Fenomena Climate Whiplash yang Meningkat Pesat: Mengapa Dunia Kian Rentan Terhadap Bencana Ekstrem?
–Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa fenomena climate whiplash, yaitu perubahan ekstrem antara kondisi sangat basah dan sangat kering, terus meningkat dengan kecepatan yang signifikan akibat pemanasan global.
Fenomena ini mendorong terjadinya bencana yang lebih parah dibandingkan kejadian ekstrem tunggal. Dampak perubahan ini telah terlihat di berbagai belahan dunia, mulai dari banjir besar di Pakistan, Afrika Timur, dan Australia hingga gelombang panas yang intens di Eropa dan Tiongkok.
Hasil analisis, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Reviews Earth and Environment menunjukkan hampir seluruh wilayah di dunia mengalami peningkatan kejadian climate whiplash sebesar 31 hingga 66 persen sejak pertengahan abad ke-20. Lonjakan ini disebabkan peningkatan suhu atmosfer akibat emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil.
”Planet ini menghangat secara linear, tetapi dampak iklim terlihat meningkat secara eksponensial dalam beberapa tahun terakhir,” ungkap Dr. Daniel Swain dari California Institute for Water Resources, seperti dilansir dari The Guardian.
Peningkatan suhu atmosfer membuat udara mampu menahan lebih banyak uap air. Hal ini menyebabkan hujan deras menjadi lebih ekstrem saat kondisi basah dan memperburuk kekeringan saat kondisi kering, karena atmosfer menyerap lebih banyak air dari tanah dan tumbuhan.
Dr. Swain menjelaskan, atmosfer yang memanas ibarat spons yang semakin besar menyerap lebih banyak air dan kemudian melepaskannya secara tiba-tiba, memicu volatilitas hidroklimat yang semakin luas. Fenomena ini juga memperburuk dampak bencana lain.
Di Afrika Timur, misalnya, kekeringan yang berlangsung dari 2020 hingga 2023 menyebabkan 20 juta orang kekurangan pangan. Ketika hujan deras melanda pada akhir 2023, ribuan hektare tanaman rusak, dan lebih dari 2 juta orang kehilangan tempat tinggal. Kondisi ini menggambarkan bagaimana climate whiplash dapat memperparah banjir, memicu tanah longsor, dan menyebabkan masalah kesehatan seperti ledakan populasi nyamuk atau tikus pembawa penyakit.
Meningkatnya risiko peristiwa whiplash ini memunculkan tantangan besar bagi perencanaan infrastruktur dan pengelolaan bencana. Para peneliti menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih adaptif, seperti memperluas dataran banjir alami untuk membantu menyerap kelebihan air saat hujan deras dan mengisi ulang akuifer selama musim kering. Mereka juga merekomendasikan kota-kota untuk mengurangi penggunaan aspal dan beton guna meningkatkan daya serap air hujan.
Menurut Prof Richard Allan dari University of Reading, upaya mitigasi pemanasan global sangat mendesak. ”Hanya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca di semua sektor, kita dapat membatasi intensitas bencana ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan gelombang panas secara signifikan,” tandas Richard Allan.
Pendapat serupa diungkapkan Dr. Kevin Collins dari Open University, Inggris, yang menekankan pentingnya perubahan pola pikir dalam merencanakan masa depan.
”Kita harus berhenti berpikir bahwa pola cuaca dan iklim itu tidak berubah. Sebaliknya, kita perlu mengembangkan cara hidup yang lebih adaptif di dunia yang terus berubah akibat iklim,” kata Dr. Kevin Collins.
Peringatan ini menjadi semakin penting mengingat model iklim memproyeksikan bahwa volatilitas hidroklimat dapat meningkat dua kali lipat jika suhu global naik hingga 3°C, sebuah skenario yang kian mendekati kenyataan.
”Model iklim mungkin belum sepenuhnya menangkap besarnya perubahan yang sudah terjadi, tetapi prediksi mereka menunjukkan bahwa ketidakstabilan kondisi basah dan kering akan meningkat secara drastic,” Sir Brian Hoskins dari Imperial College London.
Tag: #fenomena #climate #whiplash #yang #meningkat #pesat #mengapa #dunia #kian #rentan #terhadap #bencana #ekstrem