



Belajar dari Dimas Anggara dan Kiesha, Orangtua Harus Apa Saat Anak Berkonflik?
Konflik yang menimpa anak bisa memicu emosi tinggi dari orangtua. Terlebih jika peristiwa itu melibatkan dugaan kekerasan fisik.
Seperti yang belum lama ini ramai dibicarakan, kasus antara aktor Dimas Anggara yang menampar putra Pasha Ungu, Kiesha Alvaro di lokasi syuting.
Kronologi konflik Dimas Anggara dan Kiesha Alvaro
Ibu Kiesha Alvaro, Okie Agustina mengungkap kronologi penamparan oleh Dimas Anggara terhadap putranya, saat syuting sinetron.
Menurut Okie, insiden terjadi di luar naskah saat proses blocking, bukan saat pengambilan gambar. Ia menyebut respons Dimas terhadap akting Kiesha yang mencengkeram bahunya terlalu berlebihan.
Usai adegan, Dimas diduga kembali mendekati Kiesha dan menantangnya bertengkar. Okie menegaskan bahwa insiden tersebut nyata, bukan gimmick.
Dimas Anggara kemudian menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada Kiesha yang diterima dengan baik.
Dalam unggahan Instagram, Kiesha menyatakan bahwa masalah telah selesai dan tak perlu diperpanjang.
Ayah Kiesha, Pasha Ungu, juga mengapresiasi permintaan maaf Dimas dan menyebut ada hikmah dari kejadian tersebut.
Keduanya akhirnya bertemu di kantor rumah produksi untuk menyelesaikan persoalan secara damai.
Respons bijak orangtua menurut psikolog
Menurut Psikolog Klinis Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., penting bagi orangtua untuk tetap tenang dan bersikap objektif.
“Empati terhadap anak itu perlu, tapi bukan berarti langsung membela anak karena dia anak kita. Kita perlu melihat kejadian secara menyeluruh sebelum mengambil sikap,” jelas Joko saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/6/2025).
Perhatikan prosesnya, bukan sekadar hasil akhir
Joko memberi contoh, dalam banyak kasus orangtua hanya melihat bahwa anaknya mendapat perlakuan buruk, tanpa mencari tahu apakah anak mungkin memicu kejadian tersebut.
“Misalnya, anak ditendang temannya. Tapi setelah diselidiki, ternyata anak kita yang mulai lebih dulu. Kalau kita langsung marah tanpa tahu prosesnya, itu artinya kita bersikap subjektif,” katanya.
Orangtua yang terbiasa bereaksi tanpa proses refleksi justru bisa membuat penyelesaian konflik jadi makin rumit.
Tetap dampingi anak, baik sebagai korban atau pelaku
Menurut Joko, saat anak menjadi korban atau pelaku orangtua tetap perlu mendampingi agar anak merasakan kehadiran emosional orangtua.
Meski anak melakukan kesalahan, orangtua juga tetap perlu memberikan dukungan emosional. Namun dukungan ini perlu dibarengi dengan pemahaman yang masuk akal.
“Orangtua bisa bilang ke anak, ‘Saya paham ini situasi yang tidak nyaman buat kamu. Tapi kamu juga harus belajar melihat dari sisi orang lain. Kalau ternyata kamu yang mulai, maka respons orang lain itu mungkin ada sebabnya, meskipun tetap tidak dibenarkan,’” ujar Yustinus.
Pendampingan seperti ini membuat anak merasa aman secara emosional sekaligus belajar introspeksi.
Anak dewasa perlu belajar menghadapi masalah sendiri
Jika anak sudah berusia 20-an tahun atau memasuki masa dewasa awal, Joko menyarankan agar orangtua mulai mengurangi intervensi secara langsung.
“Kalau setiap anak menghadapi masalah lalu orangtuanya yang menyelesaikan, nanti saat orangtua tidak ada, anak jadi tidak siap menghadapi konflik sendiri,” tegasnya.
Padahal, dalam kehidupan nyata, konflik adalah bagian dari proses belajar. Anak perlu tahu bahwa tidak semua hal bisa didapat secara instan tanpa tantangan.
Ajarkan anak bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya
Konflik atau perselisihan yang dialami anak bisa menjadi kesempatan penting untuk belajar tentang tanggung jawab.
“Setiap kejadian selalu punya sebab dan akibat. Anak perlu tahu bahwa setiap perilaku memiliki konsekuensi,” ujar Joko.
Ia menambahkan, refleksi semacam ini penting untuk membentuk karakter anak agar tidak hanya paham haknya, tetapi juga bertanggung jawab atas tindakannya.
Tag: #belajar #dari #dimas #anggara #kiesha #orangtua #harus #saat #anak #berkonflik