Berkaca dari Kasus Kematian Mahasiswa Unud, Mengapa Ada Orang yang Nirempati?
Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.(Shutterstock/Rawpixel.com)
12:40
21 Oktober 2025

Berkaca dari Kasus Kematian Mahasiswa Unud, Mengapa Ada Orang yang Nirempati?

- Beberapa mahasiswa Universitas Udayana, Bali, dinilai nirempati saat menerima kabar bahwa salah satu mahasiswa, TAS (22), tewas setelah jatuh dari lantai empat salah satu gedung kampus.

Alih-alih berbelasungkawa, mereka mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, bahkan lelucon, terkait kematian TAS.

Berkaca dari kasus tersebut, mengapa ada orang yang tidak berempati terhadap seseorang atau suatu kondisi yang memprihatinkan?

Mengenal nirempati, apa penyebabnya?

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Selasa (21/10/2025), empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Psikolog Clement Eko Prasetio, M.Psi. yang berpraktik di Indopsycare mengatakan, empati tumbuh pada seseorang sejak mereka masih anak-anak.

“Empati itu tumbuh dan berkembang dari anak-anak sampai akhirnya dewasa, dan tetap bisa dibentuk sampai dewasa juga, bisa dilatih,” ucap Clement saat dihubungi pada Senin (20/10/2025).

Menurut Clement, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki sifat nirempati, mulai dari pengaruh orangtua sampai faktor situasional.

1. Pengaruh orangtua

Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.Dok. Freepik/Freepik Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.

Orangtua adalah guru pertama anak. Mereka mencontoh bagaimana ayah dan ibunya bersikap dan berperilaku.

“Kalau dari sisi perkembangan anak, mungkin orang yang nirempati ini ketika kecil kurang adanya modeling dari orangtua, atau kurang mendapatkan pembelajaran yang cukup matang dari orangtuanya,” tutur Clement.

Orangtua tidak memberi ruang untuk perspective-taking yakni tindakan mengamati suatu situasi, atau memahami sebuah konsep, dari sudut pandang orang lain.

Misalnya pada orangtua yang otoriter, dan anak harus melakukan atau bertindak A karena orangtua mengatakan A. Mereka tidak peduli dengan perasaan atau pendapat anak. Pola asuh yang cenderung otoriter bisa menumpulkan sifat empati anak.

2. Faktor kognitif

Perspective-taking berkaitan dengan faktor kognitif. Anak yang diberi ruang untuk perspective-taking dapat memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan bisa "merasakan" apa yang orang tersebut rasakan.

Pada orang-orang nirempati, ada yang “terlambat” dalam proses kognitifnya. Misalnya seseorang tidak menangkap tanda-tanda yang orang lain tunjukkan.

“Misalnya ada orang kelihatan kesakitan, matanya mengernyit, mengatakan, ‘Aduh’. Dia enggak tahu atau enggak sadar bahwa ‘tanda-tanda’ itu menandakan sesuatu,” kata Clement.

Bisa juga mereka tidak ‘melihat’ tanda-tanda tersebut, yang mana seseorang harus bisa melihat atau mengobservasi untuk bisa berempati.

“Jadi, secara kognitif, empati terbentuk karena kita bisa melihat sesuatu, melihat reaksi orang lain, kemudian kita bisa menginterpretasikan ‘tanda-tanda’ itu dengan tepat,” lanjut Clement.

3. Faktor norma sosial

Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.Freepik Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.

Faktor norma sosial juga memengaruhi bagaimana seseorang mengembangkan empati. Sebab, seseorang punya pertimbangan tentang respons terhadap sesuatu atau orang lain.

Bisa jadi, mereka enggan berempati berdasarkan pertimbangan bahwa mereka kurang “oke” secara norma sosial yang dianut oleh suatu kelompok.

“Respons empatik bukan hanya ditentukan dari perasaan, tapi juga dipengaruhi oleh norma sosial suatu kelompok. Bisa jadi ketika mau mengatakan, ‘Eh, kamu kasihan ya’, ternyata norma sosial kelompoknya mengatakan, ‘Kamu enggak boleh melakukan itu karena orang itu adalah musuh’,” jelas Clement.

Ketika berempati terhadap orang lain atau suatu situasi, tetapi norma sosial kelompoknya bertentangan, ia pun pada akhirnya menjadi tidak berempati.

4. Faktor kompetitif

Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.Mikhail Nilov Kasus mahasiswa yang menertawakan kematian temannya di Bali bikin miris. Ini penjelasan psikolog soal mengapa ada orang nirempati.

Faktor kompetitif masih berkaitan dengan faktor norma sosial yang dianut oleh suatu kelompok. Bisa saja, seseorang menganggap bahwa kelompoknya harus lebih tinggi dibandingkan orang lain.

Mereka tidak peduli dengan orang-orang di luar kelompoknya sehingga empati akan sulit untuk tumbuh dalam individu yang tergabung dalam kelompok tersebut.

“Individu itu sudah attached dengan kelompok itu, sehingga akan terbentuk semacam group think (pemikiran kelompok). Dia akan ikutan kelompoknya bahwa orang lain di luar kelompoknya harus lebih rendah maka empati akan sulit tumbuh di lingkungan seperti itu,” jelas Clement.

5. Faktor situasional

Faktor situasional misalnya adalah ketika seseorang sedang stres berat karena pekerjaan sehingga kemungkinan untuk berempati lebih rendah.

“Kita sudah terlalu capek dengan emosi kita sendiri, dengan tekanan kita sendiri, maka menyulitkan kita untuk bisa memahami orang lain, kita sulit untuk berempati,” papar Clement.

Tag:  #berkaca #dari #kasus #kematian #mahasiswa #unud #mengapa #orang #yang #nirempati

KOMENTAR