Perubahan Perilaku dan Komunikasi yang Dekat dengan Kesehatan: Kunci Pencegahan Stunting
Ilustrasi orangtua menyuapi anak makan. (Dok. Tanoto Foundation)
09:10
7 November 2025

Perubahan Perilaku dan Komunikasi yang Dekat dengan Kesehatan: Kunci Pencegahan Stunting

- Tahukah Anda bahwa perilaku sehari-hari memiliki peran besar dalam menentukan kesehatan keluarga, terutama anak-anak?

Penelitian pakar kesehatan masyarakat asal Amerika Serikat (AS), J Michael McGinnis (2002), menunjukkan bahwa perilaku menyumbang 30–40 persen terhadap status gizi dan kesehatan seseorang. Angka ini lebih besar dibandingkan faktor pelayanan kesehatan maupun lingkungan.

“Artinya, kebiasaan sederhana di rumah, seperti cara makan, menjaga kebersihan, hingga pola asuh, sebenarnya punya pengaruh langsung terhadap masa depan anak,” ujar anggota ECED Council Indonesia sekaligus Redaktur Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, Indriani, dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (7/11/2025).

Salah satu persoalan gizi kronis yang masih banyak dialami anak-anak Indonesia adalah stunting atau tengkes, yaitu kondisi tinggi badan anak lebih rendah dari standar usianya akibat kekurangan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, serta pola asuh dan lingkungan yang kurang mendukung, terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Stunting bukan hanya masalah kesehatan. Ini adalah masalah pembangunan manusia dan ekonomi bangsa,” tutur Indriani.

“Anak yang stunting berisiko memiliki kemampuan belajar yang lebih rendah, produktivitas menurun, dan berpotensi terjebak dalam lingkaran kemiskinan antargenerasi,” lanjutnya.

Temuan studi The Lancet (Victora et al., 2008; Black et al., 2013) memperkuat hal itu: kekurangan gizi kronis berdampak jangka panjang terhadap kemampuan kognitif dan penghasilan seseorang di masa depan. Karena itu, pencegahan stunting harus dimulai dari rumah, dengan orangtua atau pengasuh sebagai penggerak utama perubahan.

Namun demikian, mengubah perilaku bukanlah hal yang instan.

“Banyak orangtua sebenarnya tahu pentingnya memberi makan bergizi, tapi praktiknya tidak mudah karena terbentur waktu, budaya, dan kebiasaan lama,” ujar Indriani.

Ia menjelaskan tiga tantangan utama yang kerap dihadapi orangtua, yaitu:

1. Keterbatasan waktu dan energi. Banyak orangtua bekerja seharian sehingga sulit menyiapkan makanan sehat atau mendampingi anak makan.

2. Pengaruh budaya dan kepercayaan lama. Masih ada anggapan bahwa bayi perlu diberi air putih sejak dini atau bahwa anak gemuk pasti sehat.

3. Kurangnya informasi kontekstual. Pesan kesehatan sering disampaikan dengan bahasa teknis. Padahal, orangtua butuh pesan yang dekat dengan keseharian mereka.

Indriani menegaskan, perubahan akan lebih mudah terjadi jika komunikasi kesehatan disampaikan dengan cara yang akrab, menggunakan bahasa yang membumi, dan disertai pendampingan yang nyata.

Langkah praktis: mulai dari rumah

Indriani menilai, pencegahan stunting akan lebih efektif bila keluarga diposisikan bukan sebagai penerima pesan, melainkan sebagai aktor utama perubahan. Ia membagikan beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan di rumah:

1. Jadikan waktu makan sebagai momen kebersamaan.

“Makan bersama tanpa gawai membuat anak belajar mengenal rasa dan tekstur makanan. Anak belajar dari meniru, kalau orangtua makan sayur dengan senang, anak pun ikut,” ujar Indriani.

2. Gunakan bahan pangan lokal.

“Ikan, tempe, telur, daun kelor, sayur kampung—semuanya sumber gizi luar biasa. Kuncinya keseimbangan,” kata Indriani. Ia menekankan bahwa makanan bergizi tidak harus mahal.

3. Ciptakan lingkungan rumah yang bersih dan aman.

“Cuci tangan, bersihkan alat makan, dan jaga area bermain anak dari kotoran. Hal sederhana ini berdampak besar,” imbuh Indriani. Infeksi akibat lingkungan kotor bisa memperparah risiko stunting.

4. Bangun komunikasi positif dengan anak.

“Kalimat seperti ‘Kamu hebat sudah makan sayur hari ini’ jauh lebih efektif daripada ancaman. Anak yang tumbuh dengan dukungan positif lebih mudah diajak bekerja sama,” kata Indriani.

5. Gunakan dukungan komunitas.

Ia mendorong orangtua untuk aktif di pos pelayanan terpadu (posyandu), kelompok Bina Keluarga Balita (BKB), atau kelas orangtua.

“Komunitas adalah tempat belajar bersama. Di sana kita saling menguatkan dan bertukar solusi,” ujar Indriani.

Butuh konteks lokal dan bahasa yang mengena

Setiap daerah memiliki budaya dan nilai yang berbeda. Karena itu, menurut Indriani, pesan perubahan perilaku harus disampaikan sesuai konteks lokal.

“Di desa, peran bidan dan kader posyandu sangat penting untuk mengajak ibu-ibu muda memperbaiki pola makan keluarga. Sementara di kota, media sosial dan aplikasi parenting bisa menjadi saluran efektif bagi keluarga muda,” jelasnya.

Kunci komunikasi yang berhasil, lanjut Indriani, bukan hanya pada isi pesan, tetapi juga cara penyampaiannya.

Daripada berkata, “Berikan MPASI bergizi seimbang,” akan lebih mudah dipahami jika dijelaskan, “Campurkan nasi dengan tempe, sayur bayam, dan telur. Itu sudah cukup memenuhi gizi anak hari ini.”

Selain edukasi, pendampingan juga krusial. Sebab, kader posyandu yang datang ke rumah bukan hanya memberi nasihat, tetapi membantu mencari solusi saat anak susah makan atau ibu kelelahan.

“Dengan begitu, pesan kesehatan menjadi hidup di keluarga dan komunitas,” ungkap Indriani.

Selain itu, kunci utama pencegahan stunting bukanlah program besar, melainkan kebiasaan kecil yang konsisten.

Mencegah stunting bisa dimulai dari dapur, dari piring anak, dan dari pelukan kasih setiap hari.

“Setiap langkah kecil Ayah dan Bunda adalah investasi besar bagi masa depan Indonesia untuk melahirkan generasi yang sehat, cerdas, dan bahagia,” tutup Indriani.

Tag:  #perubahan #perilaku #komunikasi #yang #dekat #dengan #kesehatan #kunci #pencegahan #stunting

KOMENTAR