

seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan anak. (Freepik/freepik)


Orang Tua yang Memiliki Hubungan Paling Dekat dengan Anak-Anak Dewasanya Melakukan 8 Hal Ini Sejak Dini Menurut Psikologi
Hubungan antara orang tua dan anak tidak terbentuk dalam semalam. Ia adalah hasil dari ribuan interaksi kecil—pelukan hangat di pagi hari, percakapan jujur sebelum tidur, atau sekadar cara orang tua mendengarkan tanpa menghakimi. Dilansir dari Expert Editor pada Selasa (14/10), banyak penelitian psikologi keluarga menemukan bahwa hubungan dekat antara orang tua dan anak dewasa bukanlah kebetulan, melainkan buah dari pola pengasuhan yang penuh kesadaran sejak dini.
Orang tua yang kelak tetap menjadi “tempat pulang” bagi anak-anaknya bukanlah yang paling sempurna, tetapi yang paling hadir, memahami, dan tumbuh bersama mereka. Lantas, apa saja yang mereka lakukan sejak anak masih kecil hingga akhirnya hubungan itu tetap hangat saat dewasa? Berikut delapan kunci penting menurut psikologi.
1. Mereka Menghargai Perasaan Anak, Bukan Hanya Perilakunya
Banyak orang tua terlalu fokus pada perilaku anak—apakah anak sopan, rajin belajar, atau patuh. Namun, orang tua yang kelak punya hubungan dekat dengan anak-anak dewasanya justru lebih fokus pada emosi di balik perilaku.
Mereka tidak buru-buru marah ketika anak menangis atau menolak, tetapi bertanya, “Kamu sedih karena apa, Nak?”
Psikologi perkembangan menunjukkan bahwa validasi emosi sejak dini membangun rasa aman (secure attachment), yang menjadi dasar hubungan dekat dan terbuka di masa dewasa.
2. Mereka Tidak Hanya Menasihati, Tapi Juga Mendengarkan
Anak yang tumbuh bersama orang tua pendengar yang baik belajar bahwa suaranya penting.
Ketika orang tua mau berhenti sejenak dari kesibukan dan mendengar tanpa menginterupsi, anak merasa dihargai sebagai pribadi.
Menurut penelitian dari University of Missouri, anak-anak yang memiliki pengalaman komunikasi dua arah dengan orang tua akan lebih mudah menjaga kedekatan emosional setelah dewasa—karena hubungan mereka sudah terbiasa didasari rasa saling percaya, bukan dominasi.
3. Mereka Mengakui Kesalahan dan Mau Meminta Maaf
Banyak orang tua merasa kehilangan wibawa jika meminta maaf. Padahal, dalam dunia psikologi keluarga modern, sikap ini justru menunjukkan kematangan emosional.
Ketika orang tua berkata, “Maaf ya, Mama terlalu keras tadi,” anak belajar bahwa manusia boleh salah dan berhak diperbaiki tanpa rasa malu.
Kebiasaan ini menumbuhkan hubungan yang egaliter—di mana anak dewasa nanti merasa nyaman berbicara tanpa takut dihakimi, karena mereka tahu hubungan itu didasari rasa saling menghargai, bukan hierarki semata.
4. Mereka Konsisten Memberi Waktu Berkualitas
Tidak perlu mahal atau mewah. Anak tidak mengingat harga mainannya, tapi mengingat siapa yang duduk di sebelahnya saat ia bermain.
Psikolog John Gottman menyebut emotional availability—ketersediaan emosional—lebih penting dari jumlah waktu yang dihabiskan.
Lima belas menit bermain sambil tertawa bisa lebih bermakna daripada dua jam bersama tanpa kontak batin. Konsistensi dalam kehadiran ini membuat anak merasa “dilihat”, yang kelak menjadi fondasi hubungan yang hangat di usia dewasa.
5. Mereka Tidak Menekan Anak Menjadi “Mini Versi” Dirinya
Hubungan orang tua dan anak sering retak karena ekspektasi yang terlalu besar. Orang tua yang bijak menyadari bahwa anak bukan replika dirinya.
Mereka tidak memaksa anak mengambil jalur karier tertentu, tidak mengukur kebahagiaan dengan prestasi, dan tidak menuntut kesempurnaan.
Menurut teori self-determination dari Deci & Ryan, anak yang diberi otonomi sejak dini tumbuh menjadi individu yang memiliki kelekatan emosional lebih sehat dengan orang tuanya—karena cinta yang mereka rasakan tidak bersyarat.
6. Mereka Mengajarkan Batasan Sehat Sejak Kecil
Hubungan yang dekat bukan berarti tanpa batas. Justru batas yang jelas menumbuhkan rasa hormat dua arah.
Orang tua yang tahu kapan harus berkata “tidak” dengan lembut, dan anak yang belajar menghargai ruang orang lain, akan membentuk dinamika hubungan yang dewasa.
Ketika anak tumbuh, mereka terbiasa untuk tidak menyalahgunakan kedekatan itu, tapi menjaga dengan penuh empati dan tanggung jawab.
7. Mereka Menunjukkan Kasih Sayang Secara Terbuka
Sentuhan kecil, pelukan, dan kata “I love you” atau “Ayah bangga sama kamu” mungkin terlihat sederhana, tapi efek psikologisnya sangat dalam.
Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi kasih sayang fisik dan verbal membantu menurunkan hormon stres dan meningkatkan oxytocin, hormon yang memperkuat ikatan emosional.
Anak yang tumbuh dalam suasana penuh kasih tidak perlu mencari validasi berlebihan di luar, dan hubungan dengan orang tua pun tetap hangat bahkan saat jarak memisahkan.
8. Mereka Terus Tumbuh Bersama, Bukan Hanya Membesarkan Anak
Kedekatan orang tua dan anak dewasa bukan hanya hasil dari pengasuhan di masa kecil, tapi juga dari kesediaan orang tua untuk berubah seiring waktu.
Ketika anak beranjak dewasa, orang tua yang bijak tahu kapan harus berperan sebagai teman, bukan lagi pengontrol.
Mereka menghormati keputusan anak, belajar teknologi agar tetap nyambung, dan tidak tersinggung saat anak punya kehidupan sendiri. Inilah bentuk cinta yang matang—cinta yang tumbuh, bukan mengekang.
Kesimpulan: Kedekatan Tidak Terjadi, Tapi Diciptakan
Kedekatan antara orang tua dan anak dewasa bukanlah hasil genetik atau keberuntungan semata. Ia dibangun dari keseharian—cara bicara, cara mendengar, dan cara mencintai tanpa syarat.
Orang tua yang meluangkan waktu untuk memahami, mengakui kesalahan, dan menanamkan kasih yang hangat sejak dini akan menuai buah manis di masa depan: hubungan yang tulus, hangat, dan tak lekang oleh waktu.
Pada akhirnya, anak-anak dewasa yang paling dekat dengan orang tuanya bukanlah mereka yang selalu diberi segalanya, tetapi yang sejak kecil merasa bahwa cinta orang tuanya selalu ada—bahkan saat dunia terasa jauh sekalipun. ***
Editor: Novia Tri Astuti
Tag: #orang #yang #memiliki #hubungan #paling #dekat #dengan #anak #anak #dewasanya #melakukan #sejak #dini #menurut #psikologi