''Good Neighbor Policy'': Indonesia Justru Perlu Musuh?
Ilustrasi Indonesia, provinsi di Indonesia(Shutterstock)
06:58
21 Januari 2024

''Good Neighbor Policy'': Indonesia Justru Perlu Musuh?

INDONESIA menjalankan politik luar negeri yang bersifat bebas aktif. Pada Minggu (7/1/2024) lalu, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto yang saat ini menjadi salah satu kandidat calon presiden, menyampaikan secara tegas bahwa politik luar negeri Indonesia sejak awal kemerdekaan memiliki tradisi dan prinsip yang bersifat bebas aktif.

Menurut dia, hal ini karena Indonesia menjadi penggagas gerakan nonblok, tidak memihak kubu atau blok kekuatan besar manapun, serta tidak ikut dalam berbagai pakta pertahanan apapun.

Sejak dahulu, konsep bebas aktif memang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia yang paling konkret dalam menghadapi berbagai dinamika global yang terjadi hingga saat ini.

Pada kesempatan itu pula, Menhan Prabowo juga menggagas pendekatan kebijakan yang ia sebut sebagai “Good Neighbor Policy”.

Ia menekankan selain meningkatkan kapabilitas pertahanan, politik tetangga baik perlu dijalankan dalam membangun hubungan dengan negara lain dengan mengimplementasikan suatu prinsip persaudaraan: seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak.

Prabowo berkeyakinan menjaga hubungan baik antarnegara perlu dilakukan agar dapat menyelaraskan kepentingan nasional dengan negara lain demi mencapai Indonesia yang lebih disegani.

Agaknya, kebijakan “Good Neighbor Policy” yang kembali digagas oleh Prabowo, meskipun diklaim merupakan turunan dari politik luar negeri bebas aktif Indonesia, perlu untuk mendapat kajian secara lebih mendalam.

Nyatanya, realitas politik internasional tidak sesederhana layaknya bertetangga di wilayah komplek perumahan.

Kita bisa saja membangun relasi serta berkawan baik dengan tetangga-tetangga kita, tetapi kita tidak pernah tahu kapan salah satu tetangga tersebut dapat sewaktu-waktu “menikam” dari belakang.

“Menikam” ini tidak selalu dapat dikonotasikan sebagai serangan fisik yang menggunakan kekuatan militer seperti perang, agresi, atau semacamnya. Namun juga dapat berupa kebijakan politik dan ekonomi yang dapat merugikan serta menganggu kepentingan nasional.

Dian Wirengjurit, seorang diplomat senior Indonesia, pernah menulis dalam artikel bahwa politik luar negeri tetangga baik yang berprinsip “millions of friends, zero enemy” tersebut dinilai justru terlalu lembek dan sudah tidak lagi relevan untuk diaplikasikan dalam kerasnya pentas hubungan internasional pada saat ini.

Hal ini pernah ia tuangkan dalam artikel pada 2014 lalu berjudul “Cukup Sudah Polugri yang Gemulai”. Ia meyakini konsep tersebut justru mengabaikan konsep dasar dalam politik, khususnya bila dihadapkan pada realita politik global.

Hal ini didasarkan pada beberapa adagium dalam dunia politik, yang sangat relevan terjadi dalam ruang lingkup politik nasional maupun internasional.

Pertama, adanya prinsip “tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan”. Dalam politik internasional, kepentingan yang diperjuangkan tentunya adalah kepentingan nasional.

Kepentingan negara tentu tidaklah sama dengan kepentingan individu ataupun kelompok, yang seringkali melibatkan hati ataupun perasaan manusia.

Realita yang ada saat ini, banyak negara kuat ataupun maju yang seringkali meminggirkan perasaan karena pada dasarnya negara tidaklah memiliki hati layaknya manusia.

Belas kasihan atau prinsip-prinsip kemanusiaan seringkali dapat dilanggar apabila dihadapkan pada pemenuhan kepentingan nasional negaranya.

Contoh sederhana dapat kita munculkan dari pertanyaan berikut: ketika negara seperti Israel memiliki kepentingan dalam memusnahkan Hamas dari wilayah Gaza dan sekitarnya, apakah mereka melibatkan perasaan ataupun rasa kemanusiaan dalam pelaksanakan operasi militer agar tidak melibatkan korban warga sipil dari pihak Palestina?

Jatuhnya korban warga sipil di Palestina setidaknya menunjukkan sisi gelap kebijakan politik luar negeri, dalam hal ini seperti yang dilakukan oleh Israel.

Dalam mewujudkan kepentingan nasional suatu negara, perasaan, hati, termasuk sisi kemanusiaan dan perdamaian global, seringkali menjadi sesuatu yang tidak berarti untuk turut diperjuangkan.

Kedua, adalah prinsip “trust no one”. Dian Wirengjurit justru berpendapat dalam artikelnya bahwa terlalu percaya dengan negara lain justru memiliki akibat yang sangat fatal.

Sebagai contoh, kita tidak boleh lupa negara tetangga, yakni Australia, meskipun secara historis merupakan rekan kerja sama di bidang pendidikan dan ekonomi untuk saat ini, adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan Timor Timur untuk lepas dari Indonesia pada tahun 1980-an.

Australia melakukan ini akibat adanya pergeseran kebijakan dari kepentingan keamanan, yang semula mendukung Timor Timur untuk kembali ke NKRI dalam rangka menekan paham komunisme, menjadi kepentingan ekonomi guna menguasai pengelolaan sumber daya alam di wilayah celah Timor Timur.

Kondisi dunia yang saat itu menekan tindakan Indonesia atas pendudukan Timor Leste, membuat Australia memiliki peluang untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya guna menguasai pengolahan minyak dan gas di wilayah selatan celah Timor.

Ketiga, prinsip “who gets what, when, and how” dalam politik yang terkadang memanfaatkan momen-momen oportunistik.

Dalam kasus kepentingan Australia di Timor Leste, misalnya, berlaku prinsip who (Australia) gets what (pengelolaan migas di celah Timor), when (Indonesia tengah ditekan dunia internasional akibat invasinya ke Timor Timur), and how (mendukung Timor Leste lepas dari NKRI).

Hal ini juga terjadi dalam berbagai contoh fenomena politik global lainnya, seperti invasi Israel ke wilayah Palestina.

Dalam meraih kepentingan nasional Israel, kebijakan politiknya akan selalu tentang who (Israel) gets what (wilayah dan jaminan keamanan), when (roket Hamas menyerang Israel sebagai justifikasi mempertahankan diri), and how (Invasi secara menyeluruh).

Prinsip politik ini pernah dikemukakan oleh Harold Laswell, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat, yang menurut penulis sangat relevan ketika dihadapkan pada kasus di mana suatu negara menganggap negara-negara lainnya adalah teman baik dan tidak memiliki kewaspadaan politik antarsesama negara.

Keempat, adanya fakta bahwa hampir semua negara di dunia saat ini memiliki musuh. Semua negara yang eksis di zaman modern saat ini hampir semuanya memiliki musuh ataupun pesaing (rival) pada berbagai aspek.

AS dengan Rusia dan China, Rusia dengan Ukraina dan negara-negara NATO, India dengan Pakistan. Bahkan dalam beberapa kasus, Indonesia dengan Malaysia, adalah segelintir contoh negara-negara yang masih atau pernah bermusuhan dengan sesamanya.

Walaupun potensi konflik dapat timbul dari munculnya rivalitas antarnegara, tetapi faktor persaingan inilah yang terkadang memunculkan berbagai ide baru ataupun kebijakan inovatif dari suatu negara yang dapat mendukungnya memenangkan kompetisi serta meraih kepentingan nasionalnya.

Mengapa Indonesia perlu musuh?

Dalam berbagai fenomena hubungan internasional saat ini yang seringkali serba kompleks, sepertinya hampir tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memiliki musuh.

Kalaupun ada, mungkin negara tersebut hanyalah yang termasuk dalam negara kecil yang bahkan tidak memiliki kekuatan militer seperti Andorra, Lichtenstein, atau Monaco.

Namun, musuh yang dimaksud di sini perlu untuk dilihat dari perpekstif lebih luas, bukan musuh yang berarti perlu kita perangi secara fisik dengan kekuatan militer.

Potensi ancaman secara logis dapat muncul dari mana saja, bahkan dari negara tetangga yang paling dekat dengan wilayah kita.

Pada 2013 lalu misalnya, media nasional digegerkan dengan terungkapnya upaya penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.

Dokumen rahasia yang dibocorkan ke media saat itu mengungkapkan adanya tindakan penyadapan terhadap sejumlah nama petinggi negara seperti Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono dan Mantan Wapres Jusuf Kalla, serta pejabat-pejabat lain seperti Dino Patti Djalal, Andi Mallarangeng, Widodo Adi Sucipto, Sofyan Djalil, Hatta Rajasa, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Pascaterungkapnya kejadian tersebut, Australia yang dikenal sebagai kawan baik oleh Indonesia justru terlihat seperti musuh dalam selimut (utamanya mengingat sikap Australia terhadap Timor Leste dan serangkaian kejadian lain sebelumnya secara historis).

Hal ini menimbulkan kesan bahwa kebijakan politik luar negeri di era Presiden SBY saat itu, yang juga mengusung konsep seribu teman dan nol musuh, terasa lembek dan kurang berwibawa.

Perlu diingat bahwa aktivitas penyadapan adalah bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap berbagai informasi yang bersifat rahasia di suatu negara.

Unsur kewaspadaan, selain dari segi pengembangan pertahanan secara fisik, juga perlu dikonsepkan dalam bentuk kebijakan politik luar negeri guna menghindari musuh dalam selimut yang sewaktu-waktu dapat muncul.

Musuh, walaupun dapat berpotensi sebagai sumber konflik, tetapi dapat mempertegas posisi suatu negara dalam bersikap di fenomena-fenomena tertentu, serta dapat memunculkan kebijakan-kebijakan inovatif guna mendukung kepentingan nasional.

Misalnya, bila Indonesia secara konsisten dapat menempatkan Israel sebagai musuh dalam fenomena konfliknya dengan Palestina, maka tentunya Indonesia dapat mempertegas posisinya sebagai negara yang menentang segala bentuk diskriminasi dan penjajahan di seluruh dunia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar.

Amerika Serikat, yang sewaktu Perang Dingin memiliki rivalitas yang amat kuat terhadap Uni Soviet, pada akhirnya melahirkan berbagai kebijakan inovatif guna menghalau segala pengaruh penyebaran paham komunisme di negara-negara yang baru saja merdeka termasuk di wilayah Asia Tenggara.

AS merasakan betul pentingnya kehadiran negara rival, bahkan pada perang dagang yang saat ini masih terjadi dengan China.

Bagaimanapun juga, lingkungan yang nyaman tanpa musuh justru dapat membuat suatu negara terlena dan kurang proaktif dalam berinovasi dari segi kebijakan luar negerinya.

Maka, Indonesia perlu untuk mempertimbangkan adanya suatu rivalitas (yang tentunya sehat) dengan negara lain, agar terbentuk suatu kesan tegas terhadap suatu sikap politik dan memancing munculnya terobosan-terobosan baru dalam pengkonsepsian kebijakan luar negerinya.

Terkait pentingnya kehadiran musuh, kalimat menarik yang pernah diutarakan oleh Winston Churchill agaknya perlu untuk kita renungi bersama: “You have enemies? Good. That means you’ve stood up for something, sometime in your life.”

Tag:  #good #neighbor #policy #indonesia #justru #perlu #musuh

KOMENTAR