Pawai HTI dan Ujian Pemerintahan Prabowo
Massa Aksi Bela Tauhid melakukan aksi unjuk rasa di sekitaran patung Kuda Arjuna Wijaya hingga depan kantor Kemenkopolhukam di Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018). Demo bertajuk Aksi Bela Tauhid ini merupakan respons atas pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilakukan oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU di Garut, pada Senin lalu.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
12:46
3 Februari 2025

Pawai HTI dan Ujian Pemerintahan Prabowo

AKSI solidaritas "Bela Palestina" yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia pada 2 Februari 2025, menandai ekspresi kepedulian masyarakat terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Namun, di balik aksi ini, muncul fenomena yang menimbulkan perdebatan luas, yakni pengibaran bendera yang identik dengan simbol Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah sejak 2017.

Fenomena ini menciptakan polemik mengenai bagaimana simbol keagamaan digunakan dalam konteks politik domestik.

Para pengibar bendera dalam aksi ini mengklaim bahwa bendera tersebut adalah “bendera tauhid,” yang mereka anggap sebagai lambang universal umat Islam.

Namun, dalam konteks Indonesia, bendera ini telah lama menjadi identitas HTI, organisasi yang mengadvokasi penerapan sistem khilafah sebagai alternatif sistem demokrasi.

Keberadaan simbol ini dalam aksi solidaritas Palestina memperlihatkan bagaimana isu internasional dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperkuat agenda politik domestik mereka.

Secara teoritis, penggunaan simbol keagamaan dalam politik bukanlah fenomena baru. Simbol-simbol keagamaan kerap dijadikan alat mobilisasi massa guna melegitimasi suatu gerakan politik.

Dalam kasus HTI, bendera tauhid telah menjadi elemen sentral dalam strategi propaganda mereka, yang bertujuan membangun dukungan terhadap sistem khilafah sekaligus menantang sistem politik yang berlaku di Indonesia, yakni demokrasi.

Konsep ini mirip dengan bagaimana kelompok teroris menggunakan simbol agama untuk membangun legitimasi.

Kita lihat bagaimana ISIS, Al-Qaeda, dan kelompok-kelompok ekstrem lainnya menggunakan bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Apakah berarti kita harus menerima mereka hanya karena benderanya bertuliskan kalimat suci? Tentu tidak.

Yang perlu kita lihat adalah bagaimana simbol ini digunakan sebagai alat propaganda dan perekrutan bagi agenda politik tertentu yang bertentangan dengan negara.

Implementasi kebijakan

Pemerintah Indonesia telah menegaskan larangan terhadap organisasi yang bertentangan dengan Pancasila melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2017.

Secara normatif, regulasi ini memberikan dasar hukum yang jelas dalam menindak organisasi yang menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan konstitusi negara. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan di lapangan.

Simbol-simbol yang terkait dengan organisasi terlarang masih sering muncul dalam aksi massa, menciptakan dilema antara kebebasan berekspresi dan kewajiban negara dalam menjaga stabilitas politik.

Aparat keamanan harus mampu membedakan antara ekspresi keagamaan yang genuine dan penggunaan simbol untuk agenda politik tertentu.

Oleh karena itu, respons yang diambil harus bersifat proporsional, dengan menyeimbangkan antara penegakan hukum dan pendekatan persuasif serta edukatif.

Meskipun secara legal HTI telah dibubarkan, ideologi dan sistem yang diusungnya masih memiliki pengaruh di kalangan tertentu.

Sejumlah individu yang sebelumnya terafiliasi dengan HTI tetap aktif menyebarkan gagasan mereka melalui berbagai platform, termasuk media sosial dan forum keagamaan.

Salah satu indikasi keberlanjutannya adalah munculnya Rokhmat S. Labib, yang masih dianggap sebagai tokoh dan ketua oleh simpatisan HTI, dalam acara bertajuk "Kenali Sistem Politik Islam Lewat Bedah Buku" yang disiarkan oleh TVRI Sulawesi Utara.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa pembubaran organisasi secara struktural tidak otomatis menghilangkan ideologi yang diusungnya.

Dalam berbagai studi tentang gerakan Islam politik, strategi survival kelompok yang mengalami represi negara sering kali melibatkan pergeseran dari aksi formal ke gerakan yang lebih cair dan tersebar.

HTI tampaknya mengadopsi strategi serupa dengan tetap mempertahankan eksistensi ideologinya melalui jaringan yang lebih informal.

Dinamika politik di era Prabowo

Sejak terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia, spekulasi mengenai arah kebijakan pemerintahannya terhadap kelompok-kelompok Islam politik semakin mengemuka.

Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah keterlibatan Yusril Ihza Mahendra dalam pemerintahan Prabowo.

Yusril, yang pernah menjadi kuasa hukum HTI dalam gugatan terhadap pemerintah pada 2017, kini menduduki posisi strategis dalam kabinet.

Posisi Yusril dalam pemerintahan memunculkan pertanyaan tentang apakah pemerintah Prabowo akan melanjutkan kebijakan tegas terhadap HTI seperti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, atau akan mengambil pendekatan yang lebih kompromistis.

Narasi yang berkembang di kalangan HTI bahkan mencoba mengaitkan pernyataan Prabowo di acara Tanwir Muhammadiyah mengenai kejayaan Turki Utsmani sebagai indikasi dukungan terselubung terhadap sistem khilafah.

Meskipun asumsi ini tidak berdasar secara faktual, keberadaan narasi semacam ini menunjukkan bahwa wacana khilafah tetap menjadi bagian dari dinamika politik di Indonesia.

Dalam situasi ini, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi, stabilitas politik, dan penegakan hukum.

Di satu sisi, pemerintah harus tetap konsisten dalam menjalankan kebijakan yang menegaskan larangan terhadap organisasi yang telah dinyatakan ilegal.

Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak menciptakan ketegangan sosial yang lebih luas.

Aparat keamanan memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa menimbulkan reaksi yang kontraproduktif.

Pendekatan represif yang berlebihan dapat memperkuat narasi victimhood di kalangan simpatisan HTI, yang pada akhirnya justru dapat memperkuat daya tarik ideologi mereka di kalangan masyarakat yang merasa terpinggirkan.

Selain itu, komunikasi politik dari pemerintah harus lebih terarah dan strategis. Setiap pernyataan yang disampaikan oleh pejabat negara, terutama presiden dan menteri, harus dikaji dengan cermat agar tidak disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk menggiring opini publik ke arah yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Tag:  #pawai #ujian #pemerintahan #prabowo

KOMENTAR