Isu Agraria dan Hilirisasi Industri Berpotensi Jadi Materi Panas dalam Debat Cawapres
Capres-cawapres nomor urut satu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (kanan), capres-cawapres nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (kiri), dan capres-cawapres nomor urut tiga Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum debat ketiga Pilpres 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024). (DERY RIDWANSAH/ JAWAPOS.COM)
13:32
21 Januari 2024

Isu Agraria dan Hilirisasi Industri Berpotensi Jadi Materi Panas dalam Debat Cawapres

– Debat keempat yang akan menampilkan para calon wakil presiden (cawapres) bakal digelar di Jakarta Convention Center (JCC) malam ini. Para kontestan diharapkan bisa memaparkan visi dan gagasan menyangkut tema yang dinilai krusial untuk memastikan keberlanjutan masa depan Indonesia.

Ada sejumlah isu yang dikupas dalam debat nanti malam. Yakni, pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, serta masyarakat adat dan desa. Salah satu isu yang dinilai perlu dikupas adalah persoalan laten agraria.

Kepala Pusat Studi Agraria IPB Bayu Eka Yulian menyampaikan persoalan krusial pertanahan atau agraria yang belum tuntas. Menurut dia, masalah terbesar bidang agraria adalah penyelesaian konflik agraria struktural.

Dia menyebutkan, selama pemerintahan Jokowi, penyelesaian konflik agraria tidak berjalan maksimal. Sebaliknya, yang muncul adalah program sertifikasi atau penerbitan sertifikat tanah. ’’Reforma agraria itu bukan sebatas bagi-bagi sertifikat,” ujarnya.

Bayu mengatakan, Kementerian ATR/BPN mengeluarkan data capaian kinerja yang mereka klaim sebagai reforma agraria. Tetapi, yang disajikan dalam data tersebut adalah capaian sertifikasi tanah yang dilakukan oleh BPN. Karena itu, tiap paslon perlu lebih membeberkan gagasan penyelesaian konflik agraria lebih detail.

Bayu mengakui, dari sisi kegiatan sertifikasi tanah, BPN sudah jauh melampaui target. Dari target yang dipatok sebanyak 3,9 juta hektare, mereka sudah bisa menyertifikasi tanah sebanyak 10 juta hektare lebih. Bayu menjelaskan, capaian sertifikasi tanah itu tinggi karena BPN cenderung mencari aman. Yaitu, melakukan sertifikasi lahan-lahan yang secara kepemilikan tidak memiliki persoalan serius. Dengan demikian, proses penerbitan sertifikatnya bisa lebih cepat.

Pemerintah cenderung menghindari proses sertifikasi tanah yang masih konflik. Bayu mengakui persoalan agraria atau pertanahan cukup kompleks. Melibatkan banyak lembaga atau kementerian. Karena itu, perlu dibentuk kementerian koordinator di bidang agraria.

Isu lain yang menarik adalah hilirisasi produk-produk tambang. Termasuk berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, kebijakan hilirisasi mulai memberikan manfaat positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Seperti diketahui, neraca perdagangan RI mencatat surplus hingga 44 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Faisal menyebut, struktur ekspor Indonesia berubah sejak ada hilirisasi, sehingga ekspor produk olahan nikel meningkatkan jenis ekspor untuk logam dasar. Itu masuk kategori manufaktur yang memberikan nilai tambah dibanding ekspor barang mentah.

"Betul bahwa ekspor kita mulai merasakan manfaat dari hilirisasi. Itu lebih baik daripada ekspor barang mentah,’’ ucapnya. ’’Kalau kita puas dan stop di sini, justru negara lain yang akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Artinya, hilirisasi ini harus terus diolah,’’ lanjutnya.

Faisal menyebut, hilirisasi adalah kebijakan yang berorientasi jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan. (wan/dee/idr/far/lum/tyo/c17/oni)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #agraria #hilirisasi #industri #berpotensi #jadi #materi #panas #dalam #debat #cawapres

KOMENTAR