari X, Facebook, Instagram, dan Tiktok dikejutkan oleh akun Fufufafa. Pasalnya, akun Kaskus Fufufafa bersifat kontroversial karena kerap melontarkan komentar-komentar bersifat ad hominem, misoginis dan rasis.

Sebagai contoh, fufufafa melecehkan perceraian antara Prabowo Subianto dengan Titiek Soeharto.

Netizen X dengan ketangkasan dan kekritisannya menganalisis bahwa akun Kaskus Fufufafa adalah milik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden RI Joko Widodo yang notabene menjadi Wakil Presiden RI Terpilih mendampingi Prabowo Subianto.

Dengan adanya dugaan Gibran Rakabuming sebagai pemilik Fufufafa, maka opini publik semakin liar dengan realitas politik hari ini.

Meski demikian, Gibran masih bungkam dengan dengan kontroversi Fufufafa. Alih-alih membantah atau mengafirmasi bahwa akun Fufufafa adalah miliknya, ia malah bersikap ambigu terhadap kontroversi itu.

"Lha embuh, takono sing duwe akun.(Nggak tahu, tanya ke yang punya akun)," kata Gibran Rakabuming yang dicecar awak media saat mengunjungi Kelurahan Sondakan, laweyan, Solo, pada Selasa (10/9) lalu.

Terlepas dari itu, kontroversi Fufufafa dan Gibran Rakabuming menyadarkan publik bahwa pada dasarnya politik dan demokrasi Indonesia hari-hari ini berbasis pada sentimentalitas. Fufufafa adalah simbol normalisasi brutalitas verbal dalam ruang publik. Oleh sebab itu, opini dengan sifat ad hominem, misoginis dan rasis eksis secara normatif dan masif.

F. Budi Hardiman dalam Demokrasi dan Sentimentalitas (2018) mengatakan bahwa sentimentalitas adalah rasa komunitas isolatif sehingga minim penalaran dan intelektualitas. Selanjutnya, F. Budi Hardiman mengatakan bahwa sentimentalitas adalah kanopi dari brutalitas.

Oleh sebab itu, komentar dan opini dengan sifat ad hominem, misoginis, dan rasis kerap dilontarkan oleh para pendengung (buzzer) dan kelompok fanatis subyek atau identitas politik partikular. Sebagai contoh, sekitar 4 tahun yang lalu Ambroncius Nababan menyamakan Natalius Pigai dengan gorila melalui media foto karena menolak vaksinasi Covid-19.

Herry Priyono dalam Menyelamatkan Ruang Publik (2010) menuturkan, perspektif budaya ruang publik berpijak pada paradigma, etika, wacana, dan corak keberadaban. Artinya, media sosial sebagai bagian dari ruang publik harus berpijak pada intelektualitas agar tercipta suasana keberadaban.



Dengan tersingkapnya kontroversi Fufufafa ke ruang publik, maka ini menjadi pertanda kepada masyarakat, khususnya netizen untuk meninggalkan sentimentalitas. Masyarakat sipil perlu kembali kepada intelektualitas untuk membangun kembali politik secara beradab.

Soedjatmoko dalam Etika Pembebasan (1984) mengatakan, sejarah adalah suatu alat utama untuk manusia dan bangsa guna menyadari diri dan menghadapi masa depan dalam kebebasan dan etika. Dengan demikian, kembali kepada sejarah bangsa Indonesia adalah pergulatan etis masyarakat untuk mencari nilai-nilai intelektual pada Ibu dan Bapak bangsa.

Editor: Banu Adikara

Tag:  #kontroversi #fufufafa #gibran #rakabuming #pertanda #bahwa #politik #demokrasi #indonesia #berbasis #sentimentalitas #makanya #rasis #misoginis

KOMENTAR