Disorot Media Asing: Prabowo dan Donald Trump Mirip, Sama-sama Pilih Loyalis Masuk Kabinet
Pasalnya, Donald Trump menunjuk para loyalis untuk masuk dalam jajaran kabinet pemerintahannya.
Pengamat bilang langkah Donald Trump ini serupa tapi tak sama dengan Presiden Prabowo Subianto yang mengisi posisi menteri dengan para loyalisnya begitu terpilih jadi Presiden Indonesia.
Ulasan itu dikutip dari media Singapura CNA pada Minggu (17/11/2024).
Menteri Trump Kebanyakan dari Loyalis dan Tidak Kompeten
Sebanyak 27 anggota kabinet yang telah dipilih Trump sejauh ini mengejutkan banyak pihak karena dianggap tidak cakap dan kurang berpengalaman untuk mengisi posisi yang ditugaskan.
Di antaranya adalah Matt Gaetz, 42, yang ditunjuk menempati posisi jaksa agung.
Pemilihan Gaetz yang sejak lama dikenal sebagai loyalis Trump dipertanyakan.
Pasalnya dia tidak pernah bekerja di kementerian kehakiman AS dan bahkan bukan seorang jaksa.
"(Tapi) Gaetz akan melakukan apa yang dikatakan Trump, itulah sebabnya dia dipilih," kata seorang sumber dekat Trump, kepada Reuters.
Loyalis lainnya yang ditunjuk Trump pekan ini adalah Tulsi Gabbard, sebagai direktur intelijen nasional yang akan membawahi 18 badan mata-mata di AS.
Gabbard adalah mantan politisi Partai Demokrat yang membelot ke Republik lalu jadi pendukung tulen Trump.
Reuters menuliskan, Gabbard sedikit sekali pernah bersentuhan langsung dengan urusan intelijen.
Nama lainnya adalah Pete Hegseth, komentator di stasiun televisi Fox News yang ditunjuk menjadi menteri pertahanan.
Hegseth memang seorang veteran perang, namun pendukung Trump ini tidak pernah menjadi petinggi militer atau menempati jabatan publik sebelumnya.
Selain itu dia tengah diselidiki atas tuduhan pelecehan seksual pada 2017, seperti yang diberitakan CNN.
Untuk posisi menteri dalam negeri, Trump menunjuk Gubernur Dakota Utara Doug Burgum.
Dia sempat menjadi rival Trump pada nominasi capres Partai Republik, namun Burgum mundur lalu turut menyokong kampanye Trump.
Burgum kerap muncul mengkampanyekan Trump di televisi dan acara penggalangan dana.
Yang mengejutkan lagi adalah penunjukan Elon Musk, CEO Tesla dan pemilik X, sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintahan atau DOGE.
Musk adalah pendukung Trump yang disebut telah merogoh kocek hingga US$200 juta atau lebih Rp3 triliun untuk kampanye pemenangan Trump, seperti diberitakan Associated Press.
Analisis Pakar Politik
Dr Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional di Universitas Padjadjaran dan President University, mengatakan bahwa secara kasat mata mungkin para loyalis ini terlihat tidak kompeten namun dia yakin pastinya Trump tidak sembarangan dalam menjatuhkan pilihan.
"Trump tentunya sudah mendapat informasi yang amat andal perihal mereka dari FBI dan CIA," kata Teuku kepada CNA.
"Para loyalis tersebut adalah bagian dari Dream Team yang dipimpin Trump, dan dipersepsikan mampu menjalankan tugas secara bertanggung jawab," lanjut dia.
Menurut para pengamat, apa yang dilakukan Trump serupa tapi tak sama dengan Prabowo ketika menunjuk para pembantunya di pemerintahan. Pengamat mengatakan ini hal yang wajar dan merupakan hak prerogatif seorang presiden, namun tetap ada risiko yang mengintai atas pilihan-pilihan tersebut.
Serupa Tapi Tak Sama
Tidak lama setelah diangkat presiden pada 20 Oktober lalu, Prabowo menetapkan jajaran kabinet gemuk yang terdiri dari 55 menteri/pejabat setingkat menteri dan 56 wakil menteri.
Selain para profesional, isi Kabinet Merah Putih Prabowo bertabur loyalis, simpatisan, dan para petinggi partai dari koalisi pendukung Prabowo. Salah satunya adalah Sugiono, wakil ketua umum Gerindra, yang ditunjuk menteri luar negeri.
Sugiono tidak punya pengalaman sebagai diplomat. Padahal tiga menlu sebelumnya sejak 2004 hingga 2024 adalah para diplomat karier kawakan yang sudah malang melintang di Kementerian Luar Negeri.
Prabowo juga mempertahankan 17 menteri sebelumnya di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, meski beberapa posisi mereka tidak lagi sama. Sejak kampanye tahun lalu, meneruskan kebijakan Jokowi memang telah menjadi jargon Prabowo.
Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan kabinet Prabowo terdiri dari empat kluster, yaitu orang partai politik, profesional, loyalis, dan tim sukses atau simpatisan.
Menurut Ujang, dalam konteks politik, pemilihan loyalis dalam kabinet - baik oleh Trump maupun Prabowo - adalah sesuatu yang wajar, meski memang idealnya profesional harus menempati porsi besar jika ingin pemerintahan berjalan dengan lebih baik.
"Loyalis itu kesetiaannya telah teruji ... Sejatinya loyalis perlu diberi tempat karena sudah berdarah-darah ikut berjuang, dan ketika menang dikasih posisi, itu wajar, asalkan memiliki kecakapan dan keahlian yang baik," kata Ujang.
"Trump juga melakukan hal yang sama, menunjuk yang loyal. Loyalitas menjadi penting, karena di politik banyak terjadi pengkhianatan," lanjut dia.
Teuku, dosen HI Unpad dan President University, berpandangan saat ini batasan antara loyalis dan profesional telah semakin kabur.
Karena menurut dia, loyalis mungkin memiliki keterbatasan profesionalisme, sementara kalangan profesional mungkin loyalitasnya dipertanyakan.
"Juga terdapat nilai-nilai yang tingkat kelekatannya tak seragam, seperti: Kenegarawanan, patriotisme, ke-Indonesia-an, kesetiaan pada ideologi negara dan konstitusi negara," kata Teuku.
Meski sama-sama menunjuk loyalis masuk kabinet, namun penunjukan menteri oleh Trump dan Prabowo memiliki perbedaan, demikian M. Waffaa Kharisma, Peneliti Departemen Hubungan Internasional di lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berpandangan.
"Trump cenderung memilih yang ideologinya sama ... mereka bukan serta merta loyalis Trump, tapi mereka yakin Trump akan mendukung ideologi mereka," kata Waffaa saat dihubungi CNA.
Sementara Prabowo memilih orang-orang yang sudah lama berjalan bersama dirinya. Selain itu, kata dia, Prabowo juga merekrut orang-orang yang berseberangan seperti ahli atau ketua partai "sebagai bagian dari power-sharing (berbagi kekuasaan)".
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Waffaa mengatakan, Trump yang memilih loyalis dengan kesamaan ideologi akan membuat pemerintahan AS jelas arah dan warnanya.
Namun, kesamaan ideologi ini akan jadi bumerang di tengah naiknya paham nasionalis sayap kanan yang sebagian penganutnya ambil kursi di kabinet Trump.
Salah satu tokoh sayap kanan yang paling menonjol dalam pemerintahan Trump adalah calon menhan Pete Hegseth. Dia dikenal kerap menyuarakan ideologi kekerasan, dan ekstremisme politik sayap kanan.
Berbagai media AS juga mencermati soal tato salib di dada Hegseth yang mencerminkan gerakan nasionalis Kristen dan tulisan "Deus Vult", istilah yang diasosiasikan dalam Perang Salib pertama.
"Cukup mengkhawatirkan melihat pemerintah Trump yang di eksekutifnya tidak ada penyeimbang atau tokoh yang lebih moderat, karena Trump tidak memilih yang cross-ideology," jelas dia.
Namun pemilihan kabinet berisikan loyalis dan berbagi kekuasaan seperti di Indonesia juga memunculkan risiko jika tidak dikelola dengan baik.
"Bisa korup juga kalau akuntabilitas tidak jalan karena power-sharing," ujar Waffaa.
Sumber: CNA
Tag: #disorot #media #asing #prabowo #donald #trump #mirip #sama #sama #pilih #loyalis #masuk #kabinet