7 Kalimat Toxic Mertua yang Berdampak Pada Mental, Apa Saja?
Ilustrasi ibu mertua dan menantu.()
23:15
18 Desember 2025

7 Kalimat Toxic Mertua yang Berdampak Pada Mental, Apa Saja?

- Hubungan antara mertua dan menantu kerap diwarnai dinamika emosional yang kompleks. Niat baik yang disampaikan dengan cara keliru bisa berubah menjadi konflik berkepanjangan. 

Menurut psikolog dan pakar hubungan Dr. Tracy Dalgleish, banyak masalah keluarga justru berawal dari kalimat-kalimat yang terdengar sepele, tetapi bersifat toxic.

“Dari ratusan pasangan yang saya tangani dalam terapi, ada pola berulang dari hal-hal yang diucapkan dan tanpa disadari melukai hubungan antara orangtua dan anak dewasa atau menantu,” ujar Dalgleish, disadur dari Parade, Kamis (18/12/2025).

Ada apa saja? Berikut tujuh kalimat toxic mertua yang sebaiknya dihindari.

7 Kalimat toxic mertua yang berdampak pada mental

1. “Saya cuma ingin membantu”

Kalimat toxic ini sering muncul setelah mertua melewati batas, seperti datang tanpa memberi tahu atau memberi nasihat tanpa diminta. 

Menurut Dalgleish, kalimat ini meniadakan dampak emosional yang dirasakan menantu.

“Pernyataan ini berfokus pada niat, bukan dampak, sehingga pengalaman menantu menjadi tidak diakui,” jelasnya. 

Akibatnya, menantu bisa merasa perasaannya dianggap berlebihan dan tidak divalidasi dengan baik.

2. “Di keluarga kami, dari dulu selalu seperti ini”

Ucapan toxic ini mencerminkan kekakuan dan kontrol dalam dinamika keluarga. Dalgleish mengatakan, pola ini membuat menantu merasa tidak diterima sebagai bagian dari keluarga.

“Memaksakan tradisi lama tanpa ruang dialog dapat menciptakan perasaan terasing, terutama di masa awal pernikahan atau saat menjadi orangtua baru,” katanya.

3. “Kamu merebut anak saya”

Dalgleish menyebutkan, kalimat toxic ini sangat merusak karena menempatkan menantu sebagai pihak yang bersalah atas perubahan dalam keluarga.

“Anak dewasa bukanlah milik yang bisa direbut. Kalimat ini menolak fakta bahwa individu dewasa berhak membangun hidupnya sendiri,” ujarnya. 

Ucapan seperti ini juga menciptakan rasa bersalah yang tidak semestinya pada menantu.

4. “Ini bukan masalah besar, kamu terlalu lebay”

Kalimat toxic ini kerap muncul saat menantu atau pasangan sedang menghadapi tantangan, terutama soal pengasuhan. 

Dalgleish menilai, pernyataan tersebut meremehkan pengalaman emosional orang lain. Sikap ini justru menciptakan jarak emosional dalam keluarga.

“Orangtua baru membutuhkan pengakuan dan dukungan, bukan penyangkalan,” katanya. 

5. “Seharusnya kamu…” atau “Kenapa tidak…”

Ucapan toxic ini bersifat mengatur dan menempatkan mertua seolah lebih tahu segalanya. Dalgleish menjelaskan, kalimat semacam ini memicu sikap defensif.

“Bahasa yang menggurui menunjukkan superioritas moral dan membuat menantu merasa diremehkan,” ujarnya. 

Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat hubungan antara menantu dan mertua semakin renggang, bahkan menjadi toxic.

6. “Anak saya tidak seperti ini sebelum menikah denganmu”

Kalimat toxic ini menyalahkan menantu atas perubahan yang wajar dalam kehidupan anak dewasa. Menurut Dalgleish, ucapan ini berbahaya karena merusak kesatuan pasangan.

“Ini menolak proses pendewasaan dan otonomi pasangan, serta memberi label menantu sebagai sumber masalah,” ungkap dia.

7. “Setelah semua yang saya lakukan untuk kalian”

Kalimat toxic ini sering digunakan untuk memicu rasa bersalah. Dalgleish menegaskan bahwa guilt-tripping adalah pola komunikasi yang tidak sehat.

Kalimat ini menggambarkan ketidak tulusan mertua yang mengungkit kembali apa yang ia lakukan untuk sang anak dan menantu. 

“Rasa bersalah yang dipaksakan justru membuat orang menjaga jarak dan menghindar,” katanya. 

Ia menyarankan agar keinginan disampaikan secara jujur tanpa menekan secara emosional.

Kalimat-kalimat toxic dari mertua sering kali tidak diucapkan dengan niat jahat. Namun, dampaknya bisa sangat nyata dan membekas lama dalam hubungan keluarga. 

Menyadari pola komunikasi yang menyakitkan adalah langkah awal untuk membangun relasi yang lebih sehat, saling menghormati, dan penuh empati.

Dengan mengganti kalimat toxic menjadi komunikasi yang lebih terbuka dan suportif, hubungan mertua dan menantu tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga berkembang secara emosional.

Tag:  #kalimat #toxic #mertua #yang #berdampak #pada #mental #saja

KOMENTAR