



Perang Israel-Iran dan Risiko Global: AS Turun Tangan, Pakar Tetap Peringatkan Bahaya Jangka Panjang
- Ketidakpastian terus membayangi hasil akhir dari konflik antara Israel dan Iran, meskipun Amerika Serikat (AS) diperkirakan dapat ikut terlibat. Para analis militer dan diplomat memperingatkan bahwa bahkan jika pemerintahan Donald Trump menyetujui dukungan militer terbuka, tujuan strategis jangka panjang Israel tetap sulit tercapai, khususnya terkait penghancuran program nuklir dan perubahan rezim di Teheran.
Dilansir dari The Guardian, Rabu (25/6/2025), para pengamat menggarisbawahi bahwa keterlibatan militer AS tidak menjamin keberhasilan Israel. Serangan terhadap fasilitas nuklir Fordow, misalnya, dinilai tidak akan efektif meski menggunakan bom penghancur bunker dengan daya ledak tinggi. Fasilitas itu terletak di bawah gunung dengan lapisan batuan setebal 90 meter, menjadikannya target yang nyaris mustahil ditembus tanpa risiko besar.
"Menyerahkan tugas menghancurkan Fordow kepada Amerika Serikat berarti menempatkan AS dalam bidikan Iran," tulis Daniel C. Kurtzer, mantan Duta Besar AS untuk Israel, dan Steven N. Simon, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional, dalam Foreign Affairs. Mereka memperingatkan bahwa tindakan itu hampir pasti akan dibalas dengan serangan terhadap warga sipil Amerika, yang akan memicu eskalasi lebih jauh.
Lebih jauh, strategi Israel yang tampaknya bertaruh pada agresi demi memancing respons militer AS dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah berisiko tinggi. "Apa yang kita lihat bukan pendekatan strategis, melainkan operasi udara yang kemudian menelan tujuan strategis yang lebih luas, yaitu penyelesaian politik," ujar Andreas Krieg, profesor pertahanan dari King’s College London.
Konflik ini juga mengangkat kembali gagasan kontroversial mengenai perubahan rezim Iran. Isu ini memicu kekhawatiran luas di kawasan, terlebih setelah muncul laporan bahwa Israel sempat mempertimbangkan serangan langsung terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei—yang kabarnya telah diveto oleh Trump. Dalam konteks ini, ulama senior Irak, Grand Ayatollah Ali al-Sistani, menyampaikan peringatan publik yang jarang terjadi, mengenai dampak destabilisasinya bagi Timur Tengah.
Toby Dodge, profesor hubungan internasional di London School of Economics, turut menyoroti permasalahan mendasar dari pendekatan Israel. "Sejak berdirinya negara ini, ada anggapan dominan di Israel bahwa kekerasan bisa menyelesaikan masalah politik. Namun, Iran memiliki sejarah panjang dalam modernisasi teknologi dan proliferasi. Itu bukan sesuatu yang bisa dihapus hanya dengan bom," tegasnya.
Ketidaksiapan logistik juga menjadi faktor penentu. Stok peluru kendali pencegat Israel dikabarkan mulai menipis, sementara operasi udara jarak jauh melelahkan awak pesawat dan menguras kesiapan teknis. Jika intensitas konflik menurun, hal ini akan dimanfaatkan oleh Iran untuk memperkuat narasi bahwa mereka berhasil bertahan dari serangan terburuk.
Dari sisi politik AS, dukungan publik terhadap intervensi militer di Timur Tengah terus menurun. Isu ini bahkan berpotensi memecah belah basis pendukung utama Donald Trump di kalangan gerakan MAGA (Make America Great Again).
"Dengan rendahnya dukungan publik Amerika terhadap intervensi militer, dan isu ini berpotensi memecah belah basis pendukung Trump, Israel justru berisiko terseret ke dalam polemik politik dalam negeri AS—yang bagi Trump, jauh lebih penting dibanding sekadar mendukung Netanyahu," seperti dikutip dari The Guardian.
Menanggapi situasi ini, Toby Dodge menilai Israel justru bisa menghadapi konsekuensi besar jika perhitungan strategisnya meleset. "Jika Khamenei cukup bijak untuk mundur, dan jika Amerika memilih untuk tidak ikut campur, maka Israel seolah telah menusukkan jarinya ke dalam sarang lebah," ujar Dodge.
Meskipun peluang perundingan masih terbuka—termasuk melalui kontak diplomatik dengan negara-negara Eropa di Jenewa pada Jumat lalu—keberhasilan kesepakatan nuklir pun tidak otomatis menjamin keuntungan jangka panjang bagi Israel. Rezim ulama Iran mungkin tetap bertahan, namun dengan sikap yang semakin keras terhadap Israel dan pemahaman yang lebih tajam mengenai keterbatasan kekuatan militer Israel.
Akhirnya, seperti yang dikemukakan oleh Jenderal Wesley Clark dalam bukunya Waging Modern War, bahkan kampanye udara paling sukses pun hanya efektif jika mampu memaksa pihak lawan ke meja perundingan. Jika itu yang dicapai, Israel tetap harus menghadapi pertanyaan mendasar: apakah serangan ini benar-benar membawa keamanan, atau justru membuka pintu menuju ketidakstabilan baru yang lebih luas dan lebih dalam.
Tag: #perang #israel #iran #risiko #global #turun #tangan #pakar #tetap #peringatkan #bahaya #jangka #panjang