Dulu Tegas Tolak APBN untuk Whoosh, Apa Sikap Purbaya Kini?
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di Unair Surabaya, Senin (10/11/2025).(KOMPAS.com/ANDHI DWI)
10:24
17 November 2025

Dulu Tegas Tolak APBN untuk Whoosh, Apa Sikap Purbaya Kini?

– Seperti yang telah lama diperkirakan berbagai kalangan, beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh kini menjadi beban berat bagi pihak yang menanggung utang.

BUMN Indonesia yang jadi pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), ikut menanggung kerugian hingga triliunan rupiah dalam setahun. Danantara maupun pemerintah kini harus putar otak memilih skema pembayaran utang agar Whoosh tidak terus menerus jadi beban keuangan BUMN.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebutkan, saat ini skema pembagian peran dalam menangani utang Kereta Cepat Jakarta Bandung masih terus dibahas.

Menkeu menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada kesimpulan terkait bentuk penyelesaian yang akan diambil pemerintah. Proses pembahasan masih terus berlangsung dan belum mencapai keputusan final.

"Cuma gini kita ada kebijakan pimpinan di atas, belum putuskan juga. Sepertinya kita memang akan cenderung membayar ke jalannya infrastrukturnya," ujar Purbaya saat ditemui di Kantor Kemenkeu dikutip pada Senin(17/11/2025).

Ia menambahkan bahwa dirinya ingin ikut serta dalam perkembangan diskusi yang dilakukan tim terkait, agar tidak hanya mengetahui hasil akhirnya tetapi juga memahami prosesnya secara menyeluruh.

Menurutnya, yang terpenting adalah mencari opsi terbaik bagi negara. Karena itu, seluruh tahapan masih terus dikaji sebelum pemerintah menentukan langkah yang akan diambil.

Purbaya menolak APBN untuk Whoosh

Sebelumnya pada Oktober lalu, Purbaya menegaskan dirinya menolak mentah-mentah bila pembayaran utang proyek Kereta Cepat Whoosh menggunakan APBN.

Menurut Purbaya, tanggung jawab pembayaran seharusnya berada di tangan BPI Danantara Indonesia, mengingat lembaga tersebut kini menerima seluruh dividen dari BUMN.

“Dulu kan semuanya pemerintah yang (menanggung). Tapi ketika sudah dipisahkan dan seluruh dividen masuk ke Danantara, Danantara cukup mampu untuk membayar itu,” ujar Purbaya saat ditemui di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 15 Oktober 2025.

Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, Kementerian Keuangan tidak lagi menerima dividen BUMN sebagai penerimaan negara sejak tahun ini karena seluruhnya telah dialihkan ke Danantara.

Karena itu, ia menilai wajar bila Danantara ikut menanggung beban pembayaran utang proyek Whoosh, apalagi pemegang saham utama operator KCIC adalah PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, yang merupakan BUMN.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah tidak lagi menerima dividen BUMN sebagai penerimaan negara mulai tahun ini karena dividen tersebut dialihkan ke Danantara.

Kebijakan tersebut membuat pemerintah kehilangan potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp 80 triliun. Akibatnya, realisasi PNBP 2025 diperkirakan hanya mencapai Rp 477,2 triliun atau 92,9 persen dari target APBN sebesar Rp 513,6 triliun.

Polemik utang kereta cepat Whoosh

Selama pembangunan, KCJB yang semula dijanjikan sebagai kerja sama murni antarperusahaan (business to business) itu akhirnya harus mengandalkan dana APBN untuk menyelamatkan keberlanjutannya.

Sejak awal, banyak pihak menilai proyek ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari bagi BUMN yang dilibatkan. Mereka menyoroti perencanaan keuangan yang dinilai terlalu optimistis serta pembengkakan biaya yang terus terjadi selama masa konstruksi.

Kini, meski proyek tersebut telah beroperasi selama dua tahun, masalah baru muncul, yakni PT KCIC harus mencicil utang pokok dan bunga ke pihak China.

Dirangkum dari pemberitaan Kompas.com, jumlah investasi pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung menembus sekitar 7,27 miliar dollar AS atau Rp 120,38 triliun (kurs Rp 16.500).

Dari total investasi tersebut, sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB), dengan bunga sebesar 2 persen per tahun.

Utang pembangunan Whoosh dilakukan dengan skema bunga tetap (fixed) selama 40 tahun pertama. Bunga utang KCJB ini jauh lebih tinggi dari proposal Jepang yang menawarkan 0,1 persen per tahun.

Total investasi tersebut sudah menghitung tambahan biaya akibat pembengkakan biaya atau cost overrun yang mencapai 1,2 miliar dollar AS. Namun bunga utang tambahan ini lebih tinggi, yakni di atas 3 persen per tahun.

Sebagian besar pembiayaan proyek Whoosh memang ditopang dari pinjaman CDB, ditambah penyertaan modal pemerintah lewat APBN, serta kontribusi ekuitas konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China sesuai porsi sahamnya masing-masing di KCIC.

Lebih dari separuh biaya untuk menutup cost overrun berasal dari tambahan utang CDB. Sisanya berasal dari patungan modal BUMN Indonesia dan pihak China yang menggarap proyek ini.

Cost overrun itu ditanggung oleh kedua belah pihak, di mana 60 persen ditanggung oleh konsorsium Indonesia dan 40 persen ditanggung oleh konsorsium China.

(Penulis: Isna Rifka Sri Rahayu, Debrinata Rizky | Editor: Erlangga Djumena, Teuku Valdy Arief)

Artikel ini bersumber dari pemberitaan di KOMPAS.com sebelumnya berjudul:

Tag:  #dulu #tegas #tolak #apbn #untuk #whoosh #sikap #purbaya #kini

KOMENTAR