



Dedi Mulyadi Hapus PR Sekolah, Psikolog: Kesehatan Mental Anak Lebih Terjaga
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggulirkan reformasi besar dalam sistem pendidikan di provinsinya. Salah satu poin yang menarik perhatian publik adalah kebijakan penghapusan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa.
Dalam keterangan resminya, Dedi menyebut bahwa semua tugas akan diselesaikan di sekolah, bukan dibawa pulang.
“Seluruh pekerjaan sekolah dikerjakan di sekolah. Tugas-tugas tidak dibawa menjadi beban di rumah,” kata Dedi dalam video yang diunggah di media sosial, Rabu (4/6/2025).
Menurutnya, waktu di rumah seharusnya dimanfaatkan anak-anak untuk beristirahat, membaca buku, membantu orangtua, dan mengembangkan diri melalui kegiatan seperti olahraga atau les keterampilan.
Langkah ini menjadi bagian dari visi Dedi mencetak generasi panca waluya, yaitu anak-anak yang cager (sehat), bager (baik), bener (benar), pinter (cerdas), dan singer (terampil).
Namun, bagaimana dampaknya jika PR dihapus total? Apakah hal ini benar-benar menguntungkan anak?
Psikolog: anak perlu ruang bernapas dari tekanan akademik
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana, S.Psi, menilai bahwa penghapusan PR berpotensi membawa dampak positif, terutama dari segi kesehatan mental anak.
“Anak punya waktu lebih banyak untuk bermain, berinteraksi sosial, beristirahat, dan mengeksplorasi minat di luar akademik,” kata Vera saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/6/2025).
Waktu tanpa PR juga memperkuat ikatan dalam keluarga karena anak tidak lagi terbebani tugas sekolah saat di rumah.
“Mengurangi tekanan akademik yang berlebihan, sehingga kesehatan mental lebih terjaga. Memperkuat kualitas waktu bersama keluarga,” lanjutnya.
Menurut Vera, kebijakan ini bisa membantu mengurangi kejenuhan anak dalam belajar dan menurunkan risiko burnout, sebuah kondisi mental yang kerap menyerang anak usia sekolah ketika tuntutan akademik tidak seimbang dengan kebutuhan emosional mereka.
Tapi, tantangan tetap ada
Meski penghapusan PR terdengar ideal, Vera mengingatkan bahwa bukan berarti sistem ini tanpa tantangan.
“Jika tidak ada penguatan materi di rumah, sebagian anak mungkin kesulitan mengingat kembali pelajaran,” ujarnya.
Masalah juga bisa timbul jika anak memiliki manajemen waktu yang kurang baik. Waktu luang yang tidak diarahkan bisa membuat anak justru menghabiskan waktu tanpa kegiatan produktif.
Selain itu, anak-anak yang memerlukan latihan tambahan bisa tertinggal jika tak mendapat pendampingan lanjutan di luar jam sekolah.
Karena itu, menurut Vera, kunci keberhasilan kebijakan ini ada pada perancangan sistem belajar yang seimbang dan sesuai usia perkembangan anak.
“Yang terpenting bukanlah ada atau tidaknya PR, melainkan bagaimana sekolah merancang keseimbangan beban belajar yang sehat,” tegasnya.
Tantangan bagi guru dan orangtua
Di sisi lain, perubahan sistem ini tentu menuntut adaptasi dari guru dan orangtua. Guru perlu menyusun metode belajar yang efektif agar materi terserap tuntas di jam sekolah.
Sementara orangtua perlu memastikan anak menggunakan waktu luangnya secara produktif dan seimbang.
Tag: #dedi #mulyadi #hapus #sekolah #psikolog #kesehatan #mental #anak #lebih #terjaga