Redenominasi Rupiah Berisiko Picu Inflasi Mikro, Harga Bisa Naik Akibat Pembulatan
- Wacana pemerintah untuk menyederhanakan nominal mata uang melalui redenominasi rupiah dinilai berpotensi menimbulkan efek domino di sektor riil, terutama kenaikan harga akibat pembulatan nominal di tingkat konsumen.
Kebijakan redenominasi tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029.
Pemerintah sendiri menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) rampung pada 2027, sebagai bagian dari reformasi sistem moneter nasional.
Secara konsep, redenominasi bertujuan memangkas angka nol di belakang nominal rupiah tanpa mengubah nilai riilnya. Contohnya, Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, namun nilai barang dan daya beli masyarakat tetap sama.
Pemerintah menilai langkah ini akan meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas rupiah, serta menandai kematangan ekonomi nasional.
Namun, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan potensi risiko di lapangan, terutama inflasi mikro akibat pembulatan harga.
Ia menilai efek ini sering kali diabaikan dalam simulasi kebijakan, padahal berdampak langsung pada masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.
"Efek redenominasi bisa muncul dari pembulatan harga ke atas. Barang seharga Rp 9.000 tidak akan jadi Rp 9, tapi cenderung jadi Rp 10. Kalau itu terjadi secara massal, inflasi naik dan daya beli masyarakat bisa melemah," ujar Bhima dihubungi JawaPos.com.
Inflasi Kecil yang Bisa jadi Besar
Fenomena pembulatan harga ini dikenal sebagai inflasi mikro, kenaikan harga dalam skala kecil namun meluas di berbagai sektor.
Meski tampak sederhana, ketika jutaan pelaku usaha menyesuaikan harga demi kemudahan transaksi, total beban ekonomi masyarakat bisa meningkat signifikan.
"Redenominasi memang tidak mengubah nilai uang secara riil, tapi ekspektasi harga di pasar bisa berubah. Penjual selalu mencari angka genap, dan itu bisa menambah tekanan harga harian," kata Bhima.
Selain itu, menurut Bhima, efek pembulatan harga harus diantisipasi serius karena konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDB.
Kenaikan harga kecil di sektor makanan, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari bisa menekan daya beli dan mengganggu stabilitas ekonomi domestik. "Kalau inflasi akibat pembulatan harga tak dikendalikan, konsumsi bisa menurun. Padahal pertumbuhan ekonomi kita sangat bergantung pada belanja masyarakat," tegasnya.
Sebagai informasi juga, sejumlah negara pernah menghadapi situasi serupa. Brasil dan Ghana, misalnya, mengalami kenaikan inflasi setelah melakukan redenominasi karena harga-harga disesuaikan secara psikologis oleh pelaku pasar.
Brasil bahkan mencatat lonjakan inflasi 48 persen per bulan pada Juni 1994, tak lama setelah redenominasi, akibat lemahnya kontrol harga dan sosialisasi publik.
Bhima menilai, agar efek pembulatan tidak menimbulkan lonjakan inflasi, pemerintah perlu melakukan sosialisasi masif dan pengawasan harga di lapangan sebelum redenominasi diterapkan.
Pasalnya, lebih dari 90 persen transaksi di Indonesia masih dilakukan secara tunai, sehingga persepsi masyarakat terhadap nilai uang akan menjadi faktor krusial keberhasilan kebijakan ini.
"Redenominasi bukan sekadar mengganti uang. Ini perubahan cara masyarakat memandang nilai. Kalau tidak disiapkan, pembulatan harga bisa memicu inflasi yang justru menggerus manfaat kebijakan itu sendiri," tutup Bhima.
Tag: #redenominasi #rupiah #berisiko #picu #inflasi #mikro #harga #bisa #naik #akibat #pembulatan