Mengenal Trauma Antargenerasi dan Gejalanya
Pola asuh orangtua dalam keluarga bukan hanya mengajarkan keteladanan dan membentuk kepribadian anaknya. Lebih dari itu, terkadang orangtua atau generasi sebelumnya juga "mewariskan trauma".
Warisan tersebut dikenal dengan istilah trauma antargenerasi (intergenerational trauma). Istilah ini merujuk pada transfer efek traumatis atau pengaruh negatif dari satu generasi ke generasi berikutnya.
"Lingkungan atau keadaan seseorang dapat mengarahkan mereka untuk berperilaku dengan cara tertentu, yang mungkin ditiru oleh anak mereka, dan siklus tersebut berlanjut dari generasi ke generasi," kata psikoterapis Hendrix Hammond yang berbasis di London, Inggris.
Konsep trauma antargenerasi pertama kali dipakai dalam konteks anak-anak dari korban holocaust.
Ketika itu psikiater di Kanada mendapati jumlah mereka terlalu banyak dalam rujukan ke klinik psikiatri pada pertengahan tahun 60an, dua dekade setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Sejak itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan trauma yang diwariskan dari orang-orang yang diperbudak, termasuk orang Afrika-Amerika, serta korban perang dan bencana alam.
Ilustrasi gaya pengasuhan helicopter parenting
"Trauma yang dialami dari sebuah kejadian personal juga bisa diturunkan, misalnya kekerasaan atau pelecehan saat kanak-kanak," kata Hammond.
Sebagai contoh, jika seorang ibu mengalami depresi berat, kondisi itu membuatnya sulit menjalani peran pengasuhan secara sehat. Si anak kemudian akan tumbuh besar dan menganggap hubungan yang kurang lekat antara ibu dan anak adalah hal normal, dan "mewariskan" pola itu ke anaknya kelak.
Para ahli menyebut, trauma bisa memengaruhi seseorang bertindak dari bagaimana mereka dibesarkan, apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka menghadapi dunianya.
Seringkali orang yang mengalami trauma antargenerasi tidak menyadarinya, karena gejala yang dialaminya mungkin dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Berikut adalah beberapa tanda kita memiliki trauma yang diwariskan. Walau begitu, untuk memastikannya tetap dibutuhkan bantuan psikolog atau psikiater.
1. Hubungan dalam keluarga kurang kuat
Salah satu indikator dari trauma antargenerasi adalah pola dinamika hubungan yang berulang dalam keluarga.
Misalnya saja jika ibu dan anak perempuannya kurang dekat, biasanya si ibu pun dulunya tidak memiliki ikatan kuat dengan ibunya, begitu seterusnya.
"Mungkin saja pernah ada persaingan yang membuat traumatik saat kecil, dan hal ini 'diwariskan' sehingga si ibu selalu punya kecurigaan pada anak perempuan," kata Hammond.
2. Selalu curiga pada orang
Jika pengalaman traumatik itu terjadi karena pengkhianatan atau keegoisan seseorang, maka kita akan belajar untuk curiga ke orang lain. Perasaan itu antara lain akan muncul dalam sulit percaya pada pasangan.
3. Butuh untuk selalu berada di antara banyak orang
Menurut Hammond, kebutuhan untuk selalu berada di antara banyak orang menunjukkan kita merasa aman dalam kelompok.
4. Kesulitan mengatur emosi
Merespons peristiwa dengan cara yang mungkin dianggap kurang tepat, seperti mati rasa saat orang lain mengalami emosi atau berperilaku berlebihan juga bisa menjadi gejala trauma antargenerasi.
Terkadang kita tidak sadar mengapa punya respon tertentu, padahal jika dilacak lagi ke masa kecil dan bagaimana hubungan kedua orangtua, kita barangkali pernah trauma dan belajar mengatur emosi dengan cara tertentu. Misalnya saja sulit untuk menunjukkan emosinya.
5. Tidak tahu cara menghadapi mood yang buruk
Hammond mengatakan, masalah mental bukanlah trauma antargenerasi, tetapi cara meresponnya.
"Jika dalam keluarga tidak pernah diajari mekanisme untuk mengatasi mood yang buruk, misalnya dengan curhat, maka bisa berkembang jadi depresi," katanya.
Seseorang yang tidak memiliki mekanisme coping untuk masalah mentalnya dan malah melukai diri, juga menunjukkan ia punya trauma antar generasi.
Menyadari bahwa kita memiliki trauma, menjadi poin penting untuk mencegah kita menjadikannya sebagai sebuah siklus.